“Hai, bagaimana kabarmu?”
Ada angin topan apa tiba-tiba seorang ketua komite yang sangat terkenal dulu di sekolahnya menelpon. Ara tidak ingat kalau sempat berkenalan dekat dengan Leon Angkasa Jaya. Mengingat betapa banyaknya perempuan yang biasa menempel pada lelaki itu.
Sekarang setelah lulus dan berpisah dengan tujuan masing-masing Leon justru menghubungi. Bahkan mengambil inisiatif lebih awal.
Ara tidak tahu harus menjawab apa. Akhirnya setelah hampir dua puluh menit duduk di ruang makan dan sedikit berbincang dengan sang kakak dan kekasihnya. Ara bisa kembali ke kamarnya. Yah, meskipun dia masih merasakan tatapan tajam Agra tadi,
Ah, kakaknya itu memang terlalu jutek!
“Mm, lagi diam saja. Ngomong-ngomong darimana kau tahu nomor teleponku? Bukannya di sana masih pagi ya?” tanya Ara tanpa basa-basi. Dia tidak mau berharap justru lebih ke arah curiga. Jangan-jangan Leon menghubungi Ara karena ada maunya.
Suara kekeh kecil terdengar diseberang sana, “Kau penasaran?”
Menaikkan alis bingung. Ara perlahan berbaring di tempat tidurnya. Sedikit menguap karena kembali lelah, “Hoahm, tentu saja,” tukasnya cepat. “Bagaimana seorang Leon Angkasa Jaya menghubungiku. Kita bahkan tidak pernah berbicara lebih dari lima puluh kosakata sampai hari terakhir sekolah.” lanjut gadis itu santai.
Leon kembali tertawa, “Aku tak sengaja mengecek data profil muridmu,” jawab lelaki itu singkat. Ara melongo, oke dia semakin curiga. “Kau mencurigakan.” bisiknya was-was. Jangan-jangan Leon ini seorang penguntit-
Semakin keras, pikiran dan perkataan polos Ara ternyata sanggup membuat lelaki itu makin tertawa. Lucu sekali, “Aku hanya bercanda. Kedua sahabatmu yang memberikan nomor ini secara cuma-cuma padahal aku hanya iseng bertanya,” Satu jawaban Leon sanggup membuat Ara kesal.
Bukan pada Leon tapi pada dua sahabatnya yang dengan mudah memberikan nomor gadis itu pada sembarang orang. Yah, walaupun orang itu ketua komite yang tampan dan mempesona, tapi tetap saja ‘kan?! Itu privasi!
“Mereka memberikanmu secara cuma-cuma?” Suaranya berubah berat. “Tsk, matikan saja, hapus nomorku dan jangan hubungi aku lagi.” Tanpa basa-basi hendak mematikan panggilan.
“Ahaha, maaf-maaf, aku yang memohon pada mereka berdua untuk memberikan nomormu. Tentu saja itu bukan hal mudah,” Kembali mengoreksi kalimatnya, seolah puas dengan reaksi Ara. Sang Casie mendengus kesal, “Kau suka sekali mempermainkan orang ya?”
“Aku hanya melakukan ini pada orang-orang tertentu.” jawab Leon lembut. “Maaf menghubungimu malam-malam. Aku hanya ingin memastikan kalau ini benar nomormu, Arabella.” Memanggil nama Ara dengan suara bass itu cukup bisa membuat sang Casie luluh.
Ya, siapa yang tidak luluh?! Suaranya berat bass menenangkan euy!
“Ya, sekarang sudah benar ‘kan? Lalu ada urusan apa menghubungiku? Apa aku meninggalkan sesuatu di sekolah, atau menunggak biaya bangunan?” tanya Ara asal.
“Tidak ada.”
“Ha?”
“Aku dengar-dengar kau kuliah di Amerika sekarang, apa sudah sampai di sana?” Mengalihkan pertanyaan. Ara menekuk alis bingung, “Sudah, hari ini aku baru sampai.” jawabnya singkat.
“Kebetulan aku juga mengambil studi di sana, masih ingat ‘kan beberapa bulan lalu kita bertemu di ruang guru? Kau mengambil formulir yang sama denganku.”
Kali ini Ara terdiam meresapi perkataan Leon baik-baik. Barulah dia ingat, “Ahk! Aku ingat, kau juga sempat mengambil formulir data perpindahan ke luar negeri.”
“Bingo.”
Tidak menyangka kalau ternyata tujuan negara Leon sama dengannya. Ara cukup kaget, “Aku mengambil di Universita lain, tapi cukup dekat dengan area Universitasmu. Dua hari lagi aku berangkat.” lanjut Leon.
Siapa sangka pembicaraan mereka berlanjut cukup lama. Ara yang awalnya mengira kalau Leon mencurigakan pun mulai luluh. Laki-laki itu mengambil kelas bisnis khusus mengingat keluarganya memiliki perusahaan sama seperti Ara.
“Kalau aku sudah sampai di sana. Apa boleh kita bertemu?” Tiba-tiba bertanya seperti itu. Ara mengerjap bingung, “Bertemu? Dimana? Aku tidak tahu apa-apa tentang tempat di sini.” beo sang Casie.
“Nanti akan kuatur tempatnya. Kau tidak perlu khawatir atau curiga.” tambah Leon kembali. “Mungkin memang terkesan aneh karena aku tiba-tiba menghubungimu padahal dulu kita tidak pernah berbicara sama sekali.” lanjut lelaki itu seolah menjawab keraguan Ara.
Ara mengangguk tanpa sadar, “Tapi aku pernah berhutang budi padamu dan tidak akan melupakan itu.”
Berhutang budi, “Ha? Memangnya aku pernah memberikanmu apa?” Dia sama sekali tidak ingat.
“Nanti akan kujelaskan, tapi yang pasti. Jujur saja setelah memberanikan selama hampir dua tahun lamanya. Aku tidak bisa diam saja, sekarang giliranku yang bergerak,” Ara mengerjap polos, dia mulai tidak paham dengan ucapan Leon. “Apa maksudmu?”
Seolah bisa membayangkan senyuman lelaki itu diseberang sana. “Aku tertarik denganmu, Arabella. Jika memang Tuhan memberikanku kesempatan, aku ingin memanfaatkannya sebaik mungkin di sana,” Kata-kata yang lembut teralun.
Ara semakin menganga, tubuhnya membeku bahkan kedua pipi mulai memerah. Mulai paham dengan perkataan lelaki itu.
“Akan kukabari lagi jika aku sudah sampai di sana, good night Arabella. Have a nice dream.” Belum sempat merespon perkataan Leon. Lelaki itu sudah lebih dulu mematikan panggilan.
***
Ara hanya bisa membeku, meresapi perkataan Leon satu persatu. Kedua manik menatap plafon kamar, masih tidak percaya. Seorang ketua komite yang tampan dan terkenal seperti Leon Angkasa tertarik dengannya?!
Ini gila!
Baru sama di sini dan Ara sudah dapat berita spot jantung! Wajah gadis itu memerah panas, “Astaga. Aku pasti bermimpi.” bisiknya tak percaya. Memeluk handphone cukup erat.
“Leon tertarik denganku?” Mengulang kata-katanya, “Dan dia mau kuliah di sini juga?” Kebetulan apa ini? Tidak bisa berkata-kata apa lagi. Astaga.
“Ahk! Panas!”
Padahal ruangannya sudah ada AC satu buah dan cukup dingin tapi kenapa Ara tetap kepanasan?! Tanpa basa-basi menyingkap selimut di kakinya, gadis itu bangkit seketika. “Aku butuh udara segar,” Mengibaskan wajahnya yang panas.
Ia bergegas menuju area balkon, membuka dua pintu kaca yang tertutupi oleh tirai besar. Dalam satu kali gerakan, udara malam langsung menerpa. Hari ini angin tidak begitu kencang, tapi menyejukkan.
Apartement juga tidak begitu tinggi, gadis itu berjalan perlahan menuju relling besi. Menutup kedua mata sekilas, merasakan angin mengenai helai rambut dan tubuh. Satu tarikan napas, panas tubuhnya perlahan hilang.
Membuka manik kembali, pemandangan kota Illinois malam ini sangat indah. Lampu kota dan beberapa bangunan yang tidak pernah mati menambah kerlap dunia malam.
“Sepertinya aku akan betah di sini,” bisik Ara lagi. Gadis itu tersenyum polos. Baru saja dia berniat bertopang pada relling besi.
“Apa yang kau lakukan malam-malam di luar?” Suara berat yang cukup jelas mengalihkan perhatian Ara. Dia mengenal suara itu, menoleh malas. ‘Hh, kenapa bisa kebetulan seperti ini sih?’ batin sang Casie malas.
“Mencari udara segar.” jawab Ara singkat, saat manik gadis itu menoleh. Dia melihat jelas pemandangan seorang Agra Dhanurendra nampak menggunakan pakaian tidur santai, kemeja dengan kancing terbuka hampir setengah. Rambut acak-acakan, dan celana panjang.
Bahkan gadis itu bisa melihat jelas sebuah lipstick merah tercetak di leher sang kakak. Pikiran Ara langsung melanglangbuana. ‘Astaga, padahal baru dua puluh menit mereka masuk kamar dan kondisinya sudah sekacau itu?!’ Tidak bisa menyembunyikan semburat merah di pipi.
“Kau berpikiran aneh lagi?” Seolah bisa menebak isi otak Ara. “A-apa?! Siapa yang berpikir aneh?!” Meneguk ludah tanpa sadar. Mencoba menatap tajam sang kakak, “Kakak sendiri sedang apa di sana? Tidur sana, jangan bergadang.” usir Ara cepat.
Gadis itu mendengus singkat, berusaha kembali fokus. “Anak kecil sepertimu memberitahu orang dewasa,” Agra malah mengejek. “Aku bukan anak kecil! Usiaku sudah kepala dua, ingat?!” tukasnya kesal.
“Siapa yang menghubungimu tadi?” Tiba-tiba arah pembicaraan berbelok. Ara mengerjap bingung, “Memangnya Kakak peduli aku mau menghubungi siapa saja?” dengus gadis itu singkat.
Tidak menyangka kalau kedua manik Agra justru berbalik memandangnya lekat. “Ya.” Satu jawaban sangat singkat membuat Ara bungkam.
Gadis itu terbatuk sesaat, “Mm, hanya teman sekolah,” Singkat dan padat. “Laki-laki atau perempuan?”
Menekuk alis heran, “La-laki-laki,” Ara langsung mengerti arti rasa penasaran Agra. “Ahk! Jangan bilang Kakak mau beritahu ayah dan ibu tentang itu?!”
“Laki-laki? Apa laki-laki yang dulu hampir memukulmu itu?” Suara Agra berubah berat, pandangannya semakin dingin. Ara menggeleng cepat, “Bukan. Ini laki-laki lain. Tenang saja, Kak.” Mengibaskan tangan berulang kali.
“Kalau laki-laki yang itu sepertinya bahkan sebelum aku sempat bicara saja dia sudah ketakutan melihatku.” Ara membayangkan kembali bagaimana pucat wajah mantan kekasihnya dulu setelah berhadapan dengan Agra di rumah. Dia yang awalnya ingin mengancam Ara malah balik ketakutan melihat gadis itu.
Pandangan Ara menatap ke arah pemandangan kota, “Kebetulan dia ingin mengambil kuliah di negara ini juga, ketua komite yang cukup terkenal di sekolahku dulu. Well, nanti dia mau menghubungi jika sudah sampai ke sini.” Sedikit tersenyum.
“Yah siapa tahu dia yang jadi kekasihku selanjutnya. Kakak, tahu wajahnya lumayan tampan! Bahkan sempat menyambet sebagai idola di sekolah,” Mulai semangat bercerita, “Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba menghubungiku-” Tanpa sadar menatap ke arah Agra, suara Ara tercekat saat melihat ekspresi laki-laki itu.
Tidak ada senyuman, hanya tatap sedingin es tanpa ekspresi. Tubuh Ara menegang, mereka berdua hanya diam tanpa suara.
Mendehem tipis, baru saja dia berniat melanjutkan pembicaraan.
“Ren, kau belum tidur?” Suara dari dalam kamar menyentakkan gadis itu. Sosok Merry keluar dalam balutan baju dress tidurnya. Rambut tergerai, lekukan tubuh nampak jelas. Ara langsung mati kutu,
‘Mereka habis ngapain?!’ batinnya tanpa sadar. Merry masih belum melihat Ara, sampai wanita itu menoleh ke samping. "Ah, Ara ada di luar juga? Belum tidur? Kau pasti lelah karena perjalanan tadi,” ucap Merry pelan.
Jika dibandingkan baju tidur Ara yang lengkap dengan motif beruang putih, tentu berbeda jauh. “Aku ingin cari udara segar, Kak.” jawab Ara singkat, tersenyum kikuk.
“Ren, besok kau ada rapat penting pagi-pagi. Jangan bergadang, oke?” Pandangan Merry tertuju pada Agra lagi. Menyentuh pundak dan pipi lelaki itu sekilas.
“Hn, aku hanya belum mengantuk.”
Pembicaraan dua kekasih. Ara sudah tidak dapat privasinya lagi di sini. ‘Kurasa sudah cukup cari anginnya,’ batin sang Casie cepat. “Kalau begitu aku kembali ke kamar duluan. Selamat malam, Kak.” Memberi salam terakhir.
Sebelum dia masuk ke dalam kamar. “Kau tahu ‘kan, kalau aku tidak akan semudah itu memberikanmu izin untuk bertemu orang asing sembarangan?” Agra bersuara kembali. Kali ini dengan nada yang berat.
Tubuh Ara terhenti, menekuk wajah tak paham. “Apa maksud, Kakak?” Padahal dia berniat menyelesaikan hari ini tanpa bertengkar lagi dengan laki-laki itu. “Dia bukan orang asing, Leon itu temanku.” tegas Ara.
“Bagiku dia hanya orang asing.”
“Ya, karena Kakak tidak pernah berkenalan dengannya!” jawab Ara cepat. “Kakak tidak bisa seenaknya mengaturku di sini, aku juga punya kehidupan sendiri.” lanjutnya.
“Kau tinggal di sini, jadi turuti peraturan tempat ini. Ayah dan ibu memberikan tugas untuk menjagamu.”
“Tapi bukan berarti Kakak bisa mengatur gerak-gerikku!”
Marry yang melihat pertengkaran dua orang itu mulai bingung. “Re-Ren sudahlah,”
“Arabella Casie Tanuwidja, selama kau tinggal di negara ini. Semua tanggung jawabmu ada di tanganku. Kuharap kau paham itu.” Memberi jawaban mutlak. “Semua.” Tekanan terakhir.
Ara kesal, tanpa basa-basi gadis itu mengambil sandal tidurnya. Membuang cukup kencang ke arah Agra. “Kau benar-benar Kakak paling jahat sedunia!” Mengenai tubuh lelaki itu.
Ara bergegas pergi dari balkon. Menahan emosi dan amarahnya. Dia tidak peduli lagi dengan manusia jahat itu!