“Armant.”
Lizzie merasa udara disekitarnya seolah hilang begitu saja. “Kalian berdua saling kenal?” tanya Lizzie setelah beberapa menit ternganga lantaran tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan dan dengar di depan mata. Dengan enggan Daxon melangkah mendekat pada Armant, jemarinya mengetuk gelas kosong yang dia genggam dengan cara yang kikuk.
“Semacam itu, kurasa,” sahut Armant tegas. “Sudah lama sekali Daxon, aku tidak tahu kalau kau sudah kembali.”
“Ya, aku baru tiba,” timpal Daxon dengan getir.
“Aku sebetulnya benci ikut campur dalam reuni kalian tapi aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi disini,” ungkap Lizzie sambil merangkul tangan Armant dengan cara bersahabat seperti biasa.
“Lizzie, kau tidak bisa ikut campur dalam urusan orang begitu saja. Apa yang kau lakukan barusan sangat memalukan,” cibir Mina.
“Aku? Aku tidak pernah bermaksud untuk ikut campur. Aku hanya sedang penasaran akan sesuatu,” kata Lizzie kemudian menjawab cibiran sepupunya saat mereka sedikit memisahkan diri dari reuni dari dua pria tampan disana.
Lizzie lupa bahwa sang ibu masih ada dan dia menyaksikan kebodohan yang Lizzie buat. Membuat gadis itu terkena jeweran. “Mina benar sayangku, kau tidak berhak ikut campur,” ujar ibunya.
Lizzie sendiri tidak mengerti mengapa dia mengambil langkah seperti itu di depan semua orang hanya karena rasa penasaran. Harusnya dia bersembunyi dan tidak memperlihatkan segalanya secara gamblang. Padahal tidak ada yang tahu tentang hubungannya dengan Daxon, tapi tetap saja dia merasa gelisah.
Lizzie diam-diam mengamati kedua pria itu bicara satu sama lain disana. Armant, pemuda yang sudah dia anggap sebagai saudara laki-lakinya, dan Daxon, patner bercinta terbarunya. Melihat mereka berdua saling mengenal seperti ini adalah sebuah kombinasi yang tidak pernah Lizzie sangka.
“Lizzie kau baik-baik saja?” Mina bertanya sambil menyenggol bahunya. Lizzie hanya sanggup tersenyum lembut.
“Aku baik-baik saja, hanya bingung.”
“Apa yang harus dibingungkan? Kau mengenal dia? Orang bernama Daxon itu?”
“Apa?! tidak! ah… maksudku, dia pernah menjadi pembicara dikelasku saat materi kriminologi dan ini kali kedua kami bertemu di muka umum.”
Mina menyipitkan matanya, mengamati wajah Lizzie dengan sangat cermat sebelum menganggukan kepala. Namun setelah itu dia tidak bertanya tentang apapun lagi. Hanya diam disebelahnya, sambil melihat-lihat lukisan yang mereka sambangi ketika berjalan. Ibunya kembali bergabung dengan mereka, begitu pula dengan Armant. Melihat keberadaan mereka berdua, Lizzie sangat ingin bertanya tapi tampaknya ini bukan waktu yang tepat.
Apalagi saat dia mendapati sosok ayahnya ada di galeri, berjalan melewati dirinya begitu saja. Dia merasa perutnya mual, dan wajahnya memucat. Armant menyadari adanya perubahan sikap dari Lizzie, pun juga ibunya yang langsung merangkul Lizzie dalam pelukan saat putri dan suaminya melakukan kontak mata sesaat.
Sejujurnya Lizzie ingin lari dari situasi ini sekarang dan bersembunyi. Tapi dia tidak bisa menjadi seorang pengecut dihadapan ayahnya. Tidak disini, karena dia harus mempertahankan harga diri dan juga karyanya. Walaupun dia mungkin akan mendapatkan cacian dimuka umum, Lizzie harus tabah dan kuat.
“Kau sudah melihat semuanya, Elliza?” tanya sang ayah pada ibunya. “Hai, Mina, Armant.”
“Selamat malam Dr. Dion,” sahut keduanya serempak.
Ayahnya melihat mereka, dan mengakui keberadaan mereka. Tapi mata pria itu sama sekali tidak tertuju pada Lizzie, seolah dia hanyalah udara hampa yang tidak terlihat. Dia dilirik seperti seonggok sampah yang tidak berharga yang bahkan tidak mendapatkan sapaan kecil dari ayahnya sendiri.
Mengapa dia memperlakukan putrinya seperti ini? apalagi didepan umum dimana semua orang bisa melihat mereka.
“Aku belum mau pergi, aku ingin menghabiskan waktuku bersama anak-anak disini.”
“Baiklah kalau begitu, aku akan menunggu di mobil saja.”
Hanya itu saja, Lizzie sama sekali tidak diajak dalam pembicaraan itu. Membuat kemarahan pada dirinya memuncak. Jantungnya berdebar kencang saat pria itu mengambil jarak dan hendak pergi dari sana. Ini adalah malamnya. Malam dimana dia diakui oleh semua orang atas karya yang berhasil dia ciptakan. Seharusnya dia tidak harus marah dan meledak seperti ini.
Tapi Lizzie tidak terkendali. Dia melepaskan pegangan ibunya dan berlari mengejar ayahnya. Melewati semua orang, melewati dosennya, melewati Daxon. Dia yakin bahwa dirinya akan menjadi sebuah tokoh dalam drama yang akan dia wujudkan malam ini.
“Ayah!” teriak Lizzie, suaranya terdengar kering. “Ayah! Tunggu dulu!”
Mungkinkah ayahnya tidak bisa mendengarnya? Mungkinkah dia baru saja mempermalukannya? Lizzie tidak tahu. Dia hanya ingin ayahnya melihat dia. Setidaknya dia membutuhkan pengakuan dari pria itu, hanya untuk mala mini. “Berhenti ayah!”
“Apa yang kau mau, Lizzie?” sahut ayahnya yang akhirnya mau berbalik ke arah Lizzie.
Lizzie menatap pria itu lekat-lekat, matanya berkaca-kaca. Cara pria itu memandangnya benar-benar penuh kebencian dan itu jelas jauh daripada yang Lizzie harapkan. Selalu saja, apa pun yang Lizzie lakukan selalu salah dimatanya, kapan pria itu akan memandangnya penuh cinta? Lizzie tidak tahu mengapa ayahnya selalu terlihat kesal saat mereka bersitatap. Tapi yang jelas Lizzie paham, bahwa ayahnya sudah sangat membenci dirinya dan semua kekesalan pria itu adalah salahnya.
“Aku hanya ….” Suaranya terdengar parau, dia menunduk. “Ayah tidak menyapaku disana.”
“Kau juga tidak melakukannya.”
Mulut Lizzie terasa jauh lebih kering. Dia kehabisan kata-kata. Dia melihat ayahnya berbalik, tidak ada yang bisa dibicarakan lagi. Gadis itu terdiam, mengawasi kepergian ayahnya dengan rasa sakit yang menghantam d**a. Dia mencoba menahan air mata, dia harus melakukan itu. Di dalam ada orang-orang yang akan mengajaknya bicara, jadi dia tidak boleh memperlihatkan kepada mereka bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Jika seseorang melihatnya, sudah barang tentu Lizzie akan mendapatkan banyak pertanyaan yang tidak ingin dia jawab. Dia tidak menginginkan simpati dari siapa pun. Jadi, akhirnya dia menenangkan dirinya sebelum berbaur bersama yang lain. Tersenyum sebanyak yang dia bisa, agar tidak terlihat mencurigakan didepan semua orang. Tapi Lizzie tahu dibalik diamnya mereka, tampaknya mereka sudah tahu apa yang terjadi tanpa perlu mendapatkan konfirmasi.
Memang, ada hal-hal yang lebih baik untuk tidak dibicarakan.
Semakin malam, lautan manusia mulai berkurang. Ibunya pamit karena tidak ingin membuat ayahnya terlalu lama menunggu. Daxon juga sudah tidak terlihat disekitar galeri. Hal yang sama juga terjadi kepada Mina dan Armant yang dengan sangat menyesal harus meninggalkan dirinya karena memiliki janji yang mesti dipenuhi.
Kini hanya Lizzie seorang diri menghisap sebatang rokok dengan mata memandang langit malam yang kebetulan sedang berbintang, meski menyedihkan tapi mestinya tidak seburuk itu. Walau isi hatinya masih terasa ngilu karena sang ayah.
“Lizzie! Akhirnya aku menemukanmu,” ujar Mr. Pixys yang mendekat padanya saat Lizzie kebetulan sedang menyendiri di luar galeri.
“Ya, Pak.”
“Boleh aku bicara denganmu?”
“Tentu saja.”
“Sebenarnya ini adalah hal yang jarang terjadi, apalagi untukmu yang merupakan anak baru di industry seni. Tapi ada yang menawar lukisanmu, lebih tepatnya ada beberapa orang yang ingin membelinya malam ini.”
Napas Lizzie tersenggal, matanya melebar. Itu adalah sebuah kabar yang sangat menggembirakan. Lizzie tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. “B-Benarkah?”
“Ya, kami bahkan sempat berbincang dan setengah melakukan lelang. Penawaran tertinggi ada di angka empat ribu dollar.”
Mulut Lizzie ternganga. Saat ini dia sedang mencoba memahami apa yang sedang dikatakan oleh dosen pembimbingnya dengan cermat. “Maksud Anda, seseorang menawar lukisanku seharga empat ribu dollar? Lukisanku?”
Mr. Pixys mengangguk. “Ya, jadi bagaimana menurutmu? Apa kau akan melepaskannya?”
“Y-ya, tentu kenapa tidak.”
“Bagus, kalau begitu ayo ikut aku dan menemui pembelinya.”
“Anu, untuk itu aku lebih nyaman bila identitasku dirahasiakan. Jadi, aku akan menunggu disini saja.”
“Baiklah aku akan memberitahu mereka tentang itu, dan memberikan uangnya padamu.”
Lizzie menganggukan kepala dan tersenyum, jantungnya berdebar-debar dengan kencang. Dia baru saja berhasil menjual lukisannya dalam pameran di hari pertama dan nilainya terbilang fantastis. Dia benar-benar bisa menghasilkan uang dari karyanya, hanya saja …
Gambar yang dia pajang adalah gambar terbaik, gambar yang paling dia sukai dan dia buat dengan sepenuh hati. Tapi kesempatan langka tidak akan terjadi dua kali, makanya Lizzie memutuskan untuk melepasnya. Setidaknya dengan itu dia bisa membuktikan pada ayahnya bahwa dia mampu melakukan sesuatu, dan menghasilkan uang dari karya seni yang dibilang sampah oleh ayahnya.
Sisa rokok yang terapit pada jemarinya dia buang dan injak dengan kakinya. Kemudian merasakan ada getaran dari ponsel yang dia simpan di saku celana. Notifikasi dan pesan, dan nama dari si pengirim membuat gadis itu tersenyum lebih lebar.
Daddy
Apapun yang dikatakan oleh dia, itu tidak sebanding dengan air matamu. Nikmati malammu, dan bersenang-senanglah. Bukankah ibumu bilang kau adalah seniman terhebat dikeluarga?
Lizzie membaca teks itu berulang kali. Dia bahkan bisa mendengar suara Daxon yang mengucapkan kata-kata yang dia ketik dengan nada menyebalkan khasnya. Sesuatu tentang gambaran yang dia buat tentang pria itu membantu Lizzie jadi sedikit lebih b*******h lagi. Itu membuatnya menjadi lebih merasa hidup dan didukung sepenuh hati. Dia kemudian mengetikan satu jawaban pasti.
Terima kasih, Om Tampan.