Bahan kapas yang lembut mendarat di wajah Jessi. Perlahan tapi pasti, Emma mengobati bekas luka putrinya itu dengan sangat hati-hati. Wanita itu mungkin tidak lagi muda seperti tahulu. Kulitnya sudah memiliki banyak garis-garis halus dan bahkan wajahnya mulai dihiasi bitnik hitam akibat usia yang semakin menua. Namun sungguh, umur tidak akan pernah mengubah jati diri seseorang sepenuhnya. Emma adalah perawat yang baik. Kemampuan dan bakatnya dalam mengobati yang sakit, masih melekat kuat di dalam dirinya. Keahliannya dalam memilih obat-obatan dan Teknik membersihkan luka itu masih jauh lebih baik dibandingkan orang lain.
Sementara itu Jessi hanya terdiam di kamarnya, duduk pada ujung ranjang dengan seprei putih yang nyaman. Sebuah bantal gendut dan satu guling dengan balutan senada tersimpan dengan rapi di posisinya, tangan-tangan lemah gadis itu seolah enggan menyentuhnya. Kedua mata birunya memilih terjaga. Khawatir kalau mimpi mengerikan tentang hal-hal yang terlupa muncul kembali di dalam tidurnya. Kelopak matanya yang bengkak diperparah dengan lingkaran hitam di bawahnya. Jessi kurang tidur. Sudah dua hari sejak dirinya ditemukan di belakang sekolah – dalam keadaan penuh luka – mengusik harinya yang sebelumnya baik saja.
Ia tidak pernah berekspektasi akan mengalami hal mengerikan seperti malam itu. Namun, sekuat apapun Jessi mencoba, ingatan tentang apa yang menimpanya sama sekali tidak muncul.
Dokter menyebut, bahwa gadis yang masih duduk di bangku sekolah itu mengalami lupa ingatan ringan. Ya, masih ada harapan untuk Jessi mendapatkan kembali memori-memori di otaknya yang seolah lenyap entah kemana. Hanya saja, prosesnya akan sulit, mungkin lama, tergantung dari bagaimana orang-orang dan lingkungan di sekitar Jessi membantunya membangkitkan kembali ingatan yang hilang itu. Lagipula, apakah sungguh Jessi benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi kepadanya? Bagaimana jika memang dirinyalah yang memilih melupakan semua kenangan mengerikan yang terjadi kepadanya dan memutuskan untuk menguburnya dalam-dalam di sana, di suatu tempat di dalam ingatannya.
Jessi kemudian menghela napas berat, sebelum berbalik. Meninggalkan pandangannya dari jendela berbentuk persegi dengan tirai biru yang bergoyang-goyang pelan karena terbawa angin pagi yang menyejukkan. Mata biru itu menatap Emma, membuat sang ibu berhenti menekan-nekan pelan kapas di wajah sang putri. Dan pandangan mereka bertemu di sana. “Mom, adakah hal lain yang tidak kuketahui selain insidenku sendiri?”
Emma tampak berpikir, merenung untuk beberapa waktu sebelum kemudian mengangguk ragu.
“Apakah berita yang buruk?”
Emma hanya bisa mengangguk lagi. Berusaha sekuat mungkin untuk menutup mulutnya sendiri dari membicarakan hal-hal yang nantinya membuat suasana menjadi tidak nyaman. Namun tentu saja putrinya bukanlah seoerang anak kecil yang akan patuh dan diam saja meski dadanya bergejolak penasaran. Ia terus mendesak dan kembali bertanya, “Apakah itu, Mom?”
“Jessi .. berita ini akan sedikit mengejutkanmu,” ucap Mom mewanti-wanti. “Namun memang pada akhirnya, kau harus mengetahui semuanya.”
Gadis berambut kecokelatan itu mengangguk. Meski sisi-sisi rambutnya yang panjang sudah dirapihkan, tapi helaian demi helaian ikut bergoyang senada dengan angin yang masuk melalui jendela di ruangan tersebut. “Aku ingin tahu semuanya. Setidaknya aku harus mencoba mengingat sesuatu, atau semuanya, bukan?”
Emma tersenyum tipis. Tidak ada gambaran kebahagiaan di sana, tapi wanita itu cukup bangga pada keberanian putrinya dan melihat betapa kerasnya Jessi mencoba mengembalikan ingatannya sendiri. “Jessi, apa kau mengingat Rachel?”
“Ya, tentu.” Jessi menjawabnya dengan penuh percaya diri.
Jessi dan Rachel adalah sahabat yang lebih mirip seperti saudara kandung. Mereka sangat dekat. Lebih dekat dari yang siapapun kira. Mereka sudah berteman sejak mereka kecil dan posisi rumah mereka cukup dekat. Beruntung bagi Jessi yang seorang pendiam karena Rachel sang pemberani dan sosok yang mudah berbicara menjadi teman di sekolahnya juga. Jessi dan Rachel adalah gambaran yin dan yang sesungguhnya. Saling melengkapi, saling melindungi dan tentu saja keduanya saling menyayangi. Hal inilah, yang membuat semuanya menjadi lebih rumit dari apa yang dipikirkan Emma selama ini.
“Omong-omong kenapa Rachel tidak datang menjengukku, Mom?” imbuh Jessi. “Apa kau dan Dad belum memberitahunya?”
Emma tersenyum lagi, tipis dan getir. “Dia tidak bisa datang, Sayang.”
Membuat kedua alis gadis berusia 17 tahun itu mengerut dalam kebingungan. “Kenapa?”
“Karena dia tidak akan bisa datang.”
Jessi mendengus pendek dan menggeleng tak percaya. “Mom, kau sangat berbasa-basi sekarang. Ini sungguh bukanlah sikap Mom yang kukenal. Dan, kenapa Rachel tidak akan bisa datang, seperti, apa-apaan?!”
“Karena Rachel sudah meninggal, Jessi.”
Jantung Jessi seolah dijatuhi timah panas yang membuatnya tiba-tiba kesakitan. Dadanya sesak meski tubuhnya refleks berdiri dari atas ranjang. Matanya melebar, antara terkejut dan tak percaya yang menjadi satu. Kalimat itu tersangkut di tenggorokannya. Didahului oleh air mata yang tiba-tiba jatuh dan membasahi kedua pipi. Bibirnya yang pucat meski sudah dipolesi lipstik berwarna merah muda mengatup cepat, terlihat bergetar. Sebelum kemudian Jessi benar-benar menutup mulutnya dengan satu tangan, kehabisan kata-kata.
“Jessi.” Emma kembali menjadi sosok pelindung yang melebarkan kedua lengannya, memeluk putrinya dengan iba. Membiarkan air mata lain jatuh membasahi pakaiannya yang berwarna ungu. “Polisi menemukan Rachel tewas di lapangan utama sekolah sebelum kami menemukanmu.”
Gadis itu merenggangkan pelukan dan menatap Emma dengan kedua matanya yang basah. “Kenapa dia meninggal, Mom?”
“Jatuh.” Emma menatap mata biru Jessi dalam-dalam. “Rachel diduga terjatuh dari lantai 4 bangunan sekolah, atau atap. Dia terjatuh dari tempat tinggi dan tubuhnya –“
Tidak ingin mendengar kata-kata mengerikan itu keluar dari mulut sang ibu, Jessi lantas memeluknya lagi. Kali ini lebih erat. Jessi ketakutan dan merasa bersalah atas apa yang menimpa Rachel sekarang. Ia tidak bisa mengingat apapun, bahkan kematian sahabat yang sudah seperti kakaknya sendiri. Jangankan kematian Rachel, memori tentang insiden yang menimpanya saja ia sama sekali tidak ingat.
“Tubuhnya sulit diidentifikasi,” lanjut Emma, dengan kata-kata yang lebih halus.
“Bagaimana Rachel tewas dan aku sekarat di waktu yang sama, Mom?”
Tanpa melepaskan pelukan yang terjadi di antara mereka, Emma tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan oleh putrinya. Tentu dengan nada yang tenang dan sangat berhati-hati.
“Kondisimu sudah membaik. Sebaiknya kau pergi ke sekolah besok jika kau sangat penasaran.”
“Aku ketakutan sekarang.”
“Mencari ingatanmu yang hilang mungkin dapat membantu. Setidaknya kita semua akan tahu siapa dan apa yang menyebabkan hal malang ini menimpa kalian berdua.”
Air mat aitu kembali jatuh tanpa permisi, mengalir seperti air murni yang mencari tempat rendah di sana.
“Polisi masih dalam proses penyelidikan. Mereka akan menemuimu segera, tapi Mom berharap, kau tidak telalu memaksakan diri nanti.”
Anggukan pelan tercipta dari Jessi. “Baiklah, Mom,” gumamnya, sebelum kembali menenggelamkan wajahnya dalam pelukan sang ibu yang terlihat sangat sedih daripada sebelumnya.
***