Arthur Romano, pria berusia 26 yang tengah memimpin rapat. Sebagai CEO dari Romano Inc, menggantikan sang Kakek. Dulu, Kakeknya tinggal dan besar di Italia. Membangun sebuah perusahaan dan baru pindah ke Chicago ketika menikah. Kakek; Federic Romano juga membangun lagi perusahaan di Chicago yang sama-sama bergerak di bidang real estate.
Selama Arthur tinggal di Chicago, dia dikenalkan pada dunia bisnis oleh sang Kakek sejak kecil. Kedatangannya ke Italia bukan untuk menetap, tapi untuk mengawasi dan membenahi beberapa hal. Menempati mansion sang kakek yang biasa dipakai liburan jika ke Verona, Italia.
“Any Question?” tanya Arthur saat rapat hampir berakhir.
“Kami akan mencoba mengikuti keputusan anda, Tuan Arthur.”
“Kalian harus mengikutinya, bukan mencobanya. Akan ada reshuffle jika kalian tidak bekerja dengan baik.”
Berbeda dengan Kakeknya yang penuh toleransi, Arthur menekan semua orang satu memiliki tujuan yang sama dengannya. Karena kekuasaan di tangan Arthur, tidak banyak yang bisa mereka lakukan. Para pemegang saham itu keluar dari ruang rapat satu persatu. Meninggalkan Arthur yang masih betah disana.
“Anda butuh yang lain, Tuan?”
“Bawakan aku kopi, Felix.”
Menelpon sang Kakek untuk memberikan laporan terkait rapat hari ini. “Kakek seharusnya sembuh, karena aku membereskan kekacauan disini.”
Terdengar suara tawa Federic. “Kapan kau akan pulang?”
“Aku akan lebih lama disini, Kakek.”
“Tumben sekali, kau biasanya tidak bisa berlama-lama disana.”
“Ada hak menarik disini.”
“Apa kau menemukan perempuan cantik disana?” Goda Federic.
“Aku lebih tertarik dengan uang.”
Kakek terkekeh disana. “Baiklah. Kalau mau, kau tinggal saja disana. Perusahaan di Chicago sudah aman terkendali.”
“Dan meninggalkan Kakek yang sakit-sakitan? Tidak terima kasih. Aku akan pulang akhir bulan ini.”
Mengakhiri panggilan karena Reymond datang bersama dengan Felix. Tanpa bicara, Arthur tahu apa yang ada dalam pikiran temannya itu. “Yang lain sudah memesan, kau tidak mungkin melewatkan acara ini bukan? Banyak wanita cantik disana.”
Malam nanti, akan ada acara yang disponsori oleh perusahaan Arthur dan Reymond. Teman-teman Arthur sesama pengusaha juga datang, membentuk circle dengan sendirinya. Arthur bergabung dengan para pengusaha muda, di lantai dua mengawasi acara dibawah sana.
Sebagai pengusaha muda, Arthur mampu menundukan usia. Mau berapapun usia yang lain, mereka tunduk karena Arthur yang memiliki pengaruh di Verona.
“Dj dan alcohol akan segera keluar setelah acara utama selesai. Kau mau wanita cantik, Arthur?”
“Heii, jangan menggodanya. Arthur sudah memiliki kekasih,” ucap yang lainnya menggoda.
Ditimpali oleh Reymond, “Ya, kekasih yang selalu datang dan hilang.” Hingga mengundang tawa.
“Bawakan saja satu. Arthur tidak boleh terlihat kesepian hanya karena diambang putus dengan kekasihnya,” perintah Reymond.
Para wanita cantik dan seksi itu memeriahkan ruangan para CEO, mereka bersenang-senang, tertawa bahkan ada yang rela membasahi tubuhnya dengan alcohol.
“Hallo,” sapa wanita bergaun merah yang tertarik pada Arthur yang sedang merokok di balkon. “Tidak mau bergabung dengan yang lain? Ada yang sudah mulai membuka celana,” godanya. “Tuan Arthur…. ada kamar private disini. Kita bisa menggunakannya kalau kau mau.”
“Ambilkan aku minum,” perintahnya.
Perempuan itu memekik senang, dia akan menggoda Arthur, pria yang memiliki pengaruh besar di Verona.
***
Anna akhirnya bisa menghirup udara segar setelah tiga hari dikurung di ruangan pengab. Maury sampai memanggil dokter untuk mengobati Anna. “Siapa dia sebenarnya?” Tanya dokter pribadi keluarga Romano di Italia.
“Orang yang menjadi pelunas hutang, Dokter. Tolong bantu dia dulu.”
Kaki Anna yang lebam membuat Maury sampai meringis. “Itu akibat mobil yang menabraknya.”
“Awww!” Anna menjerit ketika kakinya disentuh. “Sakit… hiks…”
“Tahan, Nona. Saya akan mengobatinya.”
Maury dan dokter itu berusaha mengurangi rasa sakit Anna. Dapat dirasakan ketika dokter pergi, Maury membantu Anna berganti pakaian dan membersihkan tubuhnya yang kotor. Perlahan, tenaga Anna kembali lagi. Minum teh hangat dan obat. “Kakinya masih sakit?”
“Sudah lebih baik. Terima kasih, Maury.”
“Jangan melakukan hal berbahaya lagi, Nona.”
Anna menunduk. “Tapi ini hidupku, aku tidak mau tunduk padanya.”
“Tapi bukan hanya anda yang dirugikan, tapi orang-orang terdekat anda.”
Pemikiran Anna masih tentang bagaimana caranya dia bisa pergi dari sini. Menemui polisi dan membuat Arthur terjebak dengan kesalahannya sendiri.
“Tuan Arthur bukan pria yang punya belas kasihan. Jika dia tidak bisa menyakiti anda, maka dia akan menyakiti orang sekitar anda.” Maury bahkan membantu membereskan rambut Anna. “Istirahatlah, ini sudah malam.”
Ditinggalkan sendirian, pintu kembali dikunci. Tidak banyak yang bisa Anna lakukan. Menoleh kesamping dan mendapati cermin disana. Tubuh Anna penuh dengan lebam, bekas luka dan wajah yang lelah. Entah harus bagaimana dirinya. Untuk sekarang, Anna meringkuk sambil memeluk dirinya sendiri.
Di sisi lain, Arthur mendapati teman-temannya semakin liar. Bau alcohol mendominasi, juga desahan yang dapat dia dengar dari para wanita bayaran. “Tuan Romano, kau tidak tertarik melakukan hal yang sama dengan temanmu itu?” tangannya mengelus d**a Arthur. “Awwww! Kau menyakitiku!”
Arthur mencengkram tangan wanita yang hendak menyentuh wajahnya.
“Awww! Sakitt! Kau bisa mematahkannya! Lepass!” Arthur menggenggamnya kuat, membuat wanita itu bersimpuh minta dilepaskan.
“Bro?” Reymond meringis ngeri.
Arthur melepaskan cengkraman itu hingga kepala si wanita terbentur tembok yang keras. “Jangan pernah menyentuhku,” ucapnya penuh penekanan.
Kepergian Arthur membuat ruangan itu hening. “Lanjutkan pestanya,” ucap Felix sebelum mengikuti sang majikan.
Dalam keadaan setengah mabuk, Arthur dibawa pulang oleh Felix. “Tuan, apa anda membutuhkan sesuatu?”
“Langsung pulang saja.” Beberapa kali hampir kehilangan keseimbangan, tapi Arthur menolak ketika Felix hendak membantunya. Melangkah masuk ke mansion besar yang sudah gelap.
“Buatkan air hangat untuk Tuan,” perintah Felix pada Maury.
“Baik, Tuan.”
“Apa dia sudah dikeluarkan?” Fokus Arthur pada pintu dimana Anna berada.
“Sudah, Tuan. Saya meminta dokter datang untuk mengobatinya.”
Arthur tertarik untuk masuk kedalam sana. melihat Anna yang terlelap dengan bekas air mata di wajahnya. Selimutnya terangkat, memperlihatkan paha yang mulus, membuat Arthur menelan salivanya kasar.
Pisau di nakas juga menarik perhatiannya, tidak seharusnya ini disini.
Anna merasakan kehadiran seseorang, perlahan matanya terbuka dan dikejutkan dengan mata pisau yang mengarah padanya. “Apa…. apa yang kau lakukan?”
“Mata pisau ini akan menusuk orang yang kau sayangi jika berani kabur lagi.”
Anna hendak menghindar, tapi Arthur menahan bahunya dan mengarahkan ujung pisau ke leher Anna. “Kau banyak merugikanku, jadi hidupmu harus lebih berguna untukku.”
“Jangan… sakiti aku.” memejamkan mata takut, besi dingin itu terasa di kulit lehernya.
“Maka menurut padaku. Kau adalam milikku, Anna.” Tatapannya kembali turun pada paha Anna. Pria itu segera menarik tangannya menjauh dan keluar dari sana. “Maury.”
“Iya, Tuan?”
“Urus dia dengan baik. Pindahkan ke kamar lantai dua.”
“Ba-baik, Tuan.”
***
“Kita mau kemana, Maury?”
“Pindah ke lantai dua, Nona,” ucapnya membantu Anna melangkah.
Anna baru bisa melihat rumah ini secara keseluruhan. Tampak seperti istana Romawi kuno dipadukan dengan gaya modern. Ada tiga lantai dengan ruang yang begitu luas. Kaget juga ketika masuk ke dalam lift. “Kenapa aku harus pindah ke lantai dua?”
“Kamar disana lebih luas dan nyaman, Nona.”
“Tidak bisakah kau membantuku keluar, Maury? Cukup antarkan aku pada polisi.”
Maury tidak menjawab sama sekali. “Tempat ini lebih baik bukan? anda bisa melihat pemandangan yang cantik disini, Nona.”
“Maury….”
“Makan malam akan diantarkan sebentar lagi. semua keperluan anda sudah ada.” Maury kembali meninggalkan Anna sendirian.
Kamar ini dua kali lebih besar dari kamar dibawah. Kamar mandinya juga demikian, ada banyak perawatan tubuh dan wajah disana. Anna merinding, dia tahu apa yang akan dilakukan pria itu padanya. Ketakutan mulai datang lagi, Anna ingin keluar dari sini! namun, dari lantai dua dia bisa melihat bagaimana penjagaan sangat ketat disini.
Satu-satunya cara adalah negosiasi dengan Arthur. Anna mencoba untuk menurut selama beberapa hari ini. Bahkan, dia membiarkan pelayan membantunya mandi. Anna semakin takut. Selama satu minggu terakhir, Anna tidak melihat Arthur disini.
“Tuan Arthur pulang dari Roma malam ini. Jangan membuatnya marah lagi, Nona.”
“Aku ingin bicara dengannya.”
“Bicaralah baik-baik tanpa merendahkannya.”
Anna akan bernegosiasi dengan pria itu supaya membebaskannya. Anna menunggu Arthur sampai tertidur. Tidak tahu saja, pria itu pulang dalam keadaan mabuk setelah bersenang-senang dengan temannya. Masuk ke kamar Anna, melihat tampilan Anna yang lebih terawatt sekarang. Pahanya mulus, wajahnya cantik dengan rambutnya berwarna cokelat.
Arthur naik ke atas ranjang untuk melihat wajah itu dari dekat. “Wajah pelac*r memang menggoda,” ucapnya menegakan tubuh dan mulai membuka jas. Saat Anna merasa kakinya dibuka, dia terbangun. “Apa yang… Arthur?”
“Diam!”
“Aaaa!” Rambutnya dijambak hingga Anna mengadah. “Sakit… lepas…”
“Aku tidak suka mendengar suara wanita sepertimu. Jadi diam saja.”
“Tunggu, Arthur.. Jangan… Jangan kumohon…. Eunghhhh!” Anna merasakan sebuah benda besar memasukinya dibawah sana, membawanya dalam rasa sakit. Sampai dia merasakan darah mengalir dari sana. “Hiks… berhenti… jangan lakukan ini padaku… Hiks…”
“Kubilang diam, J*lang!”
“Anghhh!”
Tubuh Anna terhentak-hentak, dia hanya bisa menangis ketika diperlakukan layaknya sampah. Arthur tanpa rasa kasihan melakukan hal b***t pada Anna.