Alice mengikuti kemana arah tatapan Storm saat ini dan seketika ia menarik selimut, untuk menutupi hingga mencapai lehernya dan dalam sekejap, Storm pun segera mengerjap dan menggelengkan kepalanya.
"Eum, apa kakakku sudah diberi makan malam dan juga obat??" tanya Storm sembari menelan salivanya.
"Sudah tadi. Setelah selesai, aku baru masuk ke kamar," ucap Alice sembari menaikkan lagi selimut di depan tubuhnya itu.
"Ya sudah. Jangan lupa untuk mengecek keadaannya lagi."
"Masih harus mengecek??" tanya Alice dengan meninggikan nada suaranya.
"Iya. Tentu saja. Kalau malam, pelayan dan kepala pelayan waktunya beristirahat. Jadi besok, mereka bisa lebih bugar untuk membersihkan rumah maupun menyiapkan makanan. Jadi tugasmu, ya mengecek keadaan kakakku. Atau... Kamu ingin bertukar tugas dengan para pelayan di rumah ini??" ujar Storm.
"Tidak mau! Iya. Nanti aku cek!" cetus Alice yang segera akan menutup pintu kembali, tetapi dihalangi oleh tangan yang menekan daun pintu kamar.
"Ada apa lagi???" tanya Alice.
"Gunakan pakaian yang benar!! Jangan pergi ke kamar kakakku, dengan pakaian seperti itu! Biarpun murah, jangan terlalu menunjukkan, kalau kamu itu murahann!" seru Storm dan Alice segera menarik tangan Storm yang sedang menahan pintu, lalu menggigitnya dengan lumayan kencang.
"Arghhh!!" pekik Storm yang segera menarik tangannya. Baru akan menghardik gadis kecil ini, tetapi pintu langsung ditutup dengan dorongan yang kencang dan tentu saja, Storm yang tidak terima, kembali menggedor-gedor pintu kamar lagi.
"Hey!! Kenapa tanganku digigit!! Dasar serigala betina!!" seru Storm. Yang tidak dihiraukan oleh wanita yang berada di dalam kamar. Siapa suruh menjelek-jelekkannya terus? Memangnya, ia ini wanita apa? Seenaknya mengatai bila dirinya ini murahann.
"Argh sialan! Dia sudah mulai berani rupanya! Awas saja nanti, aku akan membuat perhitungan dengannya!" gerutu orang yang kini menyingkir dengan sendirinya dari depan pintu kamar.
Sementara yang berada di dalam kamar mulai berdengus kesal. Baru juga ingin sedikit menikmati hidup. Tetapi, sudah disuruh bergadang semalaman suntuk lagi. Ia harus memasang alarm dan bangun tepat waktu, untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Atau, ia pergi dan diam saja di sana? Jadi saat lelaki menyebalkan itu mengecek ke kamar, ia berada di sana. Hanya saja, jangan sampai terlelap di atas ranjang lagi saja nanti.
Alice segera berganti pakaian dan melihat situasi di depan kamar. Setelah itu, ia pun pergi ke kamar Seth, yang sedang diam saja di atas ranjangnya. Padahal, tadi sepertinya sudah mau tidur sehabis makan dan minum obat.
"Belum tidur?" tanya Alice sembari menarik kursi dan duduk di sisi Seth.
"Sudah. Tapi hanya bisa tidur sebentar saja tadi."
"Apa karena mimpi buruk??" tanya Alice.
"Tidak. Hanya pegal saja. Karena harus rebahan terus," jawab Seth sembari tersenyum.
"Mau dipijat??" tanya Alice.
"Bisa memangnya?" tanya Seth dengan senyuman yang masih tersisa di bibirnya.
"Bisa sih. Apanya yang pegal?? Kaki ya??" ucap Alice yang segera menyentuh kaki lelaki yang seketika langsung berteriak ini.
"Awh!"
"Hah?? Sakit???" tanya Alice seraya mengangkat kedua tangannya lagi dari betis Seth dan juga, sembari membuka kelopak matanya lebar-lebar.
"Iya. Disitu ada luka sedikit," ucap Seth yang sudah cukup berkeringat. Menyakitkan sekali. Tapi ia tahan untuk tidak mengaduh.
"Maaf. Aku tidak tahu. Em, buka selimutnya saja ya?? Supaya kelihatan yang ada luka tidaknya."
"Ya sudah. Buka saja."
Kata-kata yang terucap dan orang yang berada di luar kamar, yang tidak tertutup dengan rapat inipun mendengar kata-kata itu dan langsung berpikiran ke arah yang tidak-tidak. Ia semakin mendekati daun pintu, tapi tidak sampai muncul di balik celah tersebut. Ia menguping pembicaraan, yang tengah terjadi di dalam sana dengan amat sangat teliti.
"Aku buka sampai sini ya?"
Kata-kata yang keluar dari mulut Alice dan menyapu indra pendengaran orang, yang tiada lain dan tidak bukan adalah Storm. Pikirannya sudah pergi kemana-mana. Tapi tidak mau langsung memergoki mereka. Ia dengarkan dulu, apa yang tengah mereka katakan di dalam kamar.
"Ah." lenguhan, yang Storm dengar keluar dari mulut kakaknya sendiri dan membuatnya semakin menajamkan indra pendengarannya.
"Sakit?" tanya Alice.
"Tidak. Sudah enak begitu," jawab Seth.
Storm menelan salivanya sendiri. Di dalam kepalanya, sudah bergulir adegan wanita yang sedang dipangku. Ah gilanya. Kakaknya itu sedang sakit. Kenapa masih dipermainkan juga???
"Begini enak tidak?" tanya Alice.
"Iya enak," jawab Seth disertai dengan desahan lagi.
"Begini enak??" tanya Alice.
"Iya begitu saja sudah enak," ucap Seth dan pintu kamar seketika didorong, oleh orang yang sedang menguping sejak tadi dan berniat memergoki dua orang, yang jauh sekali dari apa yang sedang ia pikirkan tadi.
"Ada apa, Storm??" tanya Seth kebingungan, saat melihat adiknya yang malah diam mematung di ambang pintu.
"Kakak sedang apa??" tanya Storm.
"Kamu lihat sendiri kan? Kakak sedang dipijat. Tubuh kakak rasanya pegal sekali, karena berbaring terus dan Alice menawarkan untuk memijat. Pijatannya lumayan juga. Agak enteng sekarang, sudah tidak terlalu kaku seperti sebelumnya," jawab Seth dan Storm yang mendengarnya mulai terlihat kikuk sendiri. Ada apa dengan pikirannya?? Kenapa malah membayangkan hal-hal yang sangat liar sekali tadi??
"Em, ya sudah kalau begitu," ucap Storm yang segera menutup pintu kamarnya. Tapi ia kembali mendorong pintu kamar hingga terbuka lagi, sembari memperhatikan gerak-gerik sepasang lelaki dan perempuan yang hanya berduaan di dalam kamar.
"Ada apa lagi?" tanya Seth.
"Tidak ada. Hanya saja, kakak jangan tidur terlalu malam. Eum, maksudnya ini sudah malam. Sudah waktunya untuk tidur," ucap Storm.
"Iya kakak tahu," jawab Seth dengan datar.
"Ya sudah. Selamat istirahat, Kak. Jangan lupa untuk segera tidur," ucap Storm yang kembali mundur. Namun kini, ia dengan sengaja tidak menutup pintunya dengan rapat dan hanya setengah tertutup saja, lalu baru pergi ke dalam kamarnya sendiri.
"Hah... Ada apa dengan pikiranku ini," gumam Storm sembari mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri dan berjalan ke kamarnya.
Di dalam kamar.
Storm tengah memperhatikan. Bekas gigitan, yang masih membekas di pergelangan tangannya. Ia pandangi beberapa saat, lalu kemudian bangkit dari tempat tidur dan segera pergi ke kamar mandi.
Storm mengucurkan sabun ke permukaan kulit yang digigit, lalu menggosok dengan kencang hingga menghasilkan banyak busa. Setelahnya, ia keringkan dengan handuk dan naik ke atas tempat tidurnya lagi.
Storm merasa, bukan digigit oleh manusia. Lagi pula, memangnya ada, manusia yang menggigit?? Wanita itu ada saja tingkahnya, yang membuat ia menjadi geram.
"Dasar wanita gila," ucap Storm, sebelum ia yang akhirnya memejamkan mata dan mengarungi mimpinya malam ini.
Sementara itu di dalam kamar sang kakak. Malam yang sudah semakin larut, membuat Alice rasanya sudah mulai mengantuk. Tapi, karena belum adanya tanda-tanda, bila pria yang dijaganya ini akan terlelap, ia jadi tidak pergi kemana-mana dan hanya menunggu saja sembari mengusap sesering mungkin.
"Kamu sudah mengantuk? Kenapa tidak tidur di kamar?" tanya Seth, yang biji matanya itu masih saja terlihat.
Alice baru selesai menguap dan menutup mulutnya kembali. Ia pun menatap Seth dan berkata, "Harus menjaga, kalau butuh apa-apa, aku harus siap dan sediakan. Jadi, aku akan tunggu di sini, setidaknya sampai kamu tidur nanti."
"Tidak apa-apa. Tinggalkan saja. Bahkan, semua pelayan sudah berisitirahat di kamar mereka."
"Justru ituuu... Karena mereka sudah tidur semua. Aku yang harus berjaga-jaga malam ini."
"Oh ya? Apa perlu, kenaikan gaji karena bekerja lembur??" tanya Seth.
"Perlu sih. Seharusnya, aku digaji lumayan banyak. Tapi, sepertinya tidak akan pernah cukup."
"Kenapa memangnya??" tanya Seth.
"Soalnya ayahku...," Alice segera menggelengkan kepalanya dengan kencang. Tidak boleh mengatakan apa-apa, tentang alasannya berada di sini. Nanti, ia pasti akan diusir keluar. Di usir dari sini dan juga diusir dari rumah ayahnya. Mana tidak ada sepeserpun uang yang ia punya, karena semua tabungan sudah habis untuk membiayai ibunya yang sakit, maupun pemakamannya juga. Setidaknya, ia harus memiliki sedikit uang, pekerjaan tetap dan juga tempat tinggal, bila ingin diusir dari sini maupun dari rumah ayahnya nanti.
"Ayahmu kenapa??" tanya Seth.
"Tidak apa-apa. Dimana aku bisa mencari pekerjaan dengan gaji yang besar ya??" tanya Alice.
"Bukankah, kamu sedang bekerja sekarang?" tanya Seth.
"Iya tapi, imbalannya masih kurang."
"Aku akan menaikkan gajimu kalau begitu," ucap Seth.
"Bukan begitu. Tapi... Ah tidak tahulah. Aku juga bingung," ucap Alice yang ingin mengatakan, bila tidak mungkin ia digaji. Karena memang, ia bukan seorang pekerja dalam artian yang sesungguhnya. Kalaupun ia benar-benar menerima uang, apa tidak akan semakin ketahuan, bila ia memang berada di sini untuk hal itu. Setidaknya, jangan sampai membuat mereka semua curiga. Ya meskipun, semua ini menyebalkan sekali ketika dijalani.
"Apa ayahmu terlilit hutang kepada rentenir?" tanya Seth lagi dan kali ini, Alice memilih untuk bungkam. Ia hanya menggelengkan kepalanya saja. Tanpa mau mengatakan lebih jauh lagi. Apa lagi, sampai menceritakan semua hingga ke akar-akarnya.
"Sudah. Tidak apa-apa. Aku akan tunggu di sini. Setidaknya sampai kamu tidur nanti," ucap Alice yang menyandarkan sisi tubuhnya lagi pada kursi.
"Tidur di sini pun tidak apa-apa," ucap Seth sembari melirik kasur di sisinya dan Alice langsung terdiam, dengan tatapan yang tidak bersahabat.
"Tenang saja. Aku tidak akan melakukan apapun terhadap kamu. Aku sedang tidak berdaya begini. Bangun pun tidak bisa. Jadi, bagaimana mau berbuat hal yang tidak baik?" ujar Seth dan Alice segera memunculkan senyuman masam.
"Kamu sih tidak. Tapi adik kamu iya," ucap Alice dengan sangat pelan.
"Ya? Kamu bicara apa tadi??" tanya Seth.
"Tidak apa-apa," sahut Alice disertai gelengan yang cepat.
Alice menghela napas dan menyandarkan kepalanya lagi. Tapi, ketika ia melirik ke depan, lelaki yang baru saja berbicara beberapa saat yang lalu, kini ternyata sudah memejamkan kedua matanya. Cepat sekali. Tetapi baguslah. Ia jadi bisa pergi sekarang. Memasang alarm dan bangun saat tengah malam, untuk mengecek kondisi anak pertama di keluarga ini yang sedang sakit itu.
Ketika tepat tengah malam. Alice terbangun, setelah alarm yang kedua berbunyi. Ia merentangkan kedua tangannya ke atas dan kemudian menghela napas. Rasanya baru juga memejamkan mata. Tapi, ia sudah bangun lagi saja.
Alice turun dari atas tempat tidur dan menggosok-gosok matanya. Kemudian, ia bangkit dari atas tempat tidur dan pergi keluar kamar. Alice datang ke kamar orang yang masih terlelap di atas ranjang, lalu membetulkan letak posisi tidurnya dan setelah itu, ia pun meninggalkan lelaki itu keluar dari dalam kamar. Tidak langsung kembali ke kamarnya. Alice yang rasanya ingin memakan sedikit camilan itupun berbalik arah. Ia pergi ke tangga dan menapakkan kakinya ke setiap anak tangga, untuk mencapai lantai bawah.
Sudah dekat dan hanya tinggal sedikit lagi saja. Namun, ia malah berpapasan dengan orang yang menjengkelkan itu lagi. Alice segera membuang muka dan berjalan saja tanpa melihat tangga yang sedang dipijaknya dan hal itu, menyebabkan ia menjadi salah langkah dan terperosok ke bawah.
"Aduhhh!" seru Alice yang sudah terlihat duduk di tangga. Sementara orang yang berpapasan dengannya tadi, seketika terbalik dan menatap wanita yang sedang duduk itu.
"Pakai matamu dengan benar!" ketus Storm yang bukannya menolong, tapi malah menghardiknya. Dasar lelaki yang tidak punya hati. Ia tidak merasa melakukan hal yang salah. Tapi kenapa selalu saja diperlakukan dengan tidak manusiawi.
"Sudah melihat keadaan kakakku belum??" tanya Storm kepada wanita yang tidak terlihat wajahnya, karena tertutupi rambut dan wanita itu, tidaklah menimpali ucapan sama sekali.
"Ck! Selain tidak bisa menggunakan mata dengan baik, rupanya kamu pun tidak bisa menggunakan mulutmu juga!?" seru Storm dan Alice tetap tidak menimpali ucapannya itu.
Napas yang kasar Storm hembuskan dari dalam mulutnya. Kemudian, ia datangi wanita yang sedang terduduk dengan kaki yang terlipat di bawah itu.
"Jawablah, ketika aku sedang mengajakmu bicara!" serunya tepat di hadapan Alice yang kini menunjukkan wajahnya yang sudah basah dengan air yang mengalir dari kedua matanya itu.
"Astaga. Drama apa lagi yang sedang kamu mainkan hm??"
"Kakiku terkilir dan sakit. Aku tidak bisa bangun," ucap Alice yang linangan airmata.
Sementara Strom kini, malah mengerenyitkan dahi dan menatap wanita, yang benar-benar tidak bergerak dari bawah.
"Jangan berbohong!" cetus Storm kemudian.
"Tidak bohong. Kakiku benar-benar sakit," ucap Alice sembari mengusap-usap kakinya sendiri.
Storm menghela napas dengan panjang. Merepotkan sekali wanita ini. Bukannya meringankan bebannya, ia malah ingin ikut menjadi beban juga??
"Ayo bangun," perintah Storm masih dengan rasa kesal yang ia tahan-tahan.
"Tidak bisa," balas Alice dengan rengekan.
"Aku bilang cepat bangun!!" seru Storm yang habis juga stok sabarnya.
Alice mencoba. Mula-mula ia berpegangan pada pegangan tangga. Selanjutnya, ia mencoba berdiri dan hanya bertumpu pada satu kaki.
"Itu bisa. Ayo, sekarang jalan!" cetus Storm dan dilakukan oleh Alice. Tapi, karena kakinya tidak kuat menumpu tubuh, Alice malah terjungkal ke belakang dan Storm cepat-cepat menarik tangannya, juga menahan tubuh Alice dengan rangkulan tangan kirinya.
Storm menghela napas. Sudah gemas sekali. Ia langsung saja mengangkat tubuh Alice dan membopongnya ke atas. Agar tidak jatuh, Alice mengikatkan kedua tangannya pada leher Storm dan lelaki itu, membawanya ke dalam kamar serta meletakkannya di sisi tempat tidur.
Tidak hanya sampai disitu saja. Storm segera berjongkok di depan Alice mencetuskan pertanyaan untuknya.
"Dimana yang sakit!?" tanya Storm dan malah ditatap saja, oleh wanita bertubuh mungil di depannya kini.