Storm menghela napas sembari memperhatikan ke arah lain saja. Kenapa sekarang, jadi terlihat seperti ia yang salah begini?? Apa, ia memang sudah sangat keliru, terhadap wanita, yang ucapannya, kalau dipikir-pikir ada benarnya juga??
"Sudah cepat habiskan lalu tidur! Ini sudah malam!" ketus Storm lagi.
"Iya," ucap Alice singkat sembari melahap makanannya lagi.
Beberapa hari setelahnya.
Storm yang baru pulang dari bekerja, nampak melihat ke sana kemari. Ia cari-cari wanita yang tidak tersapu oleh kedua indra penglihatannya di manapun. Langkah pada tangga pun dibuat dan baru berada di dekat dapur. Aroma yang wanginya enak itu, nampak menarik-narik indra penciumannya.
Storm datangi dapur dan melihat Alice, yang sedang menyusun cupcake di atas piring.
"Sedang apa??" tanya Storm, sembari melirik ke arah cupcake, yang aromanya tadi sudah menusuk-nusuk indra penciumannya.
"Tidak lihat??" ucap Alice yang tidak kalah ketusnya. Tapi Storm tidak peduli. Tangannya malah menjulur dan hendak mengambil salah satu buah cupcake itu. Namun, belum juga tersentuh, tangannya sudah lebih dulu ditepuk dengan kasar oleh Alice.
"Jangan diambil!" ketusnya lagi.
"Ck! Memangnya aku mau memakan kue murahan seperti ini!?? Tidak akan tertelan!!" seru Storm.
"Ya baguslah," ucap Alice yang segera membawa pergi, piring berisi cupcake tadi ke lantai atas.
Storm bergeming beberapa saat lebih dulu. Baru setelah itu, ia mengikuti kemana perginya wanita tadi dan setelah dicari-cari. Ternyata, wanita tersebut pergi ke kamar kakaknya dan memberikan cupcake buatnya tadi kepada sang kakak.
"Ini, Kak. Dicoba ya?" ucap Alice dengan senyuman yang sangat ramah dan memberikan satu buah cupcake dengan tangannya sendiri. Padahal, untuk sekedar memegang Seth pun masih sanggup dan bisa. Apa lagi, kondisinya sudah sangat membaik, setelah lebih dari satu pekan lamanya menjalani perawatan.
"Kamu yang buat sendiri??" tanya Seth.
"Iya. Makanya ayo coba!" ucap Alice dengan sangat antusias sekali.
Seth menyentuh tangan Alice dan maju untuk membuat gigitan, pada cupcake buatan Alice ini. Seth sedang mengunyah dan orang yang baru pulang bekerja tadi, langsung segera menelan salivanya sendiri. Ia baru pulang begini, bukannya yang diberi. Tetapi malah diabaikan. Mana cake itu tercium sangat wangi sekali. Jadi membuatnya bertambah lapar saja.
"Wah enak sekali. Kamu pintar membuat cake ternyata," puji Seth.
"Beneran enak, Kak???" ucap Alice dengan kelopak mata yang ia buka lebar-lebar. "Aku baru pertama kali buat lho padahal. Terus, resepnya juga lihat dari internet," ucap Alice dengan sangat antusias sekali, ketika hasil karyanya mendapatkan pujian.
"Iya. Memangnya, belum kamu coba sendiri?" tanya Seth.
Alice menggelengkan kepala. "Belum, Kak."
"Ya sudah ini. Kamu juga harus coba," ucap Seth, yang kini mengulurkan cupcake lain ke mulut Alice dan mereka terlihat saling menyuapi. Membuat orang yang hanya jadi penonton ini, malah terlihat jengkel sendiri.
Kenapa ia sudah seperti nyamuk saja di sini?? Dan lagi, kenapa dua orang ini, malah kelihatan seperti pasangan saja. Padahal, yang sudah menikahinya adalah ia kan??
"Kamu mau Storm?" tanya Seth yang baru menanggapi kehadiran adiknya, setelah tadi sempat disibukkan, dengan dunianya bersama Alice.
"Dia tidak mau. Katanya cuma kue murahan," ucap Alice yang malah menimpali lebih dulu, sebelum Storm sempat berbicara.
"Kamu buat cake ini dari bahan-bahan yang ada di dapur kan Alice?" tanya Seth.
"Iya. Aku pakai yang ada di sana."
"Kamu tahu, bahan-bahan itu cukup berkualitas. Kalau sudah dibuat dengan bahan yang kualitasnya bagus. Kenapa masih disebut murahan??" ucap Seth yang memang selalu menjadi garda terdepan, untuk melindungi Alice dari penindasan sang adik.
"Karena aku yang buat kan?" ucap Alice sembari menghela napas dengan raut wajah yang menampakkan kesedihan.
"Sini, biar aku saja yang habiskan semuanya," ucap Seth sembari menarik piring yang sedang Alice pegang, lalu kembali melahap cupcake-nya lagi dengan wajah yang seperti begitu menikmati.
Storm menatap kesal, kepada sang kakak yang bak seorang pahlawan kesiangan. Kemudian mencetuskan kata-kata dengan ketus.
"Hati-hati sakit perut, Kak! Jangan sampai kita harus memanggil dokter, karena kakak keracunan makanan buatannya!" ketus Storm.
"Eum, ini enak sekali. Apa lagi, bila ditambah dengan teh juga. Pasti rasanya cocok sekali."
"Oh, kalau begitu aku buatkan dulu ya, Kak?" ucap Alice yang ingin segera pergi, tapi dihalangi oleh Seth.
"Tidak usah. Biar Storm yang bawakan," ucap Seth sembari melirik kepada lelaki yang bola matanya sudah seperti akan keluar itu.
"Kenapa harus Storm??" tanya pria yang sedang menyunggingkan bibirnya.
"Karena Alice sudah lelah membuat cake ini. Jadi siapa lagi yang belum ambil andil di sini??" ucap Seth yang memojokkan adiknya tersebut.
"Tapi Storm baru pulang, Kak. Duduk dan minum saja belum. Masa sudah disuruh untuk membawakan teh? Pelayan ada kan? Kalau tidak, dia bisa pergi ke bawah dan meminta pelayan untuk membawakannya," elak Storm dengan susah payah dan hasilnya, tidak menolong sama sekali.
Seth hanya diam saja. Tapi sembari melemparkan tatapan mata yang sinis dan hal tersebut, sudah sangat cukup menjelaskan, bila Storm tidak bisa mengelak, dari apa yang sang kakak perintahkan kepadanya. Tarikan napas yang panjang dilakukan oleh Storm, sekaligus dengan hembusan napas yang kasarnya juga.
"Iya iya. Baiklah!" cetus Storm yang sudah tidak bisa mengelak lagi. Ia berbalik badan dan keluar dari dalam kamar, lalu pergi ke bawah dan membawakan apa yang kakaknya itu minta.
"Ini, Kak," ucap Storm, setelah ia kembali sambil membawakan pesanan kakaknya.
"Taruh saja di situ," perintah Seth sembari melirik nakas. Karena sekarang, ia sedang sibuk menikmati cake buatan Alice seorang diri.
Storm melirik sinis sesaat kepada kakaknya tersebut, lalu kemudian mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling kamar.
"Dia dimana, Kak??" tanya Storm dengan pandangan mata yang masih terarah ke segala penjuru ruangan.
"Alice??" tanya Seth sembari menelan sisa kunyahan cake di dalam mulutnya.
"Iya. Wanita menyebalkan itu."
"Pergi ke kamarnya. Dia bilang, dia mau mandi dulu."
"Oh begitu ya. Baiklah. Storm pergi dulu ya, Kak. Baru pulang, ingin istirahat dan juga mandi," ucap Storm yang tidak sejalan dengan ucapannya kepada sang kakak tadi. Storm keluar dari dalam kamar sang kakak, tapi tidak benar-benar pergi ke kamarnya sendiri. Ada sedikit pemikiran licik, yang sedang berkutat di dalam kepalanya saat ini. Wanita yang menyebalkan itu, mumpung dia tidak bisa berlindung kepada sang kakak, ia akan sedikit memberikan pelajaran untuknya.
Storm datangi kamar Alice dan pas sekali. Pintu kamarnya tidak dikunci. Kecerobohan, yang dimanfaatkan oleh Storm, kini sudah masuk tanpa permisi. Ia lihat sekeliling kamar yang sepi dan kemudian melihat Alice, yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi, dengan menggunakan selembar handuk yang melilit di tengah-tengah tubuhnya.
"Kamu sedang apa di sini??" tanya Alice, ketika menyadari ada seseorang di dalam kamarnya.
Sebuah sunggingan bibir dari lelaki itu mencuat, sembari dengan ia yang berjalan mendekat dan berhenti serta berdiri di hadapan Alice.
"Kenapa?? Ini rumahku kan??" ucapnya dengan nada menantang, sembari dengan ia yang sedang menatap tubuh Alice dari atas hingga ke bawah dan selanjutnya, tiba-tiba saja Storm menyentuh kedua bahu Alice dan mendorong tubuh Alice, hingga tubuhnya itu tertahan pada dinding.
"K-kamu mau apa??" tanya Alice dengan gelagapan. Apa lagi saat ia melihat, Storm yang sedang menatap sambil melontarkan senyuman licik kepadanya.
"Apa ya??" ucap Storm seraya menggigit bibir bawahnya dan menatap tubuh Alice.
Alice yang paham kemana arah perginya tatapan nakal itupun, segera menyilangkan kedua tangan di depan dadanya sendiri.
Storm terkekeh sejenak dan kembali berucap lagi dengan nada yang horor.
"Apapun itu, yang aku mau dan kamu harus menurutinya bukan??"
Alice membuat kerutan yang sangat banyak pada dahinya sendiri. "Kenapa?? Aku bukan pelayan!" seru Alice.
"Memang bukan. Tapi, kamu tidak lupa kan, dengan apa yang melingkar di jari manis mu itu," ucap Storm seraya menatap benda yang berada di jemari tangan Alice.
Alice menelan salivanya sendiri. Sepertinya ia paham sekarang, arah ucapan orang, yang mendekatkan wajahnya ini. Tetapi yang membuatnya tidak paham. Bukankah ia tidak ingin menyentuhnya. Tetapi kenapa sekarang malah jadi begini???
Wajah Storm semakin dekat dengan leher Alice yang lumayan jenjang. Aroma sabun sudah dapat terendus oleh indra penciuman Storm. Hingga Alice membeliakkan mata, saat merasakan sentuhan bibir milik Storm tepat di lehernya sekarang.