Apakah Ini Kebetulan?

1462 Kata
Tiba ditempat, Lizzie berlari ke galeri dengan terengah-engah. Mina menepuk punggungnya begitu sang sepupu menemukan keberadaannya disana. “Kau terlambat sepuluh menit,” ungkap sepupunya sambil tersenyum simpul. “Ya, meski begitu aku mengerahkan semuanya untuk itu,” jawab Lizzie yang membuat Mina melirik ke arahnya dan tiba-tiba saja menarik kemeja yang dia kenakan sehingga berada pada posisi yang lebih rapi. Sesaat Lizzie sempat terkejut, tapi kemudian pandangan matanya melembut pada sang sepupu. “Terima kasih.” “Sama-sama, sekarang kau sudah terlihat seperti seorang seniman. Jadi silahkan masuk ke dalam sepupu,” sahut Mina sambil tertawa. Lizzie menganggukan kepala, menarik napas, dan mulai memasuki galeri yang terang dengan penuh kepercayaan diri. Galeri tersebut di cat putih terang dengan lantai marmer berwarna abu-abu. Pencahayaan tempat itu sangat sempurna sehingga setiap karya yang dipajang terlihat memancarkan auranya masing-masing. Lizzie tersenyum puas, perasaan gembira yang murni menyelimuti dirinya. Dia melihat Mr. Pixys ada diujung lorong, kebetulan pria itu sudah selesai berdiskusi dengan mahasiswa lainnya karena itu begitu Lizzie mendekat, orang itu pamit. “Hai Lizzie, kau sudah lihat lukisanmu?” tanya Mr. Pixys sambil menepuk bahu mahasiswinya. Lizzie menggelengkan kepala. “Belum, aku baru sampai. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum tiba kemari,” ungkap Lizzie jujur. Sekali lagi pria itu menepuk bahunya. “Sepertinya aku tadi melihat ibumu dan seorang pemuda di suatu tempat.” “Ah ya, mereka bilang memang sudah tiba disini,” sahut Lizzie lagi. “Aku bahkan belum menemukan mereka.” “Kalau begitu silahkan cari mereka, kalau kau butuh sesuatu kau bisa datang padaku.” “Terima kasih, Oh! Aku belum bilang nama lukisanku kan? apa—” “Aku sudah mengurus yang satu itu,” potong Mr. Pixys lagi sambil tertawa. “Jangan khawatirkan apa-apa, ini waktunya bagimu untuk bersinar. Nikmatilah malam ini dan bersenang-senanglah, Lizzie.” Lizzie menganggukan kepala dan mengusap lehernya sendiri, merasa tersanjung dan salah tingkah saat pria yang biasanya selalu mengutuk lukisannya bisa memperlakukannya dengan lebih baik dan hangat macam ini. Setelah obrolan kecil tersebut berakhir, Lizzie pamit. Dia bergegas berkeliling untuk mencari wajah yang dia kenali sambil menikmati karya-karya mahasiswa terpilih yang dipajang di galeri ini. Lizzie mengintip pada sebuah ruangan tertutup, dan disanalah dia menemukan ibunya. Armant tidak terlihat kemungkinan besar dia bersama Mina disuatu tempat terpisah. Ibunya berdiri disana, sedang melihat lukisan dengan tema monokrom yang memang sangat mengesankan disana. Lizzie memang hanya melihat punggungnya, tapi jelas dia mengenal punggung wanita yang melahirkannya itu. Dia hendak mengejutkannya, tapi sepertinya Lizzie mungkin akan lebih baik tampil dengan cara yang biasa-biasa saja, melihat dari cara ibunya mengangguk dan memiringkan kepala tampaknya dia sedang berbincang dengan pria yang berdiri disebelahnya. Lizzie mendekati mereka dengan hati-hati, karena semakin mendekati mereka gadis itu memiliki keyakinan bahwa yang sedang berdiri disamping ibunya adalah Daxon. Tapi itu pasti sebuah kesalahan bukan? Tapi begitu jarak terkikis, Lizzie hanya bisa membeku. Tebakannya benar. Daxon memang ada disana, dia berbincang akrab dengan ibunya. Sebelum ini, Lizzie tidak pernah membahas soal galeri seni atau apapun padanya, apalagi mengundangnya. Seketika mulut Lizzie terasa kering hanya karena berusaha keras untuk memahami situasi di depan matanya. Gadis itu menggigit bibir dan menjaga agar dirinya tetap tenang. “Lizzie!” Tapi sapaan dari ibunya membuat Lizzie tidak bisa berbuat banyak selain tersenyum kikuk. “Hai, Bu,” jawabnya lantang. Ibunya langsung tersenyum cerah, memeluk erat dirinya. Dan ketika hal itu terjadi, Daxon melirik kearah mereka berdua. Ibunya terlalu menarik perhatian, dan Daxon yang menatapnya sekarang membuat gadis itu agak ngeri. “Lizzie, kau tahu tidak. Selama aku menunggu aku ditemani oleh dia tentang lukisan yang dipamerkan disini. Kita berdua menyukai lukisan ini,” ungkap ibunya ceria sambil menunjuk kearah lukisan yang ada dihadapan mereka bertiga. “Ya, lukisan ini memang sangat bagus,” komentar Lizzie. “Jadi ini anakmu, Elliza?” tanya Daxon dengan santai. “Seniman terbaik dikeluargamu?” Pipi Lizzie memerah ketika mendengar hal itu terucap dari mulut Daxon. Ibunya hanya tertawa kecil. Sepertinya ibunya tidak melihat ada yang salah antara Lizzie dan Daxon, atau mungkin belum? Sebetulnya ini adalah kali kedua bagi Lizzie untuk menghadapi Daxon di ruang publik dan sialnya sekarang yang terlintas dibenak gadis itu adalah betapa panas dan liarnya mereka berdua saat berada diatas ranjang yang sama. “Aku bukan seorang seniman yang hebat, seperti katamu.” “Yah, tapi kalau lukisanmu terpajang di tempat ini. Itu berarti kualitasmu diatas rata-rata,” sahut Daxon lagi dengan santai. Pria itu seperti bisa menebak ketidaknyamanan yang ada di air mukanya. Cara dia bicara benar-benar seolah mereka baru bertemu. Lizzie melingkarkan tangannya di tangan sang ibu. “Aku hanya seorang mahasiswi yang beruntung. Ngomong-ngomong, apa kau kemari untuk seseorang? Maksudku apa kau ayah dari seseorang?” tanya Lizzie yang memang berdasarkan atas rasa keingintahuannya yang besar. Mereka tidak pernah membicarakan soal Daxon, yang ada hanya selalu Lizzie yang bercerita. Karena itu, dia jadi sedikit penasaran akan kehidupan pribadi pria itu. Namun tampaknya ibunya tidak setuju, dia menyikut Lizzie. “Lizzie, kau tidak sopan sekali.” “Tidak apa-apa, aku tidak keberatan menjawab pertanyaan putrimu,” sahut Daxon terkekeh. “Tapi tidak, aku bukan orangtua atau wali siapapun. Aku kemari karena mengenal beberapa dosen dikampusmu. Mr. Pixys adalah salah satunya, aku berasumsi kau pasti mengenal dia.” “Oh ya, masuk akal. Jadi kau mengenal dosenku secara pribadi?” “Ya, itulah yang sedang aku coba katakan padamu,” sahut Daxon lagi, caranya menjawab sedikit terdengar menggoda tapi Lizzie tidak menanggapi dengan cara yang sama. “Aku menikmati pertunjukan kecil ini, setiap kampus seni mengadakannya. Biasanya lukisan yang pajang terbilang buruk, tapi tahun ini tampaknya banyak mahasiswa yang berbakat yang mulai dikenal.” “Ya, dibanding tahun lalu yang sekarang memang jauh lebih baik. Apalagi karena putriku mengisi salah satu dari daftar lukisan yang dipajang di galeri ini. Aku berharap kedepannya akan ditemukan lebih banyak seniman berbakat.” “Jika, Lizzie, um … maaf bila aku salah menyebut nama putrimu. Mendapatkan kesempatan untuk memamerkan lukisannya disini, dia akan mendapatkan kesempatan untuk lebih bersinar lagi. Pixys biasanya tidak pernah menawarkan posisi kepada seniman baru. Jadi bila dia melakukannya kurasa karena Pixys menemukan adanya potensi besar dari diri putrimu.” Perut Lizzie terasa mual untuk beberapa alasan. Sangat menyenangkan mendengar pujian, meskipun dia mendengarnya dari Daxon. Hanya saja dia ingin mendengar itu dari orang lain. Ayahnya. Pria itu sering mengatkan padanya bahwa dia tidak punya bakat, dan hanya akan menyia-nyiakan masa depan jika terus mencoba bertahan di dunia seni. Dan pujian itu membuat Lizzie merasa membutuhkan validasi lain. “Oh ya Bu, apakah Ayah ....” Pertanyaan itu terdengar menggantung, Elliza meringis mendengar hal itu terucap dari putrinya. Sementara Daxon langsung tahu diri dan menangkap hal tersebut sebagai isyarat baginya untuk tidak ikut campur lagi. Pria itu berbalik memberi ruang bagi Lizzie untuk bicara dengan ibunya secara pribadi. Lizzie berharap, bahwa pria itu ada disini menemaninya, tapi untuk apa dia mengharapkan hal itu? Tapi pria itu jauh lebih menghargai privasi lebih dari yang Lizzie duga. “Dia menunggu di dalam mobil,” jawab ibunya sedikit mendesah. “Aku sudah memaksanya untuk melihat-lihat, tapi kau tahu, dia agak keras kepala dan ya … akhirnya jadilah seperti ini.” “Oh iya, aku tahu akan begini.” Setidaknya ibunya tidak benar-benar pergi sendiri. Mungkin itu agak melegakannya meski untuk beberapa saat. “Lizzie!” terdengar suara Mina dan Armant mendekat, mereka melambaikan tangan. Daxon sekilas melirik Armant dan Mina dengan cepat, sebelum kemudian kembali berbalik acuh tak acuh. Tapi Lizzie, sejatinya agak takut Armant mengenal Daxon dari gambar yang dia buat di buku sketsanya. Dia takut pemuda itu akan mengatakan sesuatu padanya. “Lizzie, kami sudah melihat lukisanmu, dan itu sangat luar biasa!” seru Mina heboh. “Terima kasih, sepupu.” “Tapi aku tidak mengerti, mengapa kau tidak menggunakan nama aslimu. Apa kau tidak mau oranglain mengenalmu?” ujar Mina lagi yang membuat Lizzie tertawa. “Ya, itu agak rumit,” gumam Lizzie. Meski begitu dia mengakui bahwa dia menggunakan nama samara sebagai ‘eL’ tanpa tujuan yang jelas bahkan jika ada orang yang melihatnya. Lizzie tidak menyangka bahwa sepupunya akan sangat teliti terhadap hal sekecil itu. Bagi Lizzie jika ayahnya tidak bisa mengenal namanya, tidak mungkin pria itu bisa mengkritik karya Lizzie di muka umum. Melihat cara ayahnya menolak dan melirik karyanya saat dia membawa lukisannya ke rumah, saat itulah dia merasa bahwa dia harus melindungi karyanya. “Oh … kenapa kau lakukan itu, sayang?” “Aku tahu itu terdengar bodoh, Bu. Tapi—” “Daxon?” Lizzie mendapati mata Armant yang melebar ketika memandang ke satu arah. Lizzie yang mengetahui kemana pandangan itu terarah dan nama yang disebut oleh pria itu membuat gadis itu langsung berdiri kaku. Sehingga Mina yang semula tidak tertarik, jadi melirik kearah yang sama. Perutnya terasa melilit ketika Daxon berbalik sebagai tanggapan. Apa yang terjadi sebenarnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN