Dirusak begitu saja perasaannya oleh Lania, tentu Vino tidak akan membiarkan hal tersebut begitu saja. Ia bersikeras untuk membuat Lania semakin kesal lagi dan menyesal telah membuat segala perasaannya kacau.
"Lihat saja, aku akan membuatmu tidak bisa lagi mengelak."
Pikiran Vino yang terus bermunculan segala macam ide cemerlangnya pun membuat Vino semakin tidak sabar untuk kembali menggoda Lania. Kali ini ia pun mencoba mengecam Lania. Memastikan bahwa Lania memahami betul apa yang kini menjadi tujuan dari Vino. Bahwa Vino akan memastikan segala hal yang menjadi miliknya dengan tepat sasaran. Membuat Lania yang mendengar hal itu sedikit tersipu malu saat Vino menegaskan bahwa Lania adalah miliknya.
"Lania, sebenarnya untuk apa kamu menutupi pernikahan kita?"
"Bukankah tidak ada yang salah jika kita menikah?"
"Semua orang tahu bahwa kita cukup dekat dan berita tentang persahabatan kita juga sudah menyebar. Rasanya tidak ada hal aneh jika semua orang tahu tentang pernikahan kita."
Vino tiba-tiba saja menghunjam Lania dengan segala pertanyaannya saat Lania hendak turun dari mobil mereka.
Sudah jelas, jika Lania tak akan bisa menjawab serangkaian pertanyaan tersebut, ia langsung menutup pintu mobil dan segera melangkah menuju kantor mereka. Mengabaikan begitu saja Vino yang masih penuh tanda tanya dan dengan sedikit membanting pintu sambil memperlihatkan tatapan tajamnya yang sadis.
Kala itu, Vino sedikit kesal akan Lania yang semudah itu mengabaikan dirinya. Vino yang menemukan sebuah ide itu pun akhirnya membuka kaca jendela mobil dan mulai berteriak dengan suaranya yang lantang dan tak ada sedikitpun keraguan yang terdengar dari setiap kata yang ia ucapkan.
"Biarkan saja semua orang tahu jika kamu adalah milikku!"
Vino yang tiba-tiba menjerit, membuat mata Lania terbelalak. Ia kembali tidak menyangka dengan apa yang vino teriakkan. Lania cukup lega karena saat itu tidak ada siapapun di sana. Tak akan bisa Lania bayangkan jika ada salah satu dari rekan kerjanya yang mendengar ucapan dari Vino tersebut.
"Bagaimana bisa dia berkata seperti itu di sini?"
Lania pun mempercepat langkah kakinya sambil terus mengomel. Keseharian yang penuh keributan dengan Vino suaminya tersebut rasanya tidak akan berakhir dengan mudah. Lania benar-benar tidak lagi sanggup membayangkan jika ia harus berdamai dan melahirkan seorang anak dari Vino.
"Urusan anak?"
"Entahlah, pikirkan nanti saja."
Jujur, Lania tidak keberatan jika harus melahirkan anak Vino demi sang kakek. Jauh di dalam hati Lania, ia sangat mencintai Vino. Ia cukup bersabar dengan Vino meski selalu dikerjai habis-habisan. Lania tidak pernah mengeluh jika Vino bersikap sesuka hatinya. Lania justru bahagia bila ia bisa mendapatkan sedikit saja perhatian dan segala sikap lembut yang Vino berikan untuknya.
"Tampaknya aku terlalu mencintainya. Sampai aku mungkin rela menjadi seorang janda anak satu jika ia memang tidak lagi ingin bersama denganku."
Lania cukup yakin jika tidak akan ada seorang pria pun yang akan menolak tubuh seorang wanita. Terbilang ia menyukainya atau tidak, selama itu adalah tubuh wanita maka besar kemungkinannya untuk hasrat seorang pria akan muncul. Lania cukup yakin dengan hal itu, apa lagi tadi pagi saja ia menyaksikan sendiri Vino yang lepas kendali dengan apa yang ia lakukan pada tubuh Lania.
"Mudah saja baginya untuk menyentuhku. Mudah baginya juga untuk membuat aku lepas darinya kelak."
Berbeda dari Lania yang mungkin akan tenggelam dengan segala sentuhan yang akan Vino berikan. Vino bisa saja melakukannya tanpa sedikit pun ada rasa. Meski begitu ia tetap tidak ingin orang tahu siapa suaminya itu. Ia tidak ingin orang tahu bahwa Lania kelak ditinggal oleh Vino. Bahkan jika Lania boleh bermimpi akan masa depan yang buruk. Lania berharap ia masih bisa bertingkah layaknya seorang teman dengan Vino. Itu sudah cukup untuk Lania yang benar-benar mencintai Vino setulus hatinya. Tak peduli bila kelak ia harus berpisah dengan Vino dan menyandang gelas janda beranak satu. Andai kata ia memang harus melahirkan seorang anak dan ketika sang kakek meninggal maka ia akan diceraikan dengan mudah begitu saja.
Semua itu sudah ada di dalam kepala Lania. Seperti apa yang sempat ia pikirkan. Satu-satunya hal yang menjadi keresahan hati Lania adalah sosok Vino itu sendiri. Ia tidak tahu perasaan apa yang Vino miliki untuknya. Lania juga tahu jika Vino pasti menikah karena keinginan sang kakek. Vino tidak mungkin mencintai dirinya. Bahkan jika memang sedikit saja ada rasa di hati Vino. Lania yakin jika Vino tidak mungkin akan terus mengerjainya seperti itu. Membuat dirinya emosi dan terus membakar amarah Lania tanpa henti.
"Jika saja ada sedikit rasa yang Vino miliki untukku."
Lania mulai bermimpi tentang kehangatan cinta yang akan Vino berikan untuknya. Namun, di saat yang bersamaan Lania juga mengerti jika Vino tidak mungkin memberikan hal itu untuknya. Vino terlalu dingin dan hanya ingin mempermainkan Lania. Pikiran itu terus muncul setiap kali ia di ganggu oleh Vino. Seperti kali ini, Lania lagi-lagi dibuat kesal oleh Vino.
"Jika dia benar-benar menginginkan aku menjadi miliknya. Dia pasti akan membuat kesan baik di hadapanku dan bukannya membuat aku kesal sepanjang waktu."
Kesimpulan itu Lania buat tanpa terbantahkan lagi, segala kekesalan kini bertumpuk di dalam hatinya, semua kenangan menyebalkan tentang Vino bermunculan begitu saja tanpa jeda dan Lania yang kala itu tanpa hati langsung meninggalkan Vino yang masih berada di mobil tersebut pada akhirnya mempercepat langkah kakinya menuju kantor mereka tanpa menoleh sedikit pun ke arah Vino.
Lania sangat terkejut dengan apa yang dikatakan Vino padanya barusan. Jantungnya berdetak kencang tak karuan. Matanya terus melihat sekeliling. Ia pun memutuskan untuk pergi ke toilet ketika ia melihat lambang toilet yang tak jauh dari lift kantornya berharap bisa sedikit menengkan hatinya yang kacau setelah sekian banyak hal yang terjadi dalam satu waktu.
Lania pun segera membasuh wajahnya, yang entah kenapa terasa sangat panas kala itu.
"Hah!! Milikku!"
Lania menatap cermin di hadapannya dengan wajahnya yang basah. Tidak bisa dipungkiri jika Lania memikirkan dengan serius apa yang barus aja Vino katakan tersebut. Bukan hanya sekedar kata sayang, namun apa yang dilakukan Vino padanya juga membuat Lania semakin bergidik.
"Iiiiih!!"
Lania menggerakkan tubuhnya yang bergidik ngeri itu dengan apa yang Vino lakukan seolah itu bukan apa-apa bagi Vino. Lania mendekap dirinya sendiri merasakan debaran yang luar biasa di jantungnya.
Bila semakin dipikirkan, Lania sejatinya tidak tahu apa yang benar-benar ia rasakan kali ini. Antara ia senang mendengar hal tersebut, atau ia merasa seram dengan kebohongan Vino yang sampai mengatakan bahwa Lania adalah miliknya.
Belum lagi Vino yang sempat hilang kendali tadi pagi sampai membuat tubuhnya nyaris basah akibat saliva Vino yang menjalar di tubuhnya membuat Lania semakin berdebar. Ia tak ingin berharap dan juga tak ingin kecewa jika apa yang Vino lakukan dengan mudah itu hanya candaan semata, sementara Lania dengan sangat tulus mencintai Vino dengan segenap hatinya.
"Apa sih, bikin salah paham saja. Memangnya dia benar-benar mencintaiku?"
"Itu mustahil!!"
"Vino pasti melakukan itu hanya untuk menggoda aku lagi," gerutu Lania sambil menggelengkan kepalanya. Meyakinkan jika perkataan Vino bukan sebuah pernyataan yang tulus