Rasa Ingin Tahu yang Tinggi

1497 Kata
Lizzie memaksakan wajahnya untuk berekspresi setenang mungkin, kemudian memberikan senyuman yang kikuk kepada gadis itu. “Hai.” “Sepertinya takdir mempertemukan kita kembali, ya?” Marie tertawa tapi Lizzie sama sekali tidak memahami dimana letak kelucuan dari kata-katanya. Meski begitu Lizzie tetap menganggukan kepala. “Ya.” “Namun lebih pada takdir yang lucu,” sahut Daxon tiba-tiba mengikuti arah pembicaraan kedua gadis di hadapannya sambil meletakan menu miliknya diatas meja sehingga menarik perhatian Marie. “Ah, maafkan saya. Apa yang inginkan sebagai pembuka?” “Aku ingin pesan segelas cabernet,” jawab Daxon santai. “Dan segelas air dengan perasan lemon.” Marie menulis pesanan tersebut pada buku catatannya, kemudian dia beralih pada Lizzie. Situasi ini masih belum sepenuhnya dapat Lizzie kuasai. Dia masih mencoba untuk mengikuti arusnya dan sedikit memikirkan akibat dari pertemuan mereka malam ini. Dia terlihat sedang bersama Daxon, oleh kolega dikampusnya, dan itu adalah temannya sendiri yang sangat dia kenal. “Wine,” ujar Lizzie singkat. Setelah gadis itu pergi, Lizzie secara spontan langsung bersandar pada kursinya dan menarik napas lelah seolah dia baru saja mengerjakan hal yang melelahkan di dunia. Perutnya masih terasa melilit. Dia sedikit beruntung karena Marie tampaknya sangat professional saat berkerja. Walau tidak menutup kemungkinan Lizzie akan mendapatkan banyak pertanyaan setelahnya. “Kebetulan sekali melihat gadis itu lagi disini.” Lizzie menganggukan kepala, sementara Daxon mengangkat alis. “Dengan kata lain kau tidak suka jika temanmu melihat kau bersama dengan lelaki yang lebih tua?” Lizzie menggelengkan kepalanya dan hal itu membuat Daxon jadi sedikit kesal karena dia tidak bicara dengan benar. “Biar aku tebak. Gadis tadi bukan hanya temanmu, tapi dia lebih dekat dari itu. Dia adalah orang yang paling kau waspadai karena dia berpotensi untuk menghakimimu jika melihat kau bersama denganku malam ini. Apa dia kekasih mantanmu?” “Om …,” gumam Lizzie. Sejujurnya d**a Lizzie terasa sesak saat pria itu menyebut kata mantan. Apakah Lizzie memang semudah itu ditebak? Atau barangkali Daxon saja yang terlalu tanggap? Saat Lizzie sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba Daxon mengulurkan tangan sehingga tanpa Lizzie sadari tangan mereka telah terikat satu sama lain. Daxon mengusap ibu jarinya ke tangan Lizzie, gerakan kecil itu secara mengejutkan dapat meredakan rasa tegang dan pikirannya yang kalut hanya dalam hitungan detik. Mengalihkan perhatian Lizzie dari Levin menuju kepada Daxon yang saat ini sedang berada di hadapannya. “Jangan pikirkan itu,” ujar Daxon dengan tegas tapi lembut. “Jangan khawatir tentang apa pun selama kau bersamaku. Kau berhak menikmati malam yang menyenangkan. Lepaskan semua beban itu. Bersenang-senanglah.” Kata-kata yang keluar dari mulut Daxon laksana bisikan yang halus bagai kain sutra. Lizzie mendengarkan ujaran pria itu dengan sangat baik sehingga dirinya tidak kehilangan satu suku kata pun dari yang baru saja diungkapkan oleh pria itu. Lizzie pada akhirnya tersenyum kembali, mendengarkan kata-kata yang berkonotasi positif tersebut, seraya menikmati sentuhan lembut jemari pria itu dan suara beratnya. Lizzie amat mengagumi matanya yang kelabu dan tajam serta wajahnya yang tampan yang terkena cahaya lilin. Lizzie merasakan adanya sentuhan di paha dan kontan gadis itu tersentak. Daxon menyeringai dan suaranya menjadi lebih gelap. “I mean it.” Daxon meremas tangannya dan sebelah tangannya lagi mengusap lembut pahanya dibawah meja. Lizzie menggeliat merasakn sensasi tersebut, senyuman penuh hasrat dapat Lizzie lihat tapi memudar saat Marie mendekat kearah mereka dengan minuman sesuai pesanan. Dia menarik kedua tangannya dari Lizzie, berpura-pura bahwa mereka tidak sedekat nadi. Lizzie sendiri tidak banyak bereaksi dan hanya mendengarkan Marie dan Daxon bertukar kata. Dia lebih sibuk meredakan dentuman jantungnya gara-gara sentuhan tak terduga yang Daxon alamatkan kepada dia. Lizzie masih bisa merasakan kehangatan pria itu pada tempat dimana dia menyentuhan beberapa saat yang lalu. Tapi ada satu hal yang kemudian mengusik relung terdalamnya. Ini semua adalah bagian dari permainan pria itu. Daxon hanya ingin menunjukan pada orang-orang bahwa mereka bersama. Dia lebih seperti piala bagi pria itu dan tampaknya dia senang memamerkannya. Seperti hewan peliharaan yang cantik untuk diajak jalan-jalan sehingga mengundang perhatian. Sangat disayangkan, padahal perkataan Daxon terdengar sangat tulus dan baik. Juga bagaimana cara pria itu menenangkannya dengan menggenggam tangan Lizzie. Dia merasakan sebuah debaran aneh di d**a, tapi sialnya semua itu terjadi karena Daxon ingin membuat sedikit pertunjukan. “Lizzie, kau mau makan apa?” Secara asal dia menunjuk pada satu gambar yang memamerkan sepiring daging menggiurkan. “Aku pesan ini.” Marie mencatat pesanan Lizzie dan mengambil menu dari mereka. “Baiklah, silahkan tunggu sebentar. Saya akan kembali dalam beberapa menit.” Lizzie memperhatikan Marie yang pergi, lalu melirik kearah Daxon yang sedang menyesap wine miliknya. “Jadi, ceritakan padaku lebih banyak tentang pagelaran senimu,” kata Daxon tiba-tiba. “Kau tidak pernah menceritakan apa pun tapi tiba-tiba kita bertemu disana. Aku sebenarnya ingin langsung menanyakannya padamu saat kita bertemu di galeri tapi aku merasa aku tidak berhak bersikap terlalu dekat denganmu saat ada ibu dan Armant disana. Aku tahu kau pasti tidak akan nyaman jika aku begitu.” “Kau sangat bijaksana saat itu, tapi sejujurnya bukan itu yang aku khawatirkan,” jawab Lizzie, dia mendesah malas membuat Daxon memincingkan mata. Dia memberi Lizzie sebuah isyarat agar dia bicara lebih banyak, dan Lizzie menangkapnya dengan baik. “Ibuku bukan tipe yang akan peduli soal itu. Armant mungkin memang akan terkejut tapi dia akan dengan cepat melupakannya. Tapi ayahku mungkin akan kehilangan akal sehatnya lagi. Ya, dia melakukannya hanya saja dia cukup pengertian dengan melakukannya di tempat dimana tidak terlalu banyak orang yang melihat.” Daxon melipat tangannya di atas meja seraya mencondongkan tubuh ke depan, matanya yang tajam langsung tertuju kepada Lizzie. “Tidak keberatan kalau aku membongkarnya?” “Kurasa tidak.” “Pria berkacamata di pameran seni, dia ayahmu. Benar kan?” Lizzie menganggukan kepala. Kebetulan sekali saat itu Marie sudah kembali dengan pesanan mereka yang kedua. Dia menata seluruh pesanan tersebut diatas meja dan kembali menanyakan apa yang bisa dia bantu sebelum kembali bertugas di meja lain. Baik Daxon maupun Lizzie keduanya merasa cukup dengan itu, sehingga Marie bisa kembali bertugas di posisi barunya. Daxon tetap diam sampai merasa Marie berada diluar jangkauan pendengaran, barulah dia kembali melanjutkan pertanyaannya. “Kenapa dia berada dalam suasana hati yang buruk saat menghadiri acara terbaik putrinya? Maksudku dia masuk melihatmu sekali lalu pergi.” “Begitulah sikapnya padaku,” sahut Lizzie sambil tersenyum pahit. Dia mengambil garpu dan pisau untuk memotong daging besar diatas piring. Kelembutan dan betapa menggodanya daging tersebut membuat Lizzie tidak merasa begitu teriritasi walaupun topik pembicarannya adalah tentang sang ayah yang punya kontribusi besar dalam menyakiti hati. “Dia orang yang paling menentang jalanku menjadi seorang seniman. Dia berpikir bahwa karya seniku hanyalah sampah. Tidak ada masa depannya jika aku terus bersikukuh melanjutkan pendidikan seniku.” “Apa dia seorang dokter?” “Ya, di sebuah rumah sakit terbesar di kota ini. Dia dokter yang paling diandalkan disana.” Daxon mengerang, ekspresinya tidak terbaca tapi setidaknya dia tidak menghakimi Lizzie dan itu cukup. “Tapi kabar baiknya aku justru sukses menjual lukisanku di pameran itu dengan harga yang fantastis. Dia belum tahu soal itu. Tapi jika aku punya waktu aku akan menyodorkan uang yang aku hasilkan dari lukisanku tepat kedepan mukanya sebagai pembuktikan bahwa profesi yang dia hina juga menghasilkan.” Lizzie tertawa bangga, sementara tatapan Daxon berubah menjadi ikut bersemangat dan berbinar. “Kau menjual lukisan di kesempatan pertamamu? Itu hebat!” “Ya. Aku tahu itu. Tapi sayangnya aku agak kecewa karena harus menjualnya, kau tahu itu karya terbaik dan merupakan lukisan favoritku sejauh ini.” “Kau punya fotonya? Aku mencoba mencari karyamu diantara banyaknya lukisan digaleri. Tapi tidak ada satu pun namamu terpajang disana.” Lizzie merogoh saku belakangnya dan mengambil ponsel miliknya. Daxon tetap diam saat Lizzie mencari salah satu potret dari lukisan itu sebelum berpindah tangan darinya. Lizzie mengulurkan ponselnya kepada Daxon. Pria itu diam-diam mengamati gambar itu, matanya gelap tampak sangat serius. “Sejujurnya saat prosesnya aku sangat pesimis apalagi karena Mr. Pixys mengkritiknya habis-habisan. Tapi setelah aku bertemu denganmu aku bisa menyelesaikan lukisan itu. Aku tidak pernah berpikir bahwa kita akan bertemu lagi dan berbincang santai seperti sekarang, makanya aku menjadikan tato yang ada ditubuhmu sebagai inspirasiku,” ungkap Lizzie yang langsung menutup mulutnya sendiri. “Ah maaf, kalau menurutmu itu menjijikan aku—” Pria itu tidak berkomentar banyak dan hanya menggelengkan kepala setelah mengembalikan ponsel itu kepada Lizzie. “Sebenarnya itu ironi. Tapi lukisanmu sangat indah, dan benar-benar masterpiece.” “Kau tidak perlu bersikap sopan, kalau memang menjijikan kau tinggal mengakuinya. Maksudku kita hanya patner ranjang tapi aku melanggar batas.” “Aku bersungguh-sungguh Lizzie. Gambar itu—” “Ah! Ini enak sekali.” Potong Lizzie yang memasukan potongan pertama daging sapi tersebut kemulutnya. Merasakan betapa lembut dan sempurnanya harmoni dari rasa yang dicecap oleh lidahnya. Daxon alhasil berhenti untuk membahas soal itu, dia memandang kea rah Lizzie dan memilih diam sambil menikmati wajah Lizzie yang tampak puas dengan makan malam pilihannya. “Karena kau sudah tahu soal aku, kini giliranmu membuka masa lalumu. Om, tidak keberatan membongkarnya untukku kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN