"Sedang apa??" tanya Storm dan Alice cepat-cepat mengunyah dan menelan sisa makanan yang masih berukuran lumayan besar di mulutnya itu.
"Sudah," jawab Alice sembari menunjukkan susunan giginya yang rapi.
"Kamu yang makan???" tanya Storm sambil melebarkan kelopak matanya.
"Disuruh diaaa!" seru Alice sembari menunjuk kepada lelaki yang sedang tersenyum di atas tempat tidur.
"Iya. Kakak yang menyuruhnya makan tadi. Lagi pula, hanya buahnya saja, buburnya sudah kakak habiskan. Sudah kenyang. Hanya tinggal buah saja. Daripada tidak termakan," ujar Seth menjelaskan dan Alice pun bisa terselamatkan untuk kali ini. Apa lagi, ketika Seth kembali bicara lagi.
"Kamu makan siang dulu saja," perintah Seth kepada Alice dan tentu saja Alice mengangguk dengan semangat penuh dan langsung bangkit dari kursi serta berbalik dan hendak berjalan pergi.
"Kamu mau kemana!??" tanya Storm dan seketika itu juga, Alice berhenti melangkahkan kakinya.
"Makan siang. Tadi kan disuruh makan siang katanya!" keluh Alice.
"Bawa ini sekalian!" perintah Strom sembari melihat ke arah wadah-wadah kosong di atas nakas.
"Oh...," ucap Alice seraya membawa nampan dengan gelas dan mangkuk-mangkuk yang sudah kosong.
Alice melangkah keluar dari dalam kamar dan menutup pintunya dengan rapat. Setelah itu, ia cepat-cepat pergi ke bawah, sebelum ada yang memanggilnya lagi dan menghancurkan rencana makan siangnya.
"Dia lucu sekali ya?"
Kata-kata yang diucapkan dan dalam sekejap, segera membuat Storm menoleh kepada orang yang mengucapkannya.
"Apa, Kak?? Apa tidak salah??" ucap Storm dengan nada tidak terima dan tidak suka.
"Kenapa? Memang benar kan? Dia polos sekali. Sepertinya, usianya belum sampai dua puluh tahun."
"Delapan belas, Kak," imbuh Storm.
"Benarkah?? Apa orang tuanya memiliki banyak hutang? Sampai masih muda, sudah harus bekerja?"
"Ck. Sepertinya memang begitu, Kak. Orang tuanya gila harta! Sampai anaknya dijual juga!"
"Kasihan sekali dia," ujar Seth dan tentunya Storm kembali tidak terima.
"Untuk apa dikasihani, Kak?? Dia itu licik! Bermuka dua!" seru Storm dengan sangat menggebu-gebu.
"Di bagian mana yang terlihat liciknya, Storm? Dia bahkan terlihat polos. Sepertinya, dia cuma korban saja," ujar Seth.
"Ah kakak ini. Dia itu pintar berkamuflase, Kak! Jangan sampai tertipu!" cetus Storm yang tetap bersikukuh, tentang intuisinya sendiri.
"Benarkah?? Tapi kakak tidak merasa begitu," ujar Seth.
"Ck! Kakak itu tidak tahu saja!" cetus Storm berapi-api dan Seth hanya tersenyum, ketika melihat tingkah adik semata wayangnya ini. Tapi senyumannya itu tiba-tiba saja lenyap dan ia segera menatap kepada Storm lagi.
"Oh iya, bagaimana dengan acaranya??? Apa sudah dimulai??" tanya Seth yang baru teringat, dengan hal terakhir yang harusnya ia lakukan.
"Acara apa, Kak??" tanya Storm yang belum paham, dengan maksud dari ucapan kakaknya ini.
"Pernikahan. Harusnya, kakak menikah hari ini kan??" ucap Seth seraya mencari-cari jam dinding.
"Acaranya kemarin, Kak. Bukan hari ini," jawab Storm dengan santai dan sembari menarik kursi, yang tadi diduduki oleh Alice dan kini diduduki olehnya.
"Benarkah??? Jadi dari kemarin, kakak tidak sadar dan baru bangun hari ini???" tanya Seth dengan kelopak mata yang terbuka lebar.
"Ya namanya juga habis kecelakaan, Kak. Mungkin efeknya, kakak jadi tersadar lebih lama."
"Lantas, bagaimana dengan acaranya??"
"Ck! Tidak usah memikirkan hal itu! Lebih baik, kakak pikirkan kondisi kakak saja dulu!" cetus Storm.
"Mereka pasti kecewa sekali, karena Kakak tidak bisa datang," ucap Seth. Sementara adiknya, malah bermonolog dengan batinnya sendiri.
'Apanya yang kecewa?? Mereka tetap saja senang, karena acara tetap saja dilakukan tanpa kakaknya ini.'
"Sudah, Kak. Istirahat saja ya? Jangan banyak pikiran, nanti malah lama sembuhnya. Storm buka jendelanya ya, supaya ada udara segar yang masuk," ucap Storm seraya bangkit dari kursi dan pergi ke jendela yang masih tertutup rapat.
Sementara itu di lantai bawah.
Alice tengah berfoya-foya. Ia coba semua makanan, yang belum pernah ia makan sama sekali. Jarang makan enak dan bahkan hanya hitungan jari, saat masih berada di rumah ayahnya. Kini, Alice bisa kembali makan sepuasnya. Ya anggap saja sebagai imbalan, dari kerja kerasnya seharian ini dalam mengurusi orang sakit.
Akan tetapi, ketenangannya lagi-lagi lenyap, saat ada orang yang menyusul untuk melakukan makan siang juga dan menarik kursi di sisinya. Gerakan mulut Alice melambat, ketika orang tersebut sudah mulai duduk di sisinya. Ia bahkan menghela napas juga sembari melirik lelaki, yang kini sedang dilayani oleh pelayan dan diambilkan makanan juga.
"Kenapa lihat-lihat??" teguran yang Alice dapatkan, dari lelaki yang biasanya memarahinya dan itu adalah Storm.
Alice sudah tidak lagi melirik dan kini malah memalingkan wajahnya ke arah sebaliknya, dari orang yang baru saja duduk tadi.
"Meskipun kakakku sudah bangun. Kamu tetap harus mengecek keadaannya. Jangan sampai terlambat memberinya obat," ucap Storm seraya menyuap makanan ke dalam mulutnya.
"Iya...," jawab Alice lemas. Ia kembali melirik kepada Storm lagi dan teringat, akan perkataan dari istri ayahnya tentang alasan ia yang harus berada di sini. Kini, apa yang harus ia lakukan?? Bagaimana cara, agar ia bisa membujuk lelaki ini, untuk menyelamatkan perusahaan ayahnya, yang sedang diambang kebangkrutan??
Alice mengambil satu potong ayam goreng bagian paha dan meletakkannya di dalam piring Storm. Sementara orang yang sedang mengunyah itu, malah menatap potongan ayam, yang baru saja berada di atas piringnya, lalu setelahnya, ia malah memberikan tatapan mata yang tajam, bagi wanita yang sudah sangat sembarangan dalam memberinya makanan.
"Apa aku memintamu, untuk menaruhnya di piringku??" tanya Storm sudah dengan nada suara yang mulai meninggi.
"Eum... Tidak sih. Tapi aku hanya...,"
"Ambil kembali," perintah Storm masih dengan nada suara yang lumayan pelan.
"Memangnya kenapa?? Kamu tidak suka??" tanya Alice dan yang ditanya, kini malah mengamuk kepadanya.
"Aku bilang ambil kembali!! Apa kamu tuli!!??" seru Storm dengan sangat lantang dan Alice segera menarik paha ayam tadi dari piring Storm dan meletakkan di dalam mulutnya sendiri.
Storm mendorong piringnya dan meminta pelayan, untuk menyajikan yang baru. Sementara Alice hanya memperhatikan, dengan paha ayam yang masih diapit menggunakan mulutnya.
Dia sampai sebegitu tidak sukanya. Padahal, ia merasa tidak melakukan hal yang salah. Pernikahan ini pun, bukan dia yang mau dan kalau bukan ingin berusaha membujuk, agar keinginan dari istri ayahnya itu terwujud, bagaimana mungkin, ia mau berurusan dengan lelaki galak ini.
"Dasar galak. Pasti tidak ada perempuan yang mau dekat-dekat," ucap Alice dengan suara yang pelan dan samar. Tapi Storm seketika menoleh dan berucap kepada wanita di sisinya ini.
"Apa katamu??" tanya Storm.
"Hm?? Ini, ayamnya enak!" cetus Alice yang segera melahap paha ayam itu dengan suapan yang besar dan mengunyah dengan mulut yang penuh.
Malam hari.
Alice mencari pakaian untuk ia tidur malam ini dari dalam lemari pakaian. Banyak sekali pilihan pakaian tidur di dalam sini, akan tetapi yang paling aneh, kebanyakan diantara pakaian itu tidaklah normal menurut Alice. Kemarin, ia masih menggunakan yang agak normal sedikit menurutnya. Meskipun itu gaun tidur yang pendek, tapi masih dibalut dengan outer yang melebihi lutut. Akan tetapi, yang sekarang ini ada di dalam lemari, bukan hanya gaun tidur yang pendek di bawahnya saja, tapi di bagian dadanya juga terlihat begitu rendah. Ini pakaian untuk tidur atau apa sebenarnya?? Tidak memiliki pilihan yang lain, Alice ambil saja satu dan mengenakannya. Toh hanya di pakai dalam kamar. Tidak untuk keluar dari dalam kamar. Karena sudah sadar juga, orang yang dijaganya kemarin, ia jadi tidak perlu pergi ke sana. Malam ini, ia akan terlelap dengan pulas sekali, tanpa adanya gangguan.
Alice mengikat rambutnya yang panjang dengan tinggi, hingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Walaupun, tidak memiliki kulit seputih s**u, tapi ia malah terlihat eksotis. Tidak melulu harus berkulit putih, jenis kulitnya ini, malah menjadi dambaan orang-orang yang tinggal di bagian barat sana.
Sedikit wangi-wangian Alice pakai di tangannya, tidak membawa sendiri. Hanya membawa tubuhnya ini saja, tapi segala jenis pakaian maupun skincare untuk perawatan tubuh dan wajah sudah tersedia di sini. Surga dunia yang berbalut dengan neraka. Karena ketika ia keluar dari dalam kamar, suasana yang tidak nyaman itu pasti ia dapat dan rasakan.
Kini, Alice naik ke atas tempat tidur dan masuk ke dalam selimut. Ia rebahkan tubuhnya di sana, sembari memejamkan kedua kelopak matanya.
Ah... Nikmatnya tidur di sini. Empuk dan sejuk. Tidak seperti rumah kontrakan yang ia tinggali bersama ibunya. Itupun, hanya tiga petak. Meski pemilik rumah ini menyebalkan. Akan tetapi, ia masih memiliki sedikit rasa bersyukur. Setidaknya, masih ada yang bisa ia nikmati. Tidak sampai sesulit menelan makanan di rumah ayahnya sendiri. Di sini bebas ingin makan apapun, hanya saja harus mengikuti aturan dari si pria yang katanya suami, tapi tidak mau mengakuinya sebagai seorang istri. Ah tidak tahulah, ia harus menyebutnya dengan kata apa. Tidak tahu juga, sampai kapan ia harus berada di sini. Jalani saja sampai batas waktunya nanti. Yang terpenting untuk saat ini adalah, ia bisa nikmati hal-hal yang tidak pernah ia dapatkan, selama delapan belas tahun hidupnya.
Alice tersenyum dengan mata yang terpejam. Namun, seketika kelopak mata itu terbuka lagi dan bola matanya, bahkan sampai membulat dengan sempurna, saat pintu kamar yang digedor dengan sangat kencang dari luar kamar, menggelitik indra pendengarannya.
"Hey! Buka pintunya!! Kamu sedang apa di dalam sana?? Kenapa lama sekali membuka pintu ini!!"
Alice tengah sibuk mencari-cari outer untuk menutupi tubuhnya, karena tidak menemukan. Ia jadi menarik selimut dan menutupi tubuhnya dengan selimut itu.
"Kenapa lama sekali!?" tanya lelaki, yang tidak lain adalah Storm, yang kini tengah tertegun setelah melirik, sebuah bulatan yang ada di depan tubuh Alice, yang tidak tertutupi selimut.