Tubuh mereka berdiri saling berhadapan, tidak ada suara selama beberapa detik karena Merry yang masuk ke dalam kamar dan memilih untuk membersihkan ruangan. Wanita cantik itu bahkan sesekali memanggil Agra tapi tidak mendapat jawaban.
“Tsk, fokus sekali dia mandi,” celetuk wanita itu sekilas, “Bajunya masih tergeletak seperti ini,” Kali ini Merry berjalan menuju area lemari. Suaranya makin dekat, Ara reflek memegang lengan Agra. Gugup tentu saja,
Agra tiba-tiba menarik tangannya dan membuat mereka sembunyi seperti sekarang. Kalau sampai Merry melihat keduanya ada di dalam lemari, entah apa yang ada di pikiran wanita itu.
“Aku harus segera memberitahu mengenai rapat besok, apa Ara sudah tidur ya? Aku sudah memasak cukup banyak malam ini,” berceloteh sendiri.
Nama Ara disebut berulang kali, gadis itu makin gugup. Di dalam lemari yang gelap, hanya sedikit pantulan cahaya masuk dari celah pintu lemari. Samar-samar melihat sosok lelaki yang kini nampak bertelanjang d**a di depannya.
Tinggi mereka sangat berbeda jauh, Ara hampir setara d**a Agra. Beberapa kali mengerjap, antara aroma pakaian dan parfum khas Agra menguar cukup keras di dalam lemari.
“Jangan berpikir yang aneh-aneh,” Tiba-tiba Agra berceletuk singkat. Alis Ara tertekuk kesal, “Siapa yang mikir aneh-aneh?” Hampir saja dia berteriak, reflek melepas genggaman di lengan Agra.
Ara cukup risih karena dia masih menggunakan pakaian handuk, untung saja gadis itu sigap menggunakan pakaian dalamnya tadi. Jadi tidak terlalu dingin, tapi tetap saja.
“Kakak saja yang suka mikir aneh-aneh,” balas Ara berani. Kali ini menengadah dan menatap ekspresi lelaki itu. Siapa sangka sang Dhanurendra kini menatapnya balik, dengan ekspresi malas dan dingin. Tanpa membalas ucapan Ara lagi,
Mereka terdiam selama beberapa detik, Ara reflek menundukkan wajah, posisi mereka begitu dekat. Dia semakin gugup, apa karena Merry ada di luar sana jadi Agra tidak berani bicara lebih banyak?
‘Astaga, cepatlah pergi!’ batin Ara meronta.
Semua doa Ara seolah dibatalkan begitu saja saat handphone milik Agra yang masih ada di lemari sebelah berdering cukup keras.
Sontak keduanya menegang kaget, “s**t,” gerutu Agra tipis.
“Handphonemu bunyi, Ren!” teriak Merry memberitahu tapi tak kunjung ada jawaban sementara handphone terus berdering.
“Itu handphone Kakak berisik!” bisik Ara kesal, gadis itu berjengit kaget, reflek mendekatkan tubuh ke Agra saat mendengar suara langkah Merry mendekat. “Ahk, astaga!” bisiknya lagi.
Sementara Agra tidak tahu harus melakukan apa, karena situasi mereka sekarang benar-benar aneh. “Aku saja yang angkat panggilannya,” tukas Merry, berjalan mendekat.
Tak ayal detak jantung kedua orang itu terdengar begitu keras. Kalau Merry sampai salah buka pintu bisa-bisa dia salah paham. Ara tidak mau itu!
Apalagi dia sedang pakai baju seperti ini! Beberapa detik penuh keheningan, “Suaranya dari sini,” Siapa sangka Merry langsung tahu dimana letak handphone itu.
Membuka pintu sebelah lemari, napas Ara dan Agra terhenti sejenak. Mendesah kompak, “Kebiasaan sekali,”
“Halo,” Merry nampak mengangkat panggilan dan menutup pintu lemari lagi. “Baik akan saya sampaikan, kebetulan tuan Agra sedang ada di luar ruangan sekarang. Baik, terimakasih.”
Panggilan singkat itu berakhir, “Hh, apa dia benar-benar tidak mendengar apapun di dalam sana?” celetuk Merry bingung. “Ren!” panggil wanita itu lagi.
Tak ada jawaban. “Hh, astaga,” Menggeleng sekilas, Merry menyerah. “Aku tunggu di luar saja,” ucapnya sembari berjalan keluar ruangan.
Saat pintu tertutup, ruangan kembali hening. Beberapa detik menunggu, Agra memastikan kondisi di luar aman. Barulah laki-laki itu bergerak membuka lemari,
Cahaya lampu langsung menyambut mereka, Agra keluar lebih dulu. Sementara Ara mengikuti, dengan napas terengah lega, berniat turun dari lemari. Salah satu kaki Ara tak sengaja menginjak selimut besar yang melilit tubuhnya tadi.
“Ahk!” Nyaris terjatuh, untuk kesekian kali Agra kembali sigap menolong. Menabrak d**a bidang sang Dhanurendra,
“Kau ini punya hobby jatuh sembarangan ya?” tukas Agra dingin.
Reflek menepuk d**a Agra kesal, “Siapa juga yang mau jatuh!” balas gadis itu singkat. Ara tidak sadar kalau handuk berbentuk dress yang sedang Ia pakai ternyata nyaris melorot setengah karena insiden di dalam lemari tadi.
Tali bra pun kelihatan tanpa Ia sadari, berdiri di depan Agra dengan rambut tergerai. Gadis itu menatap polos Agra, masih dengan tatapan kesal.
Tali dress handuk yang Ia gunakan pun nyaris lepas, mungkin hanya Agra yang sadar. Lelaki itu mendesah panjang, “Perbaiki pakaianmu dulu,” tukas Agra singkat. Berjalan menjauhi Ara.
“Aku tidak tahu apa alasanmu datang ke kamarku, tapi bukannya semua pelayan sudah memberitahu untuk tidak masuk ke sini sembarangan. Apa mereka lupa?” Masih dengan nada suara yang dingin.
Ara bergegas merapikan pakaiannya, sedikit malu karena nyaris memperlihatkan tali bra-nya. “I-itu aku hanya tidak sengaja masuk ke sini,” jawabnya sekilas.
“Tak sengaja? Kau tidak bisa membedakan mana kamarku dan kamarmu? Bukannya sudah jelas,” dengus Agra lagi. Lelaki itu selalu bicara sangat ketus padanya, Ara heran.
“Lain kali berpikirlah sebelum bertindak.” Semakin ketus, apa Agra mengira kalau Ara akan mengambil barang lelaki itu tanpa izin.
Menekuk wajahnya, “Kakak pikir aku ini pencuri?” bisik gadis itu tanpa sadar. Berdiri menatap berani Agra. “Apa?”
Dengan kedua tangan terkepal, “Hanya karena dulu aku sempat memergoki Kakak membawa perempuan ke kamar, bukan berarti Kakak bisa selamanya bersikap dingin seperti itu ‘kan?” Kembali membahas masalah itu.
Alis Agra ikut tertekuk, “Kenapa kau selalu membahas masalah itu?”
“Sudah kubilang aku tidak sengaja masuk ke sini, jadi Kakak jangan berpikir yang aneh-aneh.” Sekilas Ara mendengus, tidak bisa menahan amarahnya. “Lagipula sampai kapan pun aku tidak akan pernah tertarik dengan kehidupan Kakak,” Mulai kesal dengan sikap lelaki itu.
Memperbaiki pakaiannya lagi, “Aku ke sini karena salah mengira ini kamarku, aku tidak mau mengambil barang-barang Kakak.”
“Mau Kakak ajak seratus wanita masuk ke kamar ini, menginap, tidur bersama entah apapun itu. Aku tidak peduli.” Berujar sinis, “Aku ada di sini karena ayah dan ibu yang memintaku tinggal, bukan karena aku mau tinggal bersama Kakak. Paham ‘kan?” Berbalik hendak pergi dari kamar ini.
“Katakan sekali lagi,”
Belum selesai Ara merespon, salah satu tangan besar itu tiba-tiba menarik tubuhnya kembali. Berbalik menatap tubuh tegap sang Dhanurendra.
“Kau tidak pernah tertarik denganku sama sekali?”
Alis Ara tertekuk heran, “Ya, kenapa memangnya? Akh!” Tubuhnya tertarik lebih mendekat, sekilas Ara menengadah. Melihat ekspresi Agra yang begitu sulit Ia tebak. Lelaki itu nampak dingin, kedua manik abu lekat menatapnya,
Satu hal yang tidak bisa Ara tebak selanjutnya, bagaimana sebuah senyuman miris tercetak di wajah tampan lelaki itu.
“Jadi selama ini hanya aku saja yang merasakannya,” Terdengar tipis namun masih bisa Ara dengar, sekilas namun cukup jelas.
Kedua manik Ara mengerjap polos, “Kakak, bilang apa?”
Seolah tersentak, Agra kembali sadar. Lelaki itu mendesah panjang, kali ini reflek mengusap wajahnya. Seperti sesuatu yang berat sedang menimpa sang kakak. Tekanan demi tekanan apa? Ara tidak paham.
“Lupakan saja,” Melepas genggamannya, dan berbalik pergi. Selalu seperti ini, setiap kali Ara mengatakan sesuatu, Agra akan menepis dan berpura-pura tidak peduli.
Apa sekarang akan begini lagi? “Tunggu dulu,” Bergerak cepat dan menggenggam tangan Agra balik. “Setidaknya aku ingin tahu apa arti ucapan Kakak tadi,” tukasnya cepat.
“Kau tidak perlu tahu.” Menepis tangan Ara cukup kuat. “Pergilah dari sini, Merry akan menginap hari ini. Aku tidak mau membuatnya berpikir aneh-aneh,” Saat mendengar ucapan terakhir Agra ada satu hal aneh yang membuat perasaan Ara berdenyut sakit.
Penolakan? Mana mungkin.
“Dia kekasih Kakak?”
“Ya.”
Berdiri menatap tubuh tegap Agra, “Sejauh apa hubungan kalian sampai bisa memperbolehkan kak Merry menginap?”
“Kau tidak perlu tahu.”
Antara kesal dan sedikit sakit. Ara merengut tak suka, “Pergilah.” Agra kembali mengusirnya. “Jangan pernah masuk ke sini lagi tanpa seizinku, paham?”
“Kecuali kak Merry, siapapun tidak boleh masuk ke sini?”
“Tentu saja. Dia kekasihku.”
Padahal mereka kakak beradik ‘kan? Tapi kenapa Agra begitu membencinya, bahkan jika dibandingkan orang asing, lelaki itu justru melarang Ara yang berstatus sebagai adiknya untuk masuk ke sini.
Kenapa rasanya kesal sekali?