Ranjang Lain

2213 Kata
Setelah percintaan panas dan panjang di kamar mandi, sore itu Kendra dan Clarissa menyelesaikan mandi mereka bersama. Kendra yang membantu Clarissa untuk mandi dan keramas, bahkan membantu Clarissa untuk keluar dari kamar mandi dan mengeringkan rambut kepala Clarissa sebelum membawa Clarissa untuk istirahat sore itu dan sampai beranjak malam, mereka berdua masih sama-sama terlelap dalam pusaran gairah yang sudah tersalurkan dengan begitu indah dan nikmati. Lega. Kendra terjaga saat mendengar suara pintu kamarnya di ketuk dari arah luar. Kendra melirik jam di layar ponselnya dan ternyata waktu sudah menunjukkan angka 19 ; 16, dan itu adalah waktu untuk keluarganya makan malam. Kendra mendengar dengan sangat jelas jika ibunya memanggil dari balik pintu kamar itu. "Kendra. Bawa Clarissa turun. Ini jam makan malam!" Ucap Dena dengan sangat lembut dan sopan, dan Kendra bisa mendengar dengan sangat jelas ketika ibunya memanggil dan memintanya turun bersama Clarissa untuk makan malam. Kendra mengusap wajahnya untuk mengembalikan kesadarannya secara penuh, menguap kemudian beranjak turun dari atas ranjangnya setelah mengurai pelukan Clarissa di d**a dan perutnya, kemudian meletakkan bantal guling untuk Clarissa peluk. Sesekali wanita itu terdengar mengigaukan ayah dan ibunya, kemudian Kendra mendaratkan satu kecupan di ujung kepalanya sembari membelai rambut halus wanita itu dan setelahnya menarik selimutnya untuk benar-benar menutup tubuh itu sampai ke leher agar tidur Clarissa bisa lebih tenang. Sekali lagi Kendra melihat ke arah tidur Clarissa. Kemudian mematikan lampu utama kamar itu, setelahnya keluar untuk memenuhi panggilan ibunya , makan malam. "Di mana Clarissa?" Tanya Dena saat melihat putranya hanya turun sendiri tanpa istri mudanya. "Clarissa tidur Mama. Dia mengeluh capek dan Kendra tidak tega membangunkannya sekarang." Jawab Kendra dengan cukup lugas. "Tapi dia belum makan malam Kendra? Tidak baik tidur dalam kondisi perut kosong!" Balas Dena tapi Kendra kembali menggeleng. "Tidak apa-apa Ma. Tadi di luar rumah dia sudah banyak makan. Lagian kasihan juga jika Kendra harus membangunkannya sekarang. Dia dari tadi terus mengigaukan mama dan papanya." Jawab Kendra sembari menghela nafas dalam diam kemudian menghembuskannya dengan sangat kasar. " Jadi biarkan saja dulu dia seperti itu, dan jika nanti dia tiba-tiba terbangun di tengah malam dan mengeluh karena perutnya kosong, biar Kendra yang mengurusnya." Sambung Kendra dengan sangat apik dan Dena langsung mengangguk sembari menahan dadanya sebelah kiri dari rasa nyeri yang turut dia rasakan atas apa yang Clarissa rasakan. Dena tahu apa yang Clarissa rasakan saat ini. Tentu saja masih akan terasa sangat berat untuk Clarissa menerima kenyataan jika sekarang dia sudah tidak lagi memiliki ibu dan ayah, bahkan Clarissa tidak lagi memiliki kakek dan nenek dan satu-satunya keluarga Clarissa yang tersisa hanya Retno, adik perempuan dari mendiang ibunya. Tasya masih bisa di katakan lebih beruntung dari Clarissa, meski mereka sama-sama ditinggal mati oleh ibunya, tapi Tasya masih memiliki ayah juga kakek dan nenek yang lengkap. Tidak. Nasib Clarissa tidak seburuk itu. Kedua orang tuanya meninggalkan harta yang begitu berlimpah untuknya dan beruntungnya Kendra justru mendapatkan amanah untuk menikahi Clarissa yang memang masih sangat muda dan cantik, bahkan Dena sendiri mengakui jika Clarissa terlalu muda untuk Kendra, tapi tak apa, Clarissa anak yang baik, dan yang paling penting, mereka sudah sama-sama mengenal, sikap baik dan buruk Clarissa dan setidaknya mereka tidak perlu memulai adaptasi atau menjalin komunikasi yang penuh drama ketika seseorang justru tidak berperilaku seperti dirinya yang sesungguhnya, akan tetapi Clarissa tetap bisa mengeksplor dirinya seperti apa adanya dia, karena Clarissa mendapatkan suami juga ibu mertua yang memang sudah mengerti karakter dia. Setelah mengatakan itu, Kendra juga Dena melanjutkan makan malam mereka dengan baik , dengan Tasya yang sesekali menimpali obrolan ayah dan neneknya. "Besok Mama mau balik. Kasian lah Papa sudah dua minggu Mama tinggal." Ucap Dena pada akhirnya dan Kendra langsung mengangguk. "Omma dan Oppa kenapa gak tinggal di sini aja sih? Biar Omma gak perlu bolak balik . Tasya juga jadi bisa selalu dekat sama Omma dan Oppa. Gak kek gini, Omma cuma nginep pas Tasya lagi sakit doang, tau gitu Tasya lebih baik sakit selamanya!" Timpal Tasya saat mendengar neneknya akan kembali . "Hust. Tasya ngomong apa sih? Gak boleh gitu ah. Kan sekarang ada Caca yang juga tinggal di rumah Tasya." Ucap Dena menenangkan cucunya. Tasya memang selalu seperti itu setiap kali Dena menginap di rumahnya dan setelahnya akan banyak drama yang akan Tasya lakukan setiap kali Dena mengatakan akan kembali pulang. "Tapi Kak Caca palingan nginep sehari dua hari di sini. Setelahnya balik lagi dia kerumahnya." Tolak Tasya dan Dena langsung menggeleng. "No. Sekarang Caca akan tinggal selamanya di ruang Tasya. Lagian sekarang Tasya udah gak bisa manggil Caca dengan panggilan Kakak lagi, tapi Tasya harus manggil Caca dengan panggilan Mama. Mama Caca!" Ucap Dena dan Tasya terlihat mengerutkan alisnya pertanda bingung. "Mama,,,?" Kutip Tasya dan Dena langsung mengangguk, setelahnya Tasya juga melihat ke arah ayahnya dan Kendra hanya terlihat membagi senyum. "Tapi bagaimana bisa, Omma?" Tanya Tasya lagi dan Dena langsung menghela nafas . "Bisa dong. Kan sekarang Papa Tasya udah menikah sama Caca. Jadi sekarang Caca adalah Mama Tasya." Jelas Dena dengan sangat sederhana dan Tasya tentu saja mengerti, lantas Tasya langsung menatap ke arah ayahnya, seolah dia ingin menanyakan kebenaran itu pada sang ayah. "Apa itu benar, Pa?" Tanya Tasya dan Kendra membalas tatapan mata putrinya dengan anggukan. "Iya." Jawab Kendra singkat padat dan jelas lalu sedetik kemudian Tasya langsung bangkit dari duduknya kemudian mengitari meja makan untuk memeluk punggung lebar ayahnya dengan cara bergelantungan di punggung ity. "Coba Papa katakan sekali lagi. Apa , apa yang dikatakan Omma itu benar jika sekarang Papa dan Kak Clarissa sudah menikah dan sekarang Kak Clarissa sudah menjadi Mama Tasya?" Tanya Tasya tidak percaya dengan apa yang baru saja Dena, neneknya ucapkan. Tasya dan Clarissa sudah sangat dekat, bahkan saking dekatnya mereka sudah seperti adik dan kakak, meskipun terkadang juga seperti tikus dan kucing, tapi bukankah itu jauh lebih baik dari orang yang tiba-tiba masuk ketengah keluarga kita dengan menggunakan topeng kemunafikan, dalam kata lain dia harus membuat karakter baru hanya karena ingin mendapatkan simpatik , dan di sini Clarissa ataupun Tasya tidak perlu melakukan itu. Mereka tetap bisa menjadi diri mereka sendiri tanpa harus bersandiwara jika dia baik untuk satu keluarga. "Iya. Omma Dena benar. Papa dan Clarissa emang sudah menikah dan sekarang dia akan tinggal di rumah kita selamanya. Apa kau puas?" Jawab Kendra dan Tasya langsung mendaratkan ciuman di pipi sang ayah. "Oh, apa ini alasan kenapa kemarin Tasya liat Kak Caca ada di kamar Papa? Karena Kak Caca sekarang istri Papa, bukan karena punggung Kak Caca gatal dan minta di bedakin?" Sarkas Tasya dan Kendra langsung kesulitan untuk sekedar menelan salivanya sendiri kemudian melirik ke arah ibunya yang ternyata juga sedang menatap ke arah dirinya, dan kali ini wanita yang baru kemarin genap enam puluh tiga tahun itu langsung mengerutkan alisnya untuk mengintimidasi Kendra atas apa yang baru saja Tasya katakan. "Bukan seperti itu Tasya. Kemarin Kak Caca emang minta bantuan Papa untuk membubuhkan bedak di punggungnya karena gatal, bukan karena ,,,!" "Ah. Terserah Papa saja. Pokonya Tasya harus menemui Kak Caca sekarang. Tasya mau ngomelin dia, kenapa dia gak ngasi tau Tasya kalo dia dan Papa udah nikah. Enak aja Tasya gak di undang. Apa karena dia gak mau Tasya ambil kue banyak-banyak makanya dia diam-diam menikahi Papa. Gak bisa. Dia harus bertanggung jawab!" Potong Tasya dengan sangat cerewet dan sudah langsung berlari ke arah lantai atas , menuju kamar ayahnya , membuka pintu kamar itu dan langsung menyalakan lampu utama kamar itu, naik ke atas ranjang oversize milik ayahnya. "Katakan, apa yang Mama pikirkan saat ini benar atau tidak?" Tanya Dena tiba-tiba saat Tasya beranjak pergi dari meja makan itu. "Apa?" Tanya Kendra untuk satu kalimat ambigu yang baru saja sang Ibu katakan. "Jangan berlaga bodoh Kendra. Mama tahu kau mengerti apa yang Mama maksud!" Jawab Dena dan Kendra langsung terlihat menghela nafas dalam diam. "Dia istri Kendra Mama. Jadi bagaimana pun dia berhak atas Kendra begitu juga sebaliknya!" Jawab Kendra sama ambigunya. "Tapi dia masih sangat muda, Kendra, dia masih belum siap untuk sesuatu yang lebih. Terlebih lagi dia adalah putri sahabat mu. Apa kau benar-benar bisa melakukan itu padanya?" Ucap Dena sambil menopang kepalanya dengan siku yang bertumpu di atas meja, dan Kendra terdengar menghela nafas kemudian menghembuskannya dengan sangat kasar, karena ternyata apa yang baru saja ibunya takutkan sebenarnya itu pula yang sebelumnya Kendra takutkan, hanya saja Dena tentu tidak tahu bagaimana agresifnya Clarissa yang terus menuntutnya untuk sebuah malam pertama. Menuntutnya untuk menyentuhnya secara lebih layaknya seorang suami yang memberikan nafkah kepada sang istri. Lantas bagaimana Kendra bisa mengelak dari tanggung jawab itu jika Clarissa sendiri menginginkannya, bahkan menuntut hak yang memang sudah menjadi miliknya. "Kendra tau, Mama. Kendra tau, tapi,,, CK!" Kendra menjeda kalimatnya, bingung juga dengan apa yang harus dia katakan pada sang ibu. Di lain tempat. Retno sedang sangat kesal. Sudah lebih dari dua belas pesan yang dia kirim pada Kendra, akan tetapi tidak satupun pesannya dibaca apalagi dibalas oleh Kendra, dan saat Retno mencoba menghubungi nomor ponsel Kendra, nomer laki-laki gondrong itu justru tidak bisa di hubungi . Kendra masih berhutang penjelasan padanya dan sampai Kendra bisa menjelaskannya dan meyakinkan ketakutannya itu tidak akan terjadi, sampai saat itu pula Retno akan merasa gelisah. Kembali Retno mencoba melakukan panggilan telepon pada nomor ponsel milik Kendra, akan tetapi kembali pula panggilannya tidak tersambung dan itu semakin membuat Retno ingin mendatangi rumah Kendra untuk membuat perhitungan dengan laki-laki gondrong itu. "Dari tadi aku lihat kau begitu gelisah? Apa yang terjadi?" Tanya Teguh atas sikap tidak tenang yang istrinya tunjukkan di hadapannya, tapi wanita yang sudah melahirkan dua orang putra untuknya itu justru terlihat berdecak frustasi. "CK. Ini gara-gara laki-laki gondrong itu. Siang tadi dia mengatakan akan menjelaskan sesuatu terkait pernyataan Clarissa padaku, tapi sampai detik ini dia tidak juga membaca apalagi membalas pesanku, dia bahkan tidak bisa dihubungi, dan jika aku menghubunginya melalui nomor ponsel Clarissa, aku yakin si labil itu akan kembali menuduhku tergila-gila pada suami gondrongnya." Jawab Retno kesal dan Teguh justru terkekeh menanggapi keluhan istrinya. "Emang apa yang Clarissa katakan?" Tanya Teguh tapi Retno tentu saja tidak bisa menjawab apa yang Clarissa katakan, karena menurutnya itu sangat sensitif. "Ah. Sudahlah. Sepertinya aku memang harus membicarakan ini secara langsung sama Kendra." Jawab Retno masih dengan nada kesal. "Tapi lihatlah. Dia bahkan tidak bisa di hubungi. Sial!" Sambungnya semakin kesal dan kembali meletakkan ponselnya setelah kembali mengirim pesan ultimatum pada laki-laki itu. Sepanjang malam Retno justru tidak bisa mendapatkan tidurnya hanya karena perkara Kendra yang melakukan hubungan suami istri dengan Clarissa. Itu wajar, sangat wajar mengingat mereka memang sepasang suami istri, tapi sungguh, Retno belum sempat menegaskan pada Kendra agar tidak dulu membuat Clarissa hamil. Hal yang paling dasar dan utama itu justru Retno abaikan, lalu bagaimana jika Kendra memang melakukan itu tanpa mengamankan, dan sungguh Retno mulai takut sekarang. Retno sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang , saat dia justru terus memikirkan sesuatu yang iya iya antara Clarissa dan Kendra , dia bahkan tidak menyadari jika suaminya sudah merangkak naik untuk menaungi tubuhnya dan bersiap untuk menuntut haknya untuk di tuntaskan, dan baru saja Teguh akan mengecup belah bibir istrinya, saat Retno justru menjerit karena terkejut. "Oh. Apa yang kau lakukan, Mas?" Retno menahan d**a suaminya yang sudah setengah telanjang. "Apa yang kau pikirkan? Apa kau masih memikirkan masalah Clarissa dan suami gondrongnya itu?" Tanya Teguh dan kembali Retno mendesah. "Iya. Mereka benar-benar membuatku pening. Masa iya Kendra akan tega menggauli Clarissa yang masih begitu kecil itu. Oh membayangkan itu saja aku benar-benar ingin mengutuk laki-laki gondrong itu!" Jawab Retno jujur dan kali ini Teguh yang terlihat menghela nafas. "Jadi kau justru memikirkan ranjang orang lain dibanding memikirkan perasaan inginku saat ini? Oh Retno , kejam sekali kau. Saat orang yang sedang kau pikirkan mungkin saja sedang menikmati sesuatu yang indah dan menyenangkan di tempatnya, kau justru memikirkan sesuatu yang tidak sepantasnya kau pikirkan karena tugas mu tetap hanya menjadi istriku yang baik jika sudah berada di ranjang, dan ranjang ini bukanlah tempat untuk kau memikirkan apapun dan siapapun kecuali aku dan kedua putramu." Keluh Teguh frustasi. bisa-bisanya wanita dewasa ini justru bersikap jauh lebih labil dari pada Clarissa, dan sepertinya kali ini Teguh justru merasa di nomor sekian kan oleh sang istri. "Mas. Maafkan aku." Ucap Retno setelahnya. "aku benar-benar tidak bisa untuk tidak memikirkan ini. Karena jujur aku tiba-tiba takut jika Clarissa hamil oleh laki-laki gondrong itu sebelum Clarissa benar-benar menyelesaikan kuliahnya atau setidaknya sampai Clarissa berusia genap dua puluh satu tahun." Jawab Retno jujur dan semakin jelas sikap kecewa Teguh di hadapan sang istri. "Payah. Kalo begitu tetaplah seperti itu. Kau pikirkan saja si Caca dan suami gondrongnya ity. Aku lebih baik tidur di kamar anak-anak saja, dari pada tidur sama istri tapi pikirnya di ranjang orang lain!" Ucap Teguh yang sudah kembali memasang bajunya dan bersiap untuk turun dari atas ranjang miliknya. Namun Retno justru menahan lengan laki-laki itu untuk dia tenangkan. "Mas. Jangan gitu dong." Ucap Retno. "Ya mau bagaimana lagi. Dan kali ini sepertinya aku juga akan sependapat dengan Clarissa, jika kau terlalu berlebih-lebihan. Oh atau mungkin kau memang tergila-gila sama laki-laki gond,,,,!" Suara Teguh tertahan karena detik berikutnya Retno justru membungkam bibirnya dengan ciuman dan tentu saja sesuatu yang iya iya langsung terjadi, karena begitulah cara pasang suami istri menyelesaikan masalah dan perdebatan mereka. Bercinta dan bercinta, gak ada yang lain , yang lain itu hanya besok pagi kudu keramas, titik gak pake koma.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN