Bab 12 - Tidak Pernah Akur

1763 Kata
Sejak dulu mereka memang tidak pernah akur, mau bagaimana pun Ara berusaha dekat dengan Agra pasti akhirnya laki-laki itu lebih dulu menarik diri. Sebenci itukah Agra dengannya? Seperti saat ini, bahkan lelaki itu lebih memilih kekasihnya dibanding Ara yang notabene adiknya sendiri. Yah, walaupun mereka saudara tak sedarah, tapi tetap saja bukannya itu aneh? Atau mungkin Ara saja yang berpikir begitu? Sedih dan kecewa tentu saja. Ara berusaha bertahan dengan sikap Agra tapi laki-laki itu malah- ahk! Dia kesal sekali. Menatap punggung lebar itu tajam, Agra nampak tak peduli. Sang Dhanurendra malah sibuk mencari pakaian miliknya dan berniat masuk ke dalam kamar mandi. Sebelum lelaki itu berbalik dan meminta Ara untuk pergi lagi. Sang Casie mengambil sebuah bantal di atas tempat tidur, tepat melempar ke arah badan sang kakak cepat. “Setidaknya hilangkan sikap dinginmu itu di depan adikmu sendiri!” tukas Ara singkat. Berbalik hendak keluar dari kamar Agra. Tapi begitu mengingat ada Merry di luar sana, dia berhati-hati membuka pintu kamar. Memastikan situasi sudah aman, dimana keberadaan Merry sekarang, ‘Itu dia,’ batin Ara saat melihat keberadaan wanita itu di area dapur. Nampak sibuk memindahkan piring berisi makanan ke meja makan. Ara punya waktu beberapa menit untuk segera pergi dari sini. Baru saja dia berniat keluar, suara pintu kamar mandi tertutup cukup keras, mengagetkan gadis itu seketika. Tanpa membalas ucapan Ara, Agra masuk ke sana. Pandangannya berbalik heran, “Ish! Dia kenapa sih?!” bisiknya kesal. Ara memang tidak pernah mengerti isi pikiran kakaknya. ‘Ahk, aku tidak peduli lagi!’ Saat keadaan aman, barulah Ara bisa keluar. Berlari secepat mungkin dan masuk ke kamarnya tanpa ketahuan oleh Merry. *** Berada di meja makan yang sama setelah insiden tadi. Ara berusaha menyembunyikan ekspresi kesalnya. Duduk tepat di hadapan Merry dan Agra. Setelah dipanggil berulang kali untuk makan malam, karena dia juga kebetulan sedang lapar. Ara terpaksa keluar. “Maaf kalau kami harus merahasiakannya darimu, Ara. Tapi aku sudah bisa bertemu denganmu secara langsung,” ucap wanita cantik di depannya. “Makan malam ini aku masak sesuatu yang simple karena keterbatasan waktu dan bahan,” “Lain kali akan kumasakkan yang special untukmu.” Lanjutnya, dengan tubuh dan wajah bak model. Merry juga memberikan kesan baik untuk Ara. Wanita itu baik, pintar masak, cantik, jadi apalagi yang kurang? “A-ah, terimakasih Kak Merry. Sudah mau repot-repot memasak untukku,” Tersenyum kecil, makanan di depannya memang terlihat enak. Wanita itu menatap Agra, “Aku terbiasa masak untuknya saja selama ini. Tapi sekarang karena ada Ara, jadi aku bisa memasak banyak.” Tersenyum dan menepuk punggung tangan Agra pelan. Lelaki di sampingnya hanya mendengus, “Ayo makan, nanti masakanmu dingin.” Membalas dengan singkat. Merry seolah terbiasa dengan sikap Agra. Wanita itu menatap Ara lagi dan tersenyum kecil. “Dia memang seperti itu sikapnya, kuharap kau tidak keberatan Ara.” Bahkan Merry justru mengingatkan Ara sikap Agra. Dia benar-benar merasa jadi orang asing di sini. Melihat bagaimana Merry memperlakukan Agra dari dekat, Ara perlahan paham. Mereka pasti saling mencintai, pasangan yang terlihat serasi. Ah Ara berharap dia tidak jadi obat nyamuk selama tinggal di sini. Pandangan gadis itu menatap ke arah makanan. ‘Ah, ada udang,’ Saat melihat seafood berwarna merah itu Ara langsung bingung. Makanan itu terlihat begitu special di masak untuknya, jadi dia harus apa? Ara alergi udang, atau lebih tepatnya dia sudah cukup trauma saat usia 14 tahun dia sempat mengalami muntah-muntah dan badan penuh merah karena terlalu banyak memakan udang. Padahal dulu dia sangat suka makanan itu, tapi setelah kejadian hingga dia harus masuk ke rumah sakit selama seminggu. Ara jadi trauma untuk memakannya lagi. Tidak enak menolak masakan Merry, ‘Mu-mungkin kalau aku makan beberapa tidak masalah,’ batinnya, sudah hampir berapa tahun dia tidak makan udang. Jadi Ara rasa tidak masalah. Baru saja Ara hendak mengambil beberapa potong udang, tapi punggung tangannya langsung dipukul pelan oleh Agra. “Kau mau apa?” tanya lelaki itu sinis. Ekspresinya nampak marah, “Ya—ya, makan udang ‘kan kak Merry sudah repot masak-masak,” Berniat mengambil udang lagi. Tapi tangannya kembali dipukul pelan, “Kau lupa dulu muntah-muntah dan masuk rumah sakit karena apa?” tukas Agra tanpa pandang bulu. Ara meneguk ludah singkat, sementara Merry mengerjap tak paham. Melihat Agra nampak menjauhkan piring berisi udang remah gandum dari depan Ara. “Dia alergi udang,” ucap sang Dhanurendra singkat. Merry langsung paham, “Astaga! Aku tidak tahu, maaf Ara!” Yah, ketahuan ‘kan! Ara tersenyum kikuk, “I-itu sudah lama kok. Mungkin sekarang alerginya sudah hilang, jadi tidak masalah makan sedikit,” Merasa tidak enak. Siapa sangka kalau Agra ternyata masih ingat dengan alerginya. “Tapi tetap saja, maaf Ara.” Suasana berubah sedikit canggung, gara-gara sikap Agra yang dingin dan ketus. Lelaki itu tanpa basa-basi mengambil piring dan nasi, lalu lauk pauk selain udang. Memberikan tepat di depan Ara, “Makan ini dan habiskan.” ujarnya lagi. Ara melongo tak percaya begitu juga Merry. “Sekali lagi kulihat kau makan udang, kulaporkan ayah dan ibu.” ancam lelaki itu cepat. Ara bergidik ngeri, mengangguk paham dan langsung mengambil piring Agra. “Tsk, aku bisa ambil sendiri kok!” Sembari mengerucutkan bibir menyantap makanannya, *** Flashback On – Ara usia 14 tahun “Hoekk!” Satu suara yang cukup familiar terdengar keras menggema dari arah kamar mandi. Berulang kali terdengar, Ara mengeluarkan seluruh isi perutnya tepat setelah dia sampai di rumah. Pulang dari sekolah, saat kedua orangtuanya tidak ada di rumah. Tubuhnya terasa panas dan gatal, Ara bahkan mengambil izin satu jam lebih awal karena merasa tidak badan. Begitu sampai isi perutnya keluar semua, pusing dan mual membuat tubuhnya terhuyung keluar dari kamar mandi. Wajah gadis itu memucat, baru saja melangkah keluar. Ara melihat sosok sang kakak nampak menyender di samping pintu kamar mandi. Dengan wajah tertekuk bingung, “Kau sakit?” tanya lelaki itu singkat. Mengangguk tipis, “Perutku mual, kepalaku juga pusing, Kak.” Tanpa sadar merengek karena di rumah ini hanya ada mereka berdua. Terhuyung nyaris jatuh sebelum Agra bergerak memapah tubuhnya, tanpa basa-basi langsung menggendong gadis itu di belakang punggung. “Kuhubungi ibu agar pulang cepat,” ucapnya lagi. Ara hanya bisa mengangguk tipis, membiarkan kepalanya menyender pada pundak Agra. Terayun menaiki lantai dua, Agra memperhatikan kedua tangan Ara yang terjulur lemas ke depan. Bintik-bintik merah nampak jelas di sana, alisnya tertekuk bingung, “Kau makan apa saja sejak tadi pagi?” tanya Agra lagi. “Mm, udang buatan Ibu,” bisik Ara pelan. Membuka kamar Ara, Agra mendesah panjang dia langsung tahu penyakit gadis itu. Alergi tentu saja, pasti karena kebanyakan makan seafood. Walau ini pertama kalinya Ara mengalami gejala yang cukup serius. Bergerak membaringkan tubuh gadis itu, “Tidurlah, aku akan menghubungi ibu dulu,” Setelah memastikan kondisi tubuh Ara, lelaki itu berniat pergi. Tapi Ara bergerak pelan mengenggam tangan kakaknya. “Kakak, mau kemana?” rengek gadis itu, kepalanya pusing sekali. Tidak ada siapa-siapa di rumah. Ayah dan ibu tak ada, Ara takut. “Menghubungi ayah dan ibu, sebentar saja.” Berusaha melepas tangan Ara. “Jangan kemana-mana, Kak.” Menggeleng berulang kali, Ara bahkan reflek bangun dari posisinya. “Aku ikut keluar,” bisiknya lagi. “Kepalaku pusing, mulutku pahit, aku sakit apa, Kak?” Terduduk di pinggir kasur, Agra mengurungkan niatnya. Bergerak menekuk kedua kakinya melihat ekspresi Ara yang nampak pucat pasi. “Kau terlalu banyak makan udang dan sepertinya alergi, aku akan menghubungi ibu dulu. Setelah itu kembali lagi ke sini,” Dia yang biasanya berbicara ketus pada Ara berubah lembut hari ini. “Bagaimana?” tanya lelaki itu lagi, Ara terdiam sesaat. Menatap balik ekspresi Agra, “Kakak tidak ada pergi kemana-mana lagi ‘kan?” Dengan polos bertanya. Tertegun sekilas, untuk pertama kalinya setelah mereka bertemu Ara melihat senyuman tipis di wajah sang kakak. “Tentu saja.” Apa karena dia sakit, sikap Agra berubah begitu lembut. “Kembalilah tidur, akan kubuatkan bubur dan ambilkan obat sekalian.” Berdiri dan kembali membaringkan tubuh Ara. Semua sikap yang lembut, tangan hangat menyentuh keningnya beberapa kali. “Mm, jangan lama-lama,” rengeknya terakhir kali. Percakapan yang cukup panjang untuk mereka berdua. Tidak ada saling ejek, balasan ketus dan tatapan dingin. Agra hanya mengangguk singkat. Berjalan keluar dari kamar Ara. Hari itu, karena ayah dan ibu mereka kebetulan sedang berada di luar kota. Butuh waktu beberapa jam bagi mereka untuk pulang ke rumah. Pada akhirnya hingga malam menjelang, Agra duduk di samping Ara. Memperhatikan bagaimana gadis itu nampak tertidur pulas, sesekali bergumam dan mengeluarkan keringat akibat panas tadi siang. Tangan besar lelaki itu beberapa kali mengusap kening Ara dengan handuk. Tidak ada niat untuk bangkit dan pergi, bahkan hingga kedua orangtua mereka pulang. Agra masih tetap di sana menjaga Ara. Saat gadis itu bangun di pagi hari. Hanya ada kursi kosong yang tergeser cukup jauh dari area meja belajarnya. Kursi yang tepat ada di samping tempat tidur sang Cassie. Flashback Off *** Handphone Ara berdering tiba-tiba, tepat di atas meja makan. Pandangan kedua orang di depan sana langsung tertuju padanya. Ada satu nama tertera di panggilan tersebut, Leon Angkasa Jaya. Kedua manik Ara langsung melotot. ‘Kak Leon?!’ Ada angin apa ketua komite di SMA-nya dulu tiba-tiba menghubungi Ara? Nyaris tersedak, Ara langsung menyelesaikan kegiatan kunyah mengunyahnya. Menelan makanan cepat, “A-aku sudah selesai, makanannya enak sekali Kak Merry.” Melihat tingkah Ara, gadis itu bergegas mengambil handphone dengan wajah memerah panas. Baru saja dia berniat pergi, “Mau kemana?” Agra langsung menghentikan. Ara mengerjap polos, “Ya—ke kamar, aku sudah selesai makan,” jawabnya singkat. “Duduk dan selesaikan makanmu. Piringmu masih berisi makanan,” Tegas dan dingin, Ara melihat piringnya sendiri. Hanya tersisa beberapa makanan kecil saja, “Aku cuci piringnya dulu ya,” Dia berniat mencuci piring. “Duduk. Merry sudah memasak untukmu, dan sekarang kau mau meninggalkan tamu ke kamar?” dengus sang Dhanurendra lagi. “Apa ayah dan ibu tidak pernah mengajarkanmu sopan santun?” tepat mengenai Ara telak. Merry menatap sang kekasih bingung, “Tidak apa-apa, Ren. Ada yang menghubungi Ara, biarkan dia menjawab panggilan dulu, itu privasinya.” bela wanita itu cepat. “Tidak, dia harus diajarkan sopan santun jika ingin tinggal di sini.” Menatap Ara tajam, “Letakkan handphonemu dan duduk lagi. Panggilan itu bisa dilakukan nanti,” Menekuk wajah kesal, ucapan Agra memang ada benarnya. Tapi memarahi Ara di depan tamu? Apa tidak ada hal yang lebih memalukan dibandingkan itu! “Tsk, iya—iya!” Pada akhirnya gadis itu mematikan panggilan Leon dan kembali duduk. Rasa kesalnya pada Agra kian hari makin menumpuk. Bagaimana bisa Ara betah tinggal bersama lelaki dingin seperti Agra selama bertahun-tahun nantinya?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN