Pria itu mengubah ekspresi wajahnya sesaat, menghela napas sebelum kemudian memberikan Lizzie sebuah senyuman penuh arti. “Itu bukan kisah yang bagus, sebenarnya. Aku tidak ingin mengubah suasananya.”
“Aku tidak secengeng itu untuk langsung menangis hanya karena mendengar kisah sedih, Pak tua.”
Daxon tiba-tiba mengambil garpu milik Lizzie, menusuk sepotong daging lalu menyuapi. Lizzie tidak keberatan atas aksi itu dan malah menikmati perhatian kecil darinya.
“Kau dan mulut besarmu kadang perlu didisiplinkan sesekali,” sahut Daxon terkekeh.
Lalu kemudian cerita meluncur dari mulut si pria. Kisahnya tentang Armant dan bagaimana hubungan mereka. Situasinya kurang lebih sama seperti yang Armant sempat ceritakan. Tapi kemudian ketika Daxon menyebutkan satu nama, kisah itu jadi sedikit lebih berat dari pada yang Lizzie sangka.
“Pria itu adalah pria paling buruk untuk menjadi seorang wali bagi seorang anak,” ungkap Daxon sambil menyesap wine miliknya. Tatapan mata pria itu agak berkelana sesaat sebelum menatap pada Lizzie yang juga memperhatikan pria itu dengan seksama. “Tipe b******n yang hanya peduli dengan uang dan menggunakannya untuk bersenang-senang sedangkan tanggung jawabnya sendiri dia abaikan. Bahkan tidak jarang dia melampiaskan seluruh kemarahannya pada anak yang seharusnya dia rawat. Dia adalah figur orangtua terburuk. Pulang larut dalam keadaan mabuk, menghabiskan uang tunjangan untuk digunakan berjudi dan main perempuan. Dia adalah alasan mengapa aku kuat hari ini dan berani mengambil resiko untuk keluar dari rumah itu setelah aku cukup umur. Terkadang aku iri pada Armant karena dia bisa tumbuh dengan baik dibawah asuhan orangtuanya. Mereka memastikan menjaga Armant dan meraih impiannya sekaligus menjadikan anak itu sukses. Sedangkan aku, aku ini individualis. Aku harus menjaga diriku sendiri, jadi aku memutuskan untuk pergi keluar negeri dan masuk sekolah hukum dengan jerih payahku sendiri.”
Lizzie termenung, memandang pria itu lekat-lekat. Mencoba untuk tidak merasa iba atau simpati karena itu adalah perjanjian mereka diawal sebelum Daxon memulai kisahnya.
“Asal kau tahu, terkadang aku lupa kalau kau adalah seorang pengacara. Aku lebih menganggapmu sebagai seorang petarung di dalam sangkar.”
“Terima kasih dan persetan dengan itu.”
“See? Kau lebih sering mengumpat tapi itu membuatku lebih nyaman. Aku jadi ingin melihat sisi lain darimu saat sedang berada di pengadilan.” Lizzie terkekeh. Dia kemudian tiba-tiba melakukan mimikri terhadap lawan bicaranya dan merendahkan suaranya sesuai ingatan yang dia miliki terhadap Daxon. “Saya keberatan Yang Mulia, buktinya tidaklah cukup. Jika Anda bersikeras membebaskan terdakwa, go f**k yourself with your mallet, shithole.”
“Apa kau sedang mencoba meniruku?”
“Itulah yang aku pikirkan tentangmu saat kau berada di pengadilan, Om Daxon,” goda Lizzie.
“Aku tidak pernah menggunakan bahasa inggris di pengadilan lokal, Darling.”
Lizzie menyeringai, sedikit tersipu atas panggilan barunya dari si Om tampan sekaligus puas menikmati ekspresi Daxon yang jauh lebih baik dari pada saat Lizzie pertama kali menyinggung masa lalunya.
Tidak lama, Marie kembali ke meja mereka. Hanya sekadar menanyakan apakah mereka menginginkan makanan penutup. Lizzie menolaknya, tapi Daxon malah memesan cheesecake untuknya dan kue tiramisu untuk dirinya sendiri. Lizzie tidak bisa menolak, dan hasilnya dia menerima tambahan waktu untuk kebersamaan mereka disana. Sebelum makanan penutup dibungkuskan, Lizzie meminta waktu pada Daxon untuk pergi ke kamar kecil. Dia hanya merasa perlu membuang urin daripada menahannya selama lima belas menit di perjalanan pulang nanti. Tidak peduli seberapa cepat mobil melaju, dia tidak ingin menampilkan mimik tidak nyaman selama diperjalanan.
Namun selesai dengan urusannya dan Lizzie mencuci tangan. Pintu kamar mandi terbuka dan Lizzie terkejut lantaran orang yang berada di tempat ini adalah Marie.
“Oh, Halo lagi, Lizzie.” Marie tertawa kemudian berjalan mendekat dan menyalakan keran air di sebelahnya untuk mencuci tangan. “Apa makan malamnya menyenangkan?”
“Tempat ini luar biasa, aku tidak tahu kalau kau bekerja disini.”
“Aku mendapatkan panggilan mendadak untuk mengisi shift rekanku. Jadinya aku langsung kemari dan membatalkan makan malamku dengan Levin,” kata Marie tiba-tiba membawa topik yang sejujurnya memang Lizzie penasaran akan keberadaannya disini. Marie ternyata bisa menebak apa yang memang ingin dia ketahui. “Ya, kita mahasiswi kadang membutuhkan tambahan uang saku, kan? jadi katakan padaku kenapa kau diam saja selama ini? aku tidak menyangka kau punya pacar—”
“Sebenarnya dia bukan—ah, maksudku ….” Lizzie jadi bingung sendiri. Jika dia bilang iya, maka dia berbohong. Tapi jika dia bilang tidak akan semakin sulit lagi. Dia bingung sendiri, tapi Marie tiba-tiba menepuk bahunya.
“Tidak apa-apa, aku mengerti.”
“Hah?”
“Kau berkencan tapi masih belum ingin semua orang tahu. Itu bisa dimengerti, Lizzie. Lagipula itu urusan pribadimu dan kau bebas menyesuaikannya dengan yang kau mau. Meski aku tidak mengerti kenapa kau memilih menyembunyikannya dari kami. Tapi dia terlihat seperti seorang pria yang baik.”
“Ya kurang lebih begitu, tapi hubungan kami agak rumit,” kata Lizzie melembutkan suaranya. Dia sejujurnya sangat takut sekarang. Debaran di jantungnya bahkan meningkat dua kali lipat. Dia sangat gugup dan takut. Bagaimana bila Marie mengatakan sesuatu atas apa yang dia lihat malam ini kepada orang-orang?
“Karena dia lebih tua darimu? Menurutku itu tidak masalah. Umur hanyalah angka. Banyak orang memiliki perbedaan usia dalam hubungan percintaan tapi mereka berhasil. Hanya saja aku dibuat kagum saat dia melihat padamu. Caranya memandangmu itu sangat … wow.”
Kata-kata Marie meresap ke dalam benaknya. Dia tidak percaya bahwa orang luar melihat dia dan Daxon sebagai sepasang kekasih. Apalagi ungkapan itu dia dengar dari sahabatnya sendiri.
“Kalian berdua terlihat sangat romantis dan bahagia. Ups, maaf. Aku rasa aku terlalu banyak bicara. Tapi aku sangat senang saat akhirnya kau mau membuka hatimu untuk seorang pria.”
“Tidak apa-apa Marie, dan terima kasih sudah melayani kami malam ini.”
“Itu pekerjaanku.”
“Marie aku keluar duluan ya.”
“Ah, maaf bila aku menahanmu. Kalau begitu sampai jumpa lagi nanti.” seru Marie, sementara Lizzie hanya menganggukan kepala dan keluar dari kamar mandi.
Gadis itu menemukan Daxon sudah menungguinya tidak jauh dari kamar kecil, membawa bungkusan di tangannya. Pria itu tersenyum padanya, dan itu mengingatkan komentar Marie terhadapnya saat di kamar mandi tadi. Untuk beberapa alasan Lizzie tiba-tiba merasa malu, dan menghindari tatapan Daxon dengan agak gugup. Lizzie jadi merasa bahwa ada sesuatu yang manis dari cara Daxon tersenyum. Padahal belum lama ini Lizzie tidak begitu banyak berpikir tentang hal-hal seperti ini dari seorang pria kecuali Levin. Tapi khusus malam ini, Daxon seribu kali lipat lebih menawan dari pada Levin yang ditaksirnya.
“Sudah?”
Lizzie mengangguk sebagai respon, kemudian menempatkan dirinya berjalan satu langkah dibelakang Daxon. Melihat gelagat itu, itu Daxon malah menggenggam tangannya lagi. “Kenapa jadi malu-malu begitu, hm?”
“Diam!” seru Lizzie menundukan kepala, jantungnya berdebar kencang dan lidahnya terasa kaku.
Semuanya sangatlah sempurna. Makan malam yang luar biasa, Marie yang sangat pengertian, makanan penutup yang dibungkus untuk dibawa pulang, serta sebuah petualangan di ranjang yang menunggu untuk dilakukan.
Lizzie tidak suka istilah ‘kencan’ seperti yang Marie singgung padanya beberapa waktu lalu. Tapi bila ini bisa disebut sebagai kategori kencan, maka ini berarti adalah sebuah moment kencan terbaik seumur hidupnya.
Daxon membuka pintu restoran dan Lizzie mengikuti pria itu. Tepat saat itulah pasangan lain masuk. Dan Daxon mendadak berhenti, setengah terpaku dengan ekspresi mata yang melebar dan wajahnya yang kontan pucat. Pasangan di depan mereka juga berhenti dan balas menatap. Ekspresi serupa Lizzie dapati dari pihak perempuannya. Mimik wajah yang mirip dengan Daxon buat. Ketegangan langsung menguar di atmosfer, Lizzie merasa tidak nyaman dengan ini.
“D-Daxon ….”