"Sungguh, aku akan membahagiakan kamu di atas kasur Lania."
Bisikan itu sekali lagi Vino utarakan pada istrinya tersebut, meski Lania yang kesal itu sudah memecahkan balon begitu saja, yang malah membuat Vino semakin tersenyum dengan sangat lebar.
Sementara itu, begitu mendengar ucapan konyol Vino lagi Lania kembali tidak sanggup untuk menahan emosinya lagi.
"Bisa-bisanya dia mengatakan itu di kantor dan saat ada orang seperti ini?"
"Bagaimana jika ada yang mendengarnya?" benak Lania saat ia meremas kencang balon tersebut.
Lania yang tengah memungut beberapa balon yang masih utuh itu tanpa sadar meremas kencang sang balon hingga ia meledakan beberapa balon yang ada.
Bagaimana itu tidak membuat Lania geram, Vino membahas kebahagiaan kasur dan memanggil Lania dengan sebutan "istriku" begitu saja, tentu membuat emosi Lania tak mampu untuk ia bendung lagi.
Ledakan tersebut sedikit memancing pandangan para panitia lainnya. Namun, semua kembali sibuk dengan urusan mereka, begitu mengetahui jika sumber suara itu hanya dari balon yang tidak sengaja pecah oleh Lania. Tidak ada yang benar-benar istimewa dari hal tersebut. Semua hanya karena panitia lain juga ingin menyegerakan pekerjaan mereka dan segera pulang tak peduli bahwa para balon itu meledak di tangan Lania atau tidak yang terpenting mereka semua ingin cepat selesai dan pulang.
Akan tetapi, hanya Vino yang mengetahui dengan jelas alasan dari ledakan balon tersebut, yang bersamaan pula dengan ledakan emosi dari Lania dan langsung kembali mengusik pekerjaan Lania yang saat ini masih menumpuk.
"Mereka tidak akan dengar saat aku bilang kamu itu istriku!"
Mata Lania kembali memicing ke arah Vino. Memastikan jika Vino tidak sekali lagi memanggilnya dengan sebutan "istriku". Sebuah kode yang bisa langsung dimengerti oleh Vino untuk segera membungkam mulutnya dan hanya tersenyum lebar memperlihatkan jajaran giginya yang putih itu.
"Aku serius!" ucap Vino kemudian dan langsung berlari menghindari Lania.
Sambil menarik napas panjang. Lania pun memastikan ke sekitarnya. Memastikan jika benar, tidak ada yang mendengar apa yang baru saja Vino katakan.
"Awas saja kalau ada yang dengar! Bisa-bisanya dia bahas hal seperti itu di sini!"
Mata Lania pun sibuk melirik kesana-kemari dan benar seperti yang Vino katakan. Semua orang sudah kelelahan dan sibuk akan aktifitas mereka. Tanpa bertanya semua terlihat jelas di mata mereka, tentang mereka yang ingin segera pulang dan tak peduli lagi dengan keadaan sekitar apa lagi sampai mendengar pembicaraan Lania dan Vino yang tadi.
Lania pun kembali mencari sosok Vino yang tak bisa ia temukan di antara para panitia yang bekerja. Bukan bermaksud apa-apa semua itu karena Lania juga sedikit merasa bersalah telah meledakkan balon di telinga Vino. Sejujurnya ia ingin meminta maaf dengan benar untuk hal tersebut. Perasaan Lania sekaan mengatakan bahwa tindakannya tadi itu sudah terlalu kasar. Padahal Lania juga paham candaan Vino itu mungkin hanya ia buat untuk sedikit menghibur Lania yang sudah lelah bekerja.
"Aku benar-benar terlalu kasar meledakkan balon itu di telinga Vino."
"Yah, aku juga yakin jika Vino tidak akan sebodoh itu sampai ia mengatakan dengan mudah tentang hubungan suami istri kita."
Bersamaan dengan rasa bersalahnya itu, Lania juga cukup yakin jika Vino sebenarnya tidak terlalu ceroboh sampai ia bisa memanggil Lania istrinya dengan sembarangan. Vino pasti mengganggu Lania seperti itu dengan alasan yang sama seperti sebelumnya. Untuk sekadar mengganggunya saja.
Apa lagi, Lania juga cukup yakin jika Vino sebenarnya tidak terlalu peduli apakah hubungan mereka itu diketahui oleh publik atau tidak. Sehingga untuk kali ini, Lania berniat sedikit mengalah. Ia merasa bersalah karena Vino juga sudah pasti sama lelahnya dengan dirinya hanya saja, Vino masih berusaha untuk menghibur Lania hanya karena mendengar Lania mengatakan bahwa ia tidak bahagia.
"Aku benar-benar jahat jika mengabaikannya. Aku harus meminta maaf dengan benar pada Vino."
"Tapi, makhluk itu kabur kemana lagi sih?"
Lania memang sudah bertekad untuk meminta maaf pada Vino, tapi ia sama sekali tidak bisa menemukan sosok Vino yang mendadak hilang tanpa jejak tersebut. Padahal sebelumnya Vino juga bernasib sama sedang memungut beberapa balon di area yang tak jauh dari Lania.
Sembari berjalan menuju tumpukan balonnya itu lagi, Lania memutar kedua bola matanya sekali lagi untuk memastikan keberadaan Vino. Hingga akhirnya Lania pun melihat sekelompok wanita yang heboh hingga berkerumun, berceloteh dan berbicara dengan tingkah yang sangat genit.
Lania tahu betul arti dari kerumunan yang menghebohkan itu. Tanda jika kemungkinan Vino berada di sana, di tengah keramaian para wanita yang sibuk bertindak genit, menarik perhatian satu-satunya pria yang paling di sorot di kantor tersebut.
Tidak heran, jika seorang Vino kerap menjadi pusat perhatian dari para wanita. Ia menjadi idola bagi banyak pegawai wanita di kantor tersebut. Seakan menjadi hal yang sangat wajar bagi Vino. Mengingat latar belakangnya yang luar biasa dan juga sikapnya yang begitu ramah pada semua orang. Belum lagi parasnya yang rupawan benar-benar mencerminkan sosok pangeran dari negeri dongeng. Sempurna untuk menjadi idaman para wanita.
Terutama, Vino memang sejak awal tidak menyembunyikan latar belakangnya di perusahaan. Ia adalah pria yang kelak akan memimpin perusahaan itu di tangannya. Sehingga tidak jarang pula bagi para pegawai wanita untuk mendekati Vino. Mungkin, sekadar berharap dengan impian mereka yang bisa menjadi seorang Cinderella yang akan menaikkan derajat mereka jika berhasil memikat Vino.
"Lihatlah kerumunan itu, benar-benar seperti ngengat yang berkumpul di lampu yang terang."
Lania memang tidak heran dengan hal tersebut, ia juga merasakan hal wajar bila banyak wanita yang terus berada di sekitar Vino. Hanya saja, bagi Lania yang adalah istri sah Vino merasa semua itu sangat tidak adil dan menyebalkan. Vino yang selalu memasang wajah ramah dan tidak pernah bersikap tegas pada wanita mana pun itu tentu akan membuat gerah sang istri. Tak peduli ada perasaan cinta atau tidak di dalamnya, bagi Lania seharusnya Vino tetap menjaga martabatnya sebagai seorang suami. Tapi, mau dikata apa lagi. Vino dan Lania memang sepakat untuk merahasiakan hubungan mereka. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi Lania selain menelan rasa kesal tersebut sendirian sembari menggerutu di dalam hatinya.
"Oh, jadi setelah merayuku dan berkata akan membahagiakan aku di kasur. Eh, dia malah enak-enakan dengan para wanita?"
Lania mulai bertanduk. Memang benar Lania mengetahui dengan jelas sikap Vino yang selalu bersikap ramah tersebut. Namun, bukan berarti dia memaklumi para wanita yang bergelayut manja pada suaminya. Bagi Lania, seorang wanita juga harus punya harga diri, tidak mentang-mentang ada pria kaya, tampan dan memikat, lantas wanita bisa dengan santai menggoda pria tersebut. Seorang wanita juga harus punya martabat yang akan membuatnya pantas untuk pria tersebut, seharusnya seperti itu. Hanya saja, tingkah Vino yang juga menerima begitu saja rayuan dan segala tingkah manja dari para wanita itu juga membuat Lania semakin terbakar untuk membalaskan segala kekesalannya itu pada Vino kelak.
"Apa aku harus menghukumnya lagi?"
Banyak hal terlintas begitu saja di dalam pikiran Lania. Ia geram dan rasanya ingin memberikan Vino pelajaran akibat rasa cemburunya itu. Sebab, selain dari wanita yang tidak bisa mengendalikan diri mereka itu. Seharunya Vino masih bisa menjaga martabatnya sebagai suami dari Lania. Orang mungkin tidak tahu bahwa Vino adalah suaminya, tetapi harusnya Vino sadar jika ia sudah memiliki seorang istri.
"Benar, harusnya ia sadar jika dia sudah punya istri dan Vino juga malah terlihat begitu santai dengan para wanita padahal aku ada di sini."
Satu hal lagi yang membuat Lania semakin kesal adalah Vino yang bersikap santai itu semakin membuat Lania yakin jika Vino tidak menyimpan perasaan apapun untuk Lania. Menjadikan kekesalan yang Lania rasakan semakin besar dan terus membesar sehingga ia benar-benar ingin membuat Vino juga akan merasakan kekesalan yang sama dengan dirinya.
"Tapi, bagaimana jika dia malah menyerangku seperti tadi pagi?"
Akan tetapi, ada satu hal yang saat ini menjadi pertimbangan Lania. Saat ia mengingat kembali kejadian tadi pagi yang sangat mengejutkan. Vino yang tiba-tiba saja menyerang dirinya dan bahkan meninggalkan bekas kecupan di lehernya.
Lania pun bergidik saat mengingat kenangan tersebut. Wajahnya ikut memerah dengan pipinya yang terasa panas. Kenangan itu terasa begitu nyata dan ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Vino lakukan lagi jika mereka kembali terjebak dalam suasana seperti itu lagi.
"Eh, tapi, bukannya aku tidak boleh membiarkan dia begitu saja. Bagaimana pun kita harus cepat menyelesaikan ini semua dan jika aku mengganggu saat-saat dia bersama para wanita itu. Dia pasti akan sangat kesal dan dendamku akan terbalaskan."
Ide itu muncul begitu saja, saat Lania berharap bisa membuat Vino kesal bila mengganggunya saat ini. Lania pun berniat untuk menghampiri Vino dan menyeretnya untuk kembali bekerja. Namun, saat ia juga melihat senyuman Vino di antara para wanita itu. Lania memutuskan untuk mundur. Ia tak ingin ikut campur dalam urusan Vino tersebut. Ia memilih untuk menghindari hal tersebut dan mengurungkan kembali niatnya.
Langkah Lania terhenti dengan helaan napas dalam yang ia hembuskan. Pandangan mata Lania terlihat sayu dan sendu serta senyuman liriknya pun ikut memudar. Lania mendadak tenggelam dalam pemikirannya sendiri.
"Aku tidak mengerti apa alasan Vino bersikap ramah pada semua wanita seperti itu?"
Sedikit menyedihkan, tetapi Lania hanya bisa menelannya dalam hati saja, mengubur perasaan gundah itu sendirian. Lania tidak ingin berharap lebih pada suaminya itu. Jangankan untuk dicintai dengan tulus oleh Vino, hanya sekadar untuk mendapatkan perhatian dari Vino saja, ia tidak berani bermimpi.
"Berada di sisinya seperti ini saja sudah cukup untukku."
Lania benar-benar tak berani untuk menyerahkan dirinya dan hidupnya pada Vino. Ia sangat sadar dengan tembok apa yang menghadangnya di depannya itu. Tentang apa yang seharusnya tidak boleh ia lewati.
"Sadar, Lania. Kamu hanya putri dari pengelola sebuah restoran biasa dan Vino adalah pewaris sebuah perusahaan besar. Bagaimana pun, menjadi Cinderella tak akan seindah yang di duga."
"Bagaimana pun, kisah indah dari wanita miskin yang dicintai oleh pangeran itu hanya ada dalam sebuah dongeng.