Menampik segala pemikiran liar Lania tentang suaminya itu, Lania pun kembali membasuh wajahnya berkali-kali dengan sisa emosi dan seluruh omelannya yang tertuju pada Vino.
"Awas saja dia, aku akan membalasnya!" benak Lania dengan penuh tekad demi bisa membuat Vino lebih merasa kesal dibandingkan dengan apa yang Lania rasakan saat ini.
Lania sendiri tidak mengerti akan perasaannya yang saat ini menjadi tidak karuan. Jantungnya berdetak sangat kencang semakin tidak terkendali saja.
Hingga Lania sendiri tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menenangkan detak jantungnya saat itu. Ia memandang wajahnya yang telah basah kuyup itu lekat-lekat di cermin.
Lania terdiam beberapa saat, ia pun menghembuskan napasnya dalam-dalam berulang kali hingga hatinya pun mulai sedikit lebih tenang. Lania kembali menundukkan wajahnya, mengusap sisa air yang masih terus menetes ke bajunya sedari tadi.
"Apa dia bilang? Milikku? Dia berkata semudah itu, semudah menghirup oksigen. Seolah, kata 'milikku' itu bukan apa-apa untuknya. Kata itu bukan sebuah beban baginya."
"Jelas sekali terlihat kalau kata 'MILIKKU' yang ia katakan itu tidak ada arti apa-apa baginya." Lania bergumam pelan dengan nada sedih dan kecewa yang terlihat dengan jelas dari raut wajahnya yang terpampang jelas dalam bayangan cermin.
Perlahan dan sedikit kasar, Lania pun kembali menghembuskan napas panjangnya dan semakin tertunduk dalam. Merenungkan segala hal yang kini bergejolak di dalam hatinya.
"Artinya Vino tidak benar-benar mencintaiku, kan?"
Pertanyaan itu muncul begitu saja tanpa aba-aba dan benar-benar tulus dari dalam hati Lania yang paling dalam. Perasaan ketir saat ia menyadari bila Vino mungkin memang tidak pernah serius mencintai dirinya. Malah, mungkin saja Vino memang sama sekali tidak pernah punya perasaan apapun untuk Lania.
Lania kemudian menatap kembali cermin itu, ditatapnya bayangan dirinya di cermin dengan sangat lekat. Tampak ekspresi kecewa tersirat dari wajahnya. Ia terlihat menyedihkan sebagai istri yang tak mendapatkan kasih dari sang suami. Istri pajangan yang hanya berguna sebagai penghibur Vino. Tanpa hati, tanpa perasaan dan gejolak hasrat yang membara layaknya pasangan suami istri yang Lania pernah idamkan.
Untuk beberapa saat pandangan mata itu benar-benar lekat pada Lania. Tertuju pada satu pandangan yang dalam serta tanpa berkata apa-apa. Lania seakan tenggelam begitu saja dengan segala perasaannya kala itu. Namun, tiba-tiba saja, secepat kilat dan dengan suara yang cukup nyaring.
Lania menampar kedua pipinya dengan kedua tangan mungilnya itu. Untuk kembali menyadarkan dirinya dari lamunan yang tidak masuk akal sebelumnya. Harapan untuk dicintai dari sosok suami yang memang sudah jelas tidak akan mungkin mencintai dirinya.
"Apa yang kamu pikirkan Lania!!"
"Ayo dong, sadar Lania, sadar, sadaaar!!"
Lania memastikan dengan mantap bahwa pikirannya telah jernih kembali dan kesadaran kembali di dirinya.
Untuk kesekian kalinya, Lania kembali untuk menatap bayangan dirinya yang ada di cermin, bekas kecupan yang Vino buat masih terlihat jelas di tubuhnya. Namun, ia berhasil menutupinya dengan baik saat itu juga. Menghilangkan tanda keberadaan Vino dari tubuhnya. Seolah memang tidak pernah ada apa-apa di sana.
"Yups, ini sempurna!" gumam Lania seraya melihat tatanan riasan sempurna yang berhasil menutupi bekas merah kecupan tersebut.
Senyuman sedikit terulas di wajah Lania, ia berhasil menutupi itu dengan riasan yang ia punya, namun ia yakin satu hal bahwa Vino mungkin tidak bisa menutupi dengan baik bekas kecupannya.
Lania cukup penasaran untuk melihat bekas kecupan itu lagi di leher Vino. Itu seolah menjadi sebuah piala kemenangan bagi Lania yang telah berhasil membuat Vino kesusahan. Ia cukup bangga dengan prestasi kecilnya itu dan berharap bahwa tanda kecupan itu akan membuat Vino jera bermain-main dengannya.
"Lihat saja, Vin. Apapun itu aku tidak akan menyerah dan aku juga tidak akan tinggal diam saja atas segala hal yang kamu lakukan."
Tekad itu menjadi percakapan terakhir Lania dengan bayangannya di cermin. Ia pun langsung setengah berlari kembali menuju kantornya setelah kesadaran Lania mulai pulih dari perasaan gundah yang tidak seharusnya menjadi beban untuk Lania. Ia telah usai dengan segala perasaan resah yang Vino di hatinya. Ia kini bertekad untuk terlihat biasa saja. Seperti tidak terjadi apa-apa setelah berhasil menutup bekas kecupan merah itu.
Salah satu alasan Lania untuk tetap bertindak biasa saja dan terus membalaskan segala perbuatan Vino adalah ia tidak ingin merasa repot jika Vino mengetahui perasaannya yang sesungguhnya. Ia tidak akan sanggup jika harus terus diledek saat ia ketahuan mencintai Vino. Begitu juga tentang dirinya yang memikirkan dengan serius perkataan Vino. Lania tak ingin Vino mengetahui hal tersebut. Dia bisa dikerjai habis-habisan atau sekedar di ledek oleh Vino yang pastinya akan sangat memalukan dan menjengkelkan.
"Jika Vino tahu aku mencintainya. Dia akan terus meledekku."
"Aku sangat yakin akan hal itu. Karena aku tahu pasti bila ia tidak punya sedikitpun perasaan untukku."
Keyakinan itu begitu besar bagi Lania. Sebab ia tahu bahwa Vino tidak pernah sekali pun terlihat gugup oleh Lania. Wajah tersipu saja tidak pernah dilihat oleh Lania dari Vino walau terkadang Lania sengaja menggoda Vino dengan sedikit lebih memikat. Tapi, ekspresi datar Vino saja sudah membuat Lania yakin jika Vino tidak memiliki perasaan seperti itu pada dirinya.
Bahkan saat sang kakek membahas masalah anak sekali pun, Vino bertindak seakan itu bukan sebuah masalah yang besar. Seolah ia bisa melakukan hal itu dengan wanita mana pun tak peduli itu adalah Lania atau bukan.
"Intinya, Vino tidak boleh tahu, kalau aku memikirkan kata-katanya. Sampai kapan pun, aku tidak boleh mengakui jika aku adalah miliknya!" tekad Lania tepat saat ia mulai memasuki kantor.
Jangankan untuk diketahui perasaan sebenarnya yang Lania miliki untuk Vino. Membiarkan Vino menyadari bahwa Lania memikirkan perkataannya saja, Lania sudah tidak mau lagi. Lania memutuskan untuk lebih fokus pada pekerjaannya di kantor daripada harus terus memikirkan Vino dan itu akan membuatnya jauh lebih mudah lagi untuk mengabaikan perasaannya pada Vino.
"Untung saja di kantor aku bisa sedikit lebih bebas. Tidak ada yang tahu hubungan kami dan ini akan membuat aku bisa lebih santai."
Seperti itulah pemikiran yang Lania miliki setiap kali ia menginjakkan kakinya di kantor. Ia cukup lega bisa bertindak bak orang asing di kantor, tanpa harus berpura-pura mesra dengan Vino walau mereka memang berada dalam satu tim yang sama semua tidak akan ada artinya sama sekali.
Selayaknya agenda kali ini, mereka akan melakukan pembukaan pertama dalam acara tahunan di perusahaan itu dan semua berlangsung meriah. Segala yang telah para panitia siapkan kini sukses besar tanpa kendala.
Akan tetapi, para panitia juga lah yang harus membereskan segala kekacauan yang telah di buat selama acara keakraban kantor itu terlaksana. Termasuk dalam tugas bagi Lania dan Vino yang juga merupakan salah satu dari panitia tersebut.
Lania, Vino dan para panitia lainnya mulai membereskan segalanya. Mulai dari membersihkan butiran potongan kertas kecil yang berjatuhan di lantai, bekas makanan, minuman, serta membongkar kembali segala dekorasi yang sebelumnya telah mereka pasang.
"Huft.. kenapa juga keakraban perusahaan ini berlangsung meriah seperti ini?"
Lania mulai mengeluh dengan sampah yang menumpuk saat itu. Sampah yang ia bersihkan seolah tidak ada habisnya. Sisa makanan yang berjatuhan di karpet lantai dan segala kekacauan yang lainnya. Semua benar-benar terlihat kacau yang membuat ekspresi dari semua panitia terlihat sama. Wajah penuh kelelahan dengan omelan yang mungkin sudah memenuhi hati mereka masing-masing.
"Bukankah itu untuk membuat tingkat stress dari perusahaan ini turun. Jika karyawan bahagia maka pekerjaan akan berlangsung dengan baik dan berkualitas!" Vino jelas membela perusahaan. Tak heran sebab, itu adalah perusahaan miliknya.
Memang benar saat pesta riang dengan beragam game menyenangkan itu di mulai. Semua terasa sangat bahagia, hanya satu orang yang sejak awal terlihat tidak menikmati acara tersebut yaitu Lania.
"Apa Lania masih memikirkan saat aku melakukan hal itu pada tubuhnya?"
"Ah, aku harus meminta maaf sekali lagi dengan benar pada Lania."
Vino menjadi kepikiran dengan kemurungan yang terlihat dari wajah Lania itu. Vino bahkan sampai berpikir jika ia harus meminta maaf dengan benar pada Lania. Rasa bersalah sempat tersirat di hati Vino karena apa yang telah ia lakukan pada tubuh Lania pagi itu.
Meskipun sempat membuat tanda tanya besar dari Vino yang meragukan alasan Lania yang tampak berbeda dan murung Namun, Vino merasa sedikit lega saat mengetahui alasan sebenarnya.
"Mungkin jika aku bukan panitia aku juga akan menikmati pesta ini dah bahagia."
"Sekarang bagaimana aku akan bahagia jika harus memungut semua sampah ini. Saat kita harus membereskan kekacauan ini!"
Vino hanya tersenyum lega, ia kini mengerti alasan wajah masam Lania yang terlihat selama acara itu berlangsung. Ternyata Lania sama sekali tidak memikirkan tentang kejadian pagi itu dan malah pusing sendiri dengan dirinya yang saat ini merupakan salah satu panitia yang sudah pasti akan jauh lebih merasa lelah selama acara berlangsung dan menjadi salah satu yang tidak bisa menikmati acara dengan baik karena tugasnya yang sebagai panitia itu.
"Tenang kamu juga bisa bahagia!"
Lania yang sudah kelelahan itu langsung memasang telinga saat Vino mengatakannya. Ia ingin mendengar pendapat dari Vino. Berharap ada kebijakan lain kali untuk membiarkan OB yang membersihkan segala kekacauan dari pesta perusahaan mereka.
Akan tetapi, apa yang keluar dari mulut Vino kembali membuat debaran Lania berpacu. Bukan hanya karena ia tersipu dan berdebar itu. Justru, karena kesal dengan apa yang Vino katakan.
"Aku akan membahagiakanmu di atas kasur istriku!"
Dooooor ....
Lania yang geram itu tanpa sengaja meledakkan balon sisa yang masih utuh.