Bab 1
Suara sirene ambulans yang bersahut-sahutan mendengung nyaring di telinga gadis itu. Menarik respons syaraf di kepalanya, membuatnya membuka mata. Perlahan, gadis berambut panjang itu melebarkan penglihatan. Dengan bagian kelopak mata yang terasa nyeri dan bengkak, ia mencoba dengan susah payah. Ia bertahan, merangkak pelan-pelan hingga seluruh tubuhnya berhasil menangkap situasi.
“Jessi!”
Suara nyaring di belakangnya membuat gadis itu menoleh. Penerangan yang tak seberapa masih mampu membantu gadis bernama Jessi itu menyadari bahwa kini dirinya berada di tempat yang taka sing. Pohon-pohon besar yang berdiri kokoh terhalang kabut putih menghalangi pemandangan. Namun semua itu tak menghalangi seorang wanita paruh baya untuk berlari, menerjang kegelapan demi bisa menggapai tangan Jessi.
Gadis muda dengan pakaiannya yang lusuh itu mendongak perlahan saat tangannya digenggam dengan erat. Netra birunya yang redup mendapati seorang wanita dengan jaket tebal abu-abu menatapnya dengan nanar. Meski tak terlihat dengan jelas, suara itu dikenali Jessi dengan baik. “Mom?”
Kedua tangan Emma – sang ibu – terbuka dengan cepat, menangkap tubuh Jessi yang pada detik selanjutnya terjatuh ke dalam pelukannya. Tersapu udara dingin dan hujan salju yang mendadak turun membasahi bumi, Emma menangisi putri kesayangannya yang malang.
***
Dengung nyaring menyeruak ke gendang telinga Jessi. Penglihatan-penglihatan mengerikan tentang darah, orang-orang yang wajahnya tak terlihat, gadis yang memohon pertolongan meski wajahnya rusak, sungguh bukanlah hal menarik untuk dinikmati saat tidur.
Jessi terbangun. Dadanya mendadak sesak. Dahinya dipenuhi peluh. Sensasi panas menjalar di matanya yang justru basah, penuh membasahi pelupuk kedua matanya yang masih bengkak.
“Jessi!” Emma beranjak, terbangun dari tidurnya yang baru beberapa menit, di kursi kayu dekat ranjang. Ia berdiri dan menghampiri putri semata wayangnya dengan ekspresi panik, atau lega, mungkin keduanya. “Tenang, Jessi. Kau baik-baik saja.”
Dekapan hangat dari kedua tangan sang ibu yang mencemaskan anaknya berhasil mentransferkan energi positif di dalam tubuh Jessi. Jantung gadis itu tak lagi berdetak tak beraturan, alirah darahnya bergerak lebih lambat, membuatnya merasa lebih tenang. Jessi menangis di sana, di dalam pelukan Emma. Ia memejamkan matanya, berharap semua yang dilihatnya memang hanya bunga tidur saja. Tidak nyata, hanya bayangan-bayangan di dalam kegelapan.
“Kau akan baik-baik saja, Jessi,” kata Emma menenangkan.
Dan suara lembut dari suara rendah yang dalam dari wanita berusia 45 tahun itu berhasil menarik atensi putri kesayangannya. Jessi merenggangkan pelukan di antara mereka, hanya beberapa senti, masih cukup dekat untuk gadis muda itu menghirup aroma kayu manis dari pakaian berwarna pastel milik Emma. Jessi menatapnya sendu, pula dengan sebaliknya. “Aku melihat sesuatu yang mengerikan di sana.”
“Itu hanya mimpi,” pungkas Emma, mencoba menenangkan Jessi. Meski terlihat sedikit lebih tenang, Emma tahu Jessi masih merasa tidak nyaman. “Kau sudah bersama kami. Kau aman sekarang.”
Tidak yakin, Jessi kembali membuka suara. “Apa yang sebenarnya terjadi, Mom?”
Emma menyunggingkan senyum tipis, terkesan dipaksakan. Tangan kurusnya yang berbalut gelang emas pemberian sang suami terangkat, membelai lembut puncak kepala Jessi. Membiarkan jari-jarinya yang kurus berbalut keriput menjelajah rambut hazel milik gadis muda itu, sementara mata mereka saling berhadapan. “Kami pun tidak tahu, kami menemukanmu di belakang sekolah dan kami –“
“Apa yang terjadi di sana, Mom?”
“Begini –“
Jessi melepaskan kedua tangannya dari tubuh Emma, menatap mata sayu berwarna cokelat di depannya dengan pandangan penasaran. Benaknya diliputi keingintahuan dan Emma harus memenuhi perasaan itu. “Kenapa aku merasakan seluruh wajah dan tubuhku sakit, Mom?” Gadis itu berdiri, pandangan itu berubah menjadi marah, sedikit panik. “Aku bahkan tidak bisa melihatmu dengan baik kali ini. Apa yang terjadi?!”
Emma ikut bangun dari ranjang, mencoba menenangkan situasi yang tiba-tiba menegang. “Jessi, tenang,” pintanya dengan suara yang lembut. “Kau harus tenang sekarang.”
Sekiranya keributan yang dihasilkan dari suara Emma dan Jessi menarik perhatian Daniel. Pria dengan tubuh tinggi dan kumis kecokletan di atas bibir kelabunya itu masuk melewati pintu yang sama sekali tidak ditutup. Raut wajahnya terkejut bercampur panik. Kehadirannya yang mendadak, membuat dua perempuan di ruangan yang didominasi oleh warna putih dan abu-abu itu menoleh tepat ke arahnya.
“Jessi.”
Daniel mendekat, kini berdiri di sisi istrinya yang terlihat kelelahan karena pencarian putrinya beberapa jam sebelumnya. Ia menatap Emma, kemudian berpindah ke Jessi secara bergantian. “Kau harus tenang dahulu,” tambahnya. “Mari kita bicarakan ini dengan cara yang lebih baik.”
Suara pelan tetapi tegas yang dimiliki Daniel mampu melunturkan suasana panik yang ada di dalam atmosfer mereka. Wajah Jessi tidak lagi menegang, ia tampak lebih tenang meski napasnya masih tersengal. Berusaha mengatur napas yang sebelumnya tidak stabil dan bokongnya kembali mendarat di pinggir ranjangnya yang empuk. Netra biru yang masih ditutupi oleh lebam kebiruan perlahan menatap sang ayah, Daniel. Wajahnya terlihat sedih, tapi Jessi pastilah tidak yakin perasaan sedih itu berasal dari mana.
“Apa yang menimpaku, Dad?”
Tanpa basa-basi, gadis berusia 17 tahun itu langsung melontarkan pertanyaan penting kepada Daniel. Ia tidak ingin merasa ketakutan dan kebingungan lebih lama lagi. Ini adalah waktunya, aku harus tahu jawabannya, mungkin pikiran-pikiran itulah yang terbesit di dalam kepala Jessi sekarang. Emma dan Daniel saling melempar tatap – yang tentu berpengaruh kepada firasat Jessi – sebelum keduanya kembali melihat putri mereka.
Daniel melangkah maju dan duduk di samping Jessi dengan sangat hati-hati. Seperti duduk di atas permukaan es yang bisa kapan saja mencair, Daniel bersikap lebih waspada kali ini. Ia mengatup bibir abunya sesaat sebelum kemudian melanjutkan, “Apa yang dikatakan oleh Mom itu benar. Mom, Dad, kami semua tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadamu.” Mata Jessi yang sudah terlihat kecil karena bekas luka di sekitarnya kini menyipit ingin tahu. “Kau tidak kembali ke rumah tepat waktu, Mom khawatir dan kami mulai mencarimu.”
“Dengan polisi?”
Daniel mengangguk. “Ya. Dengan polisi.” Mata biru itu beralih kepada sang istri yang masih berdiri di depan mereka. Hanya beberapa detik sebelum kemudian kembali kepada Jessi. “Mom berpikir bahwa kau diculik, atau semacamnya, kami hanya panik dan –“
“Dan kalian menemukanku di sana?” sela Jessi tak sabar.
Pria yang usianya 5 tahun di atas Emma itu tampak menghela napas dengan berat dan mengernyitkan dahinya dalam-dalam. “Apa kau tidak ingat apapun, Jessi?”
Kini giliran Jessi yang menekuk kedua alisnya. Ia merasa bingung dan tidak menangkap situasinya dengan sangat baik. Sampai kemudian pada jeda selanjutnya, gadis itu berkata, “Aku tidak ingat. Tapi, kenapa aku tidak bisa mengingat apapun. Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku, Mom, Dad?”
***