Daddy
Here
Lizzie setengah terburu-buru kala itu, mengedarkan pandangan ketika tiba di tikungan. Disanalah dia menemukan sebuah Porsche yang langsung menarik perhatiannya. seraya menjaga ekspresinya agak dinilai tidak berlebihan Lizzie mulai berjalan mendekat. Namun ketika hampir mengikis jarak, saat itulah Lizzie melihat Marie berjalan ke arahnya. Gerak tubuh Lizzie kontan menjadi kaku ketika gadis itu melambai dan memberinya sapaan ramah. Sial!
“Hei Lizzie, kau terlihat rapi. Ada janji dengan seseorang?”
“Ah … ya,” sahut Lizzie kaku. Dia sudah berdiri di dekat mobil Daxon tapi tidak berani menyentuhnya atau bahkan melirik ke arah Daxon yang sepertinya sedang mengintai dibalik kemudi dan dengan sabar menanti. Lizzie hargai kebijaksanaan pria itu untuk tidak ikut campur dalam situasi ini. “Kau sendiri juga tampaknya ada janji temu. Mau kencan?”
“Ya, makan malam dengan Levin,” sahut Marie tertawa lembut.
Jauh dilubuk hati Lizzie merasa dadanya di hantam palu. Siang tadi, Levin mengajaknya bercinta dan Lizzie menolaknya. Lalu sekarang dia bertemu dengan Marie dan bilang Levin mengajaknya makan malam. b******k sekali pria itu.
“Kedengarannya bagus. Kalau begitu aku tidak akan menahanmu lebih lama disini. Selamat bersenang-senang,” kata Lizzie sambil melambai berpura-pura untuk beranjak darisana.
Ketika Marie berbalik pergi menuju direksinya sendiri dan menghilang, barulah Lizzie langsung setengah berlari dan masuk ke dalam mobil Daxon. Dia duduk dikursi penumpang dan mendengar suara desahan panjang dari pria yang duduk di kursi kemudi.
“Are you f*****g serious?”
“Maaf Om,” sahut Lizzie dengan sangat menyesal. “Dia sahabatku dan aku tidak ingin dia melihatku masuk ke dalam mobilmu. Dia pasti akan memberikanku segudang pertanyaan yang tidak ingin aku jawab. Tapi terima kasih karena tidak ikut campur dalam hal itu dan memilih menunggu disini.”
“Aku pria dewasa yang tahu situasi. Tidak seperti seseorang,” timpal Daxon setengah menyindirnya.
Lizzie hanya tersenyum getir. “Aku hanya penasaran saat itu, Om”
“Mau makan apa? aku yakin kau tidak mengisi perutmu sama sekali. Mengingat pola makanmu yang buruk.”
“Apa boleh buat, aku sibuk dengan semua hal sehingga tidak sempat. Tapi aku yakin kau akan mengurus perutku dengan sangat baik malam ini.”
Daxon mengangkat bahunya. “Aku tidak bisa membiarkanmu kelelahan atau pingsan saat kita sedang bersenang-senang di ranjang nantinya.”
“Ya, kau dan isi kepala mesummu. Tidak mengherankan.”
“Jadi, mau makan apa?” ulang pria itu lagi.
“Apapun,” sahut Lizzie tapi Daxon tampak mempertanyakan kembali jawabannya yang tidak signifikan. Membuat gadis itu paham kalau Daxon ingin sesuatu yang to the point dari pada menebak isi hatinya. “Uhh … maksudku bagaimana kalau kita makan daging?”
Jawaban itu keluar dengan cara yang menyarankan dan agak malu-malu. Bagaimana pun juga dia perlu meminta izin untuk itu karena sekali lagi Lizzie akan menguras dompetnya.
“Daging ya,” gumam Daxon. “Ngomong-ngomong, kau terlihat cantik.”
“Terima kasih,” sahut Lizzie, menekan kedua pipinya dengan tangan dan pura-pura tidak salah tingkah meski dia sudah kepalang basah. Daxon hanya tersenyum kecil melirik reaksi Lizzie atas pujian kecilnya.
Daxon meraih kemudi untuk menyalakan mobil. Sepertinya dia sudah menentukan restoran mana yang akan mereka sambangi dengan menu utama daging di dalamnya. Lizzie bisa merasakan kekuatan dari mobil mahal itu setiap kali bermanufer di belokan kecil. Lizzie tidak kuasa menyeringai dengan setiap akselerasi yang keras.
“Rupanya nona seniman kita bersenang-senang ya?”
“Sedikit, mobil ini menakjubkan.”
“I will take the highway then. Aku yakin itu akan lebih mengesankan.”
Lizzie menahan jeritan penuh adrenalin ketika Daxon mengemudikan mobilnya dengan cara yang tidak terduga. Laju yang cukup cepat tapi sangat stabil dan membuat jantung gadis itu berdebar-debar. Daxon adalah pengemudi yang hebat.
***
Tiba di sebuah restoran, Daxon menghentikan mobilnya dan parkir disana.
Sekelompok orang berjalan tepat disamping mereka, Lizzie secara spontan mendekatkan diri pada Daxon tapi dia menyadari bahwa pria itu tidak menggenggam erat tangannya dan malah seolah menjaga jarak saat Lizzie mendekatinya. Sambil menghela napas Lizzie menurunkan ekspektasi. Ini bukan kencan, jadi kenapa dia merasa perlu berharap lebih akan sebuah kedekatan penuh romansa dan intrik manis?
Saat ini isi kepalanya berkecamuk dia bingung menentukan apakah harus merasa lega atau kesal. Lega karena Daxon membatasi jelas hubungan mereka sehingga tidak melibatkan perasaan, atau kesal karena Daxon tidak memperlakukannya dengan penuh kasih sayang dan cukup perhatian. Lizzie tidak tahu mengapa hal itu jadi sangat mengganggunya, karena itulah dia memilih untuk bersikap realistis dan hendak menarik tangannya, tapi Daxon tiba-tiba menghentikan pergerakan Lizzie.
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
Lizzie menatap pria itu buas. “Kau memegang tanganku.”
“Apa itu buruk?”
“Aneh.”
“Jangan bilang selain tidak berciuman kau juga tidak pernah berpegangan tangan dengan pria yang kau kencani?”
Lizzie menelan ludahnya dengan susah payah. “Sebenarnya aku … aku tidak pernah mencium siapapun….”
“Oh f**k,” gumam Daxon yang masih bisa didengar Lizzie. Pria itu menutup mulutnya dengan sebelah tangan yang bebas. Entah mengapa, tapi Lizzie bisa melihat ada semburat merah samar disana. “Dengar Lizzie, kau hanya perlu santai denganku. Ini tidak seperti aku memaksamu melakukan sesuatu yang buruk. Aku memegang tanganmu karena bisa saja kita berpisah, atau kau tersesat dan semacam itulah. Anggap saja ini hanya seperti sebuah bantuan kecil.”
Lizzie menahan napas dia agak malu pada anggapannya yang berpikir bahwa pegangan tangan hanya berlaku bagi sepasang kekasih saja. Tapi bila dijelaskan dengan sudut pandang seperti yang Daxon bilang. Masuk akal bahwa ini bisa terjadi pada hubungan kasual sekali pun.
Jadi pada akhirnya Lizzie tidak banyak berpikir dan memilih untuk menggenggam balik tangan pria itu, wajahnya dia palingkan ke arah lain. Tapi justru saat itulah, dia merasakan adanya remasan balik dari Daxon yang membuat jantungnya makin berdebar.
“Lagipula, jika aku mengajakmu jalan aku ingin orang-orang yang melihat tahu bahwa kita bersama.”
“Oh, kau takut ada seseorang yang merayuku saat kita bersama jika tidak seperti ini?” goda Lizzie sementara pria itu tidak menjawab dan memilih membukakan pintu restoran untuknya.
“Aku tidak takut. Aku juga tidak peduli. Karena mereka tidak akan berani mendekat padamu, mengingat aku ada disisimu sampai aku mengantarmu pulang di penghujung malam. Aku cukup percaya diri mereka cemburu karena hanya aku yang menikmatimu diatas ranjang.”
“Jadi menurutmu aku manis dan kau ingin memamerkan aku?” Lizzie bertanya sambil menyenggol bahu Daxon. Wanita yang kebetulan berdiri didepan mereka hanya sanggup menggigit bibir. Begitu melirik, bahwa mereka kini tidak hanya berdua saja, Lizzie langsung menunduk. Wajahnya merah karena malu.
“Selamat malam, meja untuk dua orang?” wanita itu terdengar agak canggung. Dari gelagatnya sepertinya dia mencoba untuk tidak terkikik didepan Lizzie.
“Tiga, karena sepertinya nona manis ini membawa ego tinggi bersamanya.”
“Dua,” potong Lizzie sambil mengangkat jari menunjukan jumlah yang benar.
“Lewat sini,” sahut wanita itu tersenyum simpul dan memberi petunjuk kepada mereka.
Keduanya mulai melangkah lebih jauh mengikuti panduan pegawai restoran tersebut. Saat itulah Daxon mengambil kesempatan untuk melingkarkan tangannya di pinggang Lizzie. Gadis itu agak melompat tak siap atas sentuhan tersebut, Daxon memasang seringai puas di wajahnya sementara Lizzie sibuk memperhatikan sekeliling restoran dengan penuh minat.
Tempat itu menakjubkan, dihiasi dengan batu dan tanaman merambat yang dimaksudkan untuk memberikan tampilan pedasaan kuno. Ada tong-tong berat yang diletakan di sepanjang dinding dan rak-rak berisi anggur. Sinar lampunya tidak terlalu terang malah lebih ke arah temaram dengan lilin yang diletakan diatas meja untuk memberikan kesan hangat. Di depan sana ada sebuah panggung yang diisi oleh pemain biola dan pianis. Tempat ini betul-betul sebuah destinasi yang tepat untuk makan malam special. Lizzie tidak menyangka bahwa Daxon akan membawanya ke tempat romantis macam ini hanya untuk sekadar makan malam.
Lizzie tersenyum pada si pegawai ketika mereka diarahkan ke sebuah tempat yang agak jauh dari keramaian. Ketika mereka telah duduk di kursi masing-masing wanita itu kemudian memberikan sebuah kalimat terakhir sebelum pergi. “Pelayan khusus akan segera menjamu Anda. Mohon tunggu.” Daxon memberi anggukan dan dia langsung mengambil menu yang disodorkan kepadanya dan membagi salah satunya kepada Lizzie saat wanita itu pergi.
“Pesan apa pun yang kau suka,” ujar Daxon saat Lizzie membuka menu yang Daxon beri padanya.
Gadis itu terkejut bukan kepalang. Tidak mengherankan dengan interior restoran dan suasananya yang nyaman. Harga yang tertera di menu sangat fantastis untuk sekadar satu piring saji. Lizzie tidak mengira bahwa satu piring daging bisa setara gajinya satu bulan di kedai kopi.
“Selamat malam, Tuan dan Nyonya,” ujar seorang pelayan wanita sambil berjalan mendekat. “Nama saya Marie dan saya akan menjadi—”
Tubuh Lizzie kontan menegang, matanya langsung melebar lebih daripada saat dia melihat ke dalam buku menu. Suara dan nama yang dia dengar barusan … kenapa dia ada disini?
“Lizzie?”