Lizzie tidak mengira bahwa Mina dan Armant menunggunya. “Kenapa kalian masih ada disini?”
“Oh ayolah, ada apa dengan senyuman itu? kau punya sesuatu yang harus kau bagi dengan kami kan?” sahut Armant tiba-tiba yang tentu saja memancing Lizzie untuk tersenyum lebar.
“Kalian merencanakan sesuatu dibelakangku?”
“Tentu tidak, secara kebetulan aku dan Armant memang punya janji. Tapi setelahnya entah kenapa kami memilih untuk kembali. Kami memikirkanmu Lizzie, rasanya jahat sekali saat kami menghabiskan waktu dengan oranglain saat malam ini adalah malammu,” ungkap Mina.
“Masuk ke mobil, kita bicara di dalam,” timpal Armant lagi yang entah sejak kapan sudah masuk ke dalam mobilnya.
“Aku bawa motor.”
“Tinggalkan saja disana, nanti biar aku yang ambil motormu sebagai kompensasi.”
Lizzie mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih sumringah, mengambil kursi belakang karena Mina sudah duduk di kursi depan dengan Armant.
“Jadi bisa bagi kami ceritamu? Dari wajahmu aku bisa menebak kalau itu kabar bagus,” ujar Armant lagi saat dia mulai melajukan mobilnya menjauh dari galeri. Lizzie menggigit bibirnya, menyelipkan sebuah amplop ke konsol tengah. Mina mengangkat alis, sementara Armant melirik dari balik kemudi.
“Ini uang yang aku hasilkan dari lukisanku,” ungkap Lizzie. “Jumlah didalam amplop itu adalah empat ribu dollar.”
Armant langsung menginjak rem dan berbalik menghadap Lizzie. “Kau menjual lukisanmu seharga empat ribu—”
“God! Armant f*****g—”
Beberapa mobil dibelakang membunyikan klakson lantaran tindakan impulsive yang Armant lakukan. Untungnya tidak terjadi kecelakaan dan tidak ada yang terluka. Meski begitu, Lizzie langsung menyeret Armant untuk keluar dari mobil dan menyeret pemuda itu untuk duduk menggantikannya di kursi belakang saat dia mengambil alih kemudi. Lizzie menyalakan sebatang rokok sebagai penenang, dan kemudian perjalanan kembali dilanjutkan.
“Kau menjual lukisanmu di kali pertama pameran?” Mina bertanya dan bertepuk tangan penuh kekaguman.
“Aku tahu suatu saat kau bisa melakukannya,” sahut Armant dari jok belakang.
Lizzie hanya memasang cengiran terbaiknya. “Ya, kurasa begitu.”
Dia membuang sisa rokoknya, membiarkannya jatuh ke luar jendela dan saat itu terjadi ponselnya berdengung lagi. Tampaknya Lizzie memiliki pesan balasan dari si Om Tampan. Ngomong-ngomong tentang dia, Lizzie jadi tergelitik akan satu hal.
“Hei, Armant.”
“Hm?”
“Bagaimana kau bisa kenal dengan pria di galeri?” Lizzie bertanya, sementara tangannya dengan piawai mengemudi dengan baik. “Maksudmu Daxon? Ya, orang itu bisa dibilang semacam … pamanku.”
“APA?!” Kini giliran Lizzie yang melakukan rem secara mendadak membuat para penumpang langsung terhempas ke depan dan orang yang paling keras mengumpat jelas adalah Armant.
“Hei! Mina kau saja yang mengemudi. Dia membuatku sakit jantung!” seru Armant, dan sekali lagi kini posisi di mobil telah berganti dengan Mina yang mengambil alih kemudi.
“Bagaimana mungkin? Kau tidak pernah menceritakan soal itu pada kami."
Mina hanya menghela napas lelah di sampingnya. “Kau tidak berhak ikut campur Lizzie. Itu mungkin membuat Armant tidak nyaman.”
“Sebenarnya tidak begitu, Mina,” sanggah Armant yang membuat Lizzie berbalik menatapnya lekat-lekat. Posisi duduk yang lucu sebenarnya karena Lizzie berbalik menghadap Armant mengabaikan sabuk pengaman yang mencengkram tubuhnya.
“Ceritakan lebih detail kalau begitu.”
“Kau tahu, ini sedikit rumit. Kakak laki-laki ibuku membawa Daxon saat dia masih kecil sebagai bentuk dari pertanggung jawaban hak asuh. Hanya saja pamanku itu rupanya memiliki motif tersendiri dan dia tidak benar-benar mengasuh Daxon dengan baik, seperti dugaan semua orang dia hanya tertarik pada uang yang dia dapatkan dari mengatasnamakan uang perawatan Daxon dari keluarga aslinya. Meski setengah ditelantarkan oleh pamanku, tapi aku ingat bahwa orang itu baik padaku saat aku masih kecil dulu. Dia juga jadi lebih seperti sosok paman bagiku, daripada paman kandungku. Ya, kurang lebih seperti itulah hubungan kami.”
Lizzie mengubah posisinya, dia kembali duduk dengan cara wajar dan kini menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil. “Lalu apa yang terjadi setelah itu?”
Armant angkat bahu. “Aku tidak begitu ingat detailnya karena aku masih kecil sekali saat itu. Tapi yang pasti setelah dia cukup dewasa dia memutuskan pergi dari rumah tempat dia dibesarkan dan kuliah diluar negeri. Dia menjadi super sibuk dan kami bertemu sesekali, hanya saja situasinya yah… jadi sedikit canggung seperti yang kau lihat saat kami berbincang di galeri.”
“Bagaimana bisa kami tidak tahu tentang dia padahal kita sedekat ini?” Lizzie menyahuti dari kursi depan.
“Ya, aku juga penasaran sebetulnya,” sahut Mina lagi yang sedikit melirik kearah Armant dari kaca.
“Ini tidak seperti kita harus berbagi informasi tentang pohon keluarga.”
“Karena tanpa kami beritahu pun kau sudah tahu lebih dulu, jadi percuma. Lagipula aku dan Mina bersaudara, kami sepupu ingat?”
“Ah aku selalu lupa kalau kau adalah sepupu si gadis pintar calon dokter di circle pertemanan kita,” ujar Armant menggodanya yang membuat Lizzie mendengus sebal tak terima.
“Hei! Aku juga gadis pintar dan aku calon seniman!”
Tawa memenuhi mobil, dan saat itulah Lizzie menyadari apa yang dikatakan oleh Daxon adalah benar. Malam ini adalah malam miliknya, dan dia pantas untuk bersikap semuanya, ceroboh, bersenang-senang, melakukan apapun yang dia inginkan dan melepaskan rasa takut dan khawatir atas pendapat ayahnya yang kolot.
Dia merogoh ponselnya dan mengecek notifikasi yang muncul dari sana. Sudah dia duga bahwa Daxon memang membalas pesannya.
Daddy
Hanya terima kasih? Tidak ada kecupan mesra untukku karena sudah memberikanmu dukungan? Kunjunganmu ke ranjangku akan lebih aku hargai malam ini, Nona seniman.
“Hei, kita harus mencari makan,” rengek Mina. “Mengemudi membuat perutku merasa lapar.”
“Kalau begitu malam ini aku yang akan traktir!” Lizzie menimpali dengan penuh semangat. Menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. “Aku punya uang malam ini!” Lizzie membuka amplop coklat di tangan dan mengibaskan lembaran uang itu di mukanya sendiri.
Armant bersorak dari kursi belakang sebagai jawaban. “Itu bagus, makan malam enak kami datang!”
Ya, makan malam bersama mereka berdua perlu dilakukan. Karena hanya mereka saja yang selalu ada saat Lizzie berada dititik terendah dan tertinggi dalam hidupnya.
***
Lizzie merasa dia berhak mendapatkan tidur lebih lama di hari senin pagi. Dia merasa sangat superior karena telah menjual lukisannya saat akhir pekan kemarin dan menerima jumlah uang besar yang bisa memenuhi kebutuhannya untuk satu bulan ke depan. Tapi tampaknya rencana tersebut tidak berhasil, mengingat Mina libur di hari itu dan kedisiplinan gadis itu membuat Lizzie mau tidak mau harus meninggalkan kasurnya.
Karena itulah seperti biasa, dia pergi ke kampus. Melewatkan sarapan di rumah karena menurut Mina sudah tidak ada waktu untuk makan. Tapi jika sudah diluar urusan terlambat atau tidak sepenuhnya ada ditangan Lizzie. Dia memutuskan singgah di kedai kopi tempatnya bekerja, untuk mengisi perut alih-alih berlari ke kelas untuk memulai pelajaran.
Dia memarkirkan motornya di dekat gedung fakultas kesehatan. Sengaja melakukannya agar dia punya waktu untuk menikmati pagi ini dengan berjalan kaki dan merasakan udara sejuk yang menerpa wajahnya saat dia melintasi kampus. Ketika bangunan kedai kopi terlihat, gadis itu gegas mendekat dan mendekati konter.
“Hai Lizzie!”
Sapaan yang ramah dan senyuman yang menawan dia dapatkan dari si pria mungil yang bekerja dibelakang kasir. Christo namanya, dan dari yang dia ingat Annie pernah memperkenalkannya sebagai pekerja paruh waktu yang berasal dari kelas perawat sama seperti Mina.
“Selamat pagi,” balas Lizzie sambil menguap. Jujur saja dia masih agak mengantuk, tapi bagaimana mungkin pemuda itu bisa begitu berenergi? Apa para mahasiswa di fakultas kesehatan merupakan tipikal morning person? Sebab Mina juga bertingkah sama persis dengan pemuda ini. “Aku minta sandwich telur dan sosis.”
“Okay, mau ditambah dengan kopinya?” sahut Christo dengan ramah.
“Ya, Americanno tapi aku butuh ekstra gula secara terpisah.”
“Tentu,” timpalnya lagi sambil mengetuk layar di depannya, dan mengambil beberapa lembar uang yang Lizzie serahkan sebelum mengerjakan pesanannya. Lizzie memasukan kembali uang kembalian ke dalam dompetnya dan sebuah pemikiran kecil hinggap begitu saja. Ini adalah makanan pertama yang dia beli dengan uang yang dia hasilkan atas jerih payahnya sendiri.
Dia memang sering membeli kebutuhan hidup dan untuk urusan kampus, tapi uang itu berasal dari saku Daxon dan dia dapatkan dari caranya yang kurang baik. Anggap saja dia menjual tubuhnya untuk bertahan hidup. Tapi pagi ini dia membeli sandwich dan kopi dari hasil uang penjualan lukisannya. Rasanya membanggakan.
“Ini pesananmu, selamat menikmati,” ujar Christo yang telah membuyarkan lamunannya. Lizzie menganggukan kepala dan mengambil alih nampan berisi makanan yang dia pesan. “Semoga harimu menyenangkan,” sambung pemuda itu lagi yang dihias dengan senyuman cerah dan nada yang manis.
“Terima kasih banyak, Christo.”
Ngomong-ngomong apa kabar Daxon ya?