BAB 8 - Maksud Tersembunyi

1671 Kata
Makan siang super mewah sudah langsung tersaji di depan mata Ara. Padahal dia baru saja shock saat Samuel mengajaknya ke tempat mahal hanya untuk sekedar beli cemilan saja. Satu ruangan VVIP yang hanya berisi pelayan siap siaga, Samuel, Merry, dia dan Agra. Baik Merry dan Samuel memang selalu mengikuti kemana pun Agra pergi. Apalagi Merry, Ara sampai tidak berani menatap wajah wanita itu. Dia pasti marah. Berada di gedung tinggi dengan pemandangan kota Illinois dibalik kaca besar, jujur ini pertama kalinya Ara makan siang seheboh ini, sekaya apapun sang ayah. Mereka nyaris jarang pergi tempat-tempat seperti ini, karena ibunya lebih senang memasak di rumah dan tidak terlalu suka menghamburkan uang untuk hal-hal seperti ini. Berbeda dengan Agra, “Kak, kita serius makan di sini?” tanya Ara ragu, kedua manik polosnya mengintai seluruh area. Meja makan bundar yang berisikan makanan pembuka nampak menggiurkan. Agra duduk di depannya dengan wajah santai, “Tentu saja, kau tidak suka? Perlu kucarikan tempat lain lagi?” tukas lelaki itu singkat. Menggeleng cepat, “Ini terlalu berlebihan, padahal kita hanya makan siang saja. Mcdonuld sudah cukup kok!” sanggah Ara, melihat sang kakak mendesah panjang. “Hh, pantas saja pikiranmu isinya micin semua selama di Indonesia. Kesukaanmu masih sama seperti dulu, makanan cepat saji terus,” Mengejek adiknya sarkas. Ekspresi Ara berubah, “Ha, apa?! Jangan mengejek makanan kesukaanku ya! Mcdonuld itu enak!” “Ya, ya, ya, sekarang jangan berisik dan nikmati makananmu.” Menanggapi ucapan Ara dengan santai. Sang Casie makin kesal, mengembungkan pipi kesal. Tangannya bergerak cepat mengambil beberapa makanan pembuka. Saat Agra berniat mengambil beberapa bruschetta, roti kering yang berisikan potongan tomat, daging dan keju leleh. Ara langsung mengambil lebih banyak, sembari menatap tajam Agra. Sementara sang kakak hanya mendengus, Ara menatap Merry yang masih berdiri di belakang Agra. “Kak, itu sekertaris kakak tidak diajak makan juga?” bisik sang Casie sepelan mungkin. “Tidak perlu.” jawab Agra super singkat. Tubuh Ara menegang saat pandangannya bertemu Merry, wanita cantik langsing bertubuh bak model. Sekilas Merry nampak diam namun beberapa detik kemudian dia tersenyum tipis. Oke, Ara kikuk. “Samuel, untuk semua pakaian Ara sudah dibawa ke apartku ‘kan?” tanya Agra kembali memastikan. “Sudah tuan, saya juga sudah menyiapkan pelayan untuk mengecek dan memastikan seluruh kamar nona Ara selesai hari ini.” Tidak ada pembicaraan yang panjang setelah itu, Ara makan dalam diam. Setelah bertahun-tahun tidak bertemu ditambah lagi Agra tiba-tiba pergi saat hubungan mereka cukup buruk, jadi topik apa yang harus Ara buka? Ara bukan tipe gadis yang bisa diam dalam waktu lama, bibirnya gatal! “Mm, bagaimana kabar Kakak di sini?” “Baik.” Singkat padat dan jelas. Sang Casie setengah melongo. “Apa Kakak tidak ada keinginan untuk kembali ke Indonesia? Ayah dan ibu pasti senang mendengarnya,” tukas Ara lagi. Menggeleng singkat, “Selama pekerjaanku masih belum selesai di sini, aku tidak boleh pulang.” “Lho, kenapa? ‘Kan tidak masalah kalau sekali-kali pulang, mereka merindukanmu,” Menatap Agra lekat, lelaki itu masih fokus menyantap makanannya. “Termasuk aku, yah walaupun Kakak selalu menolak panggilanku, tapi aku rindu bertengkar dengan Kakak,” ucap sang Casie polos. Dengan kedua manik mengerjap sekilas, gerakan Agra terhenti. Pandangan lelaki itu menatapnya balik. Tanpa ekspresi dan kedua manik abu tajam, “Kau merindukanku?” beo sang Dhanurendra. Membeku, Ara meneguk ludahnya sendiri. Reflek menggaruk pipi yang tak gatal, “Ya, begitulah. Wajar ‘kan seorang adik rindu dengan kakaknya setelah sekian lama tak bertemu?” Satu pernyataan itu mengubah ekspresi Agra sepenuhnya. Lelaki itu hanya mendengus singkat. Mengalihkan pandangan, “Kau benar.” “Sepertinya kau lihat, di sini pekerjaanku cukup padat. Jadi masalah kembali ke Indonesia mungkin akan susah. Lagipula sekarang kau sudah ada di Illinois, jadi tidak ada alasan lagi menanyakan itu padaku,” Entah perasaan Ara saja, nada suara Agra berubah jadi lebih dingin. ‘Mungkin hanya perasaanku saja,’ batinnya. Tiba-tiba teringat, “Oh, iya, Kak.” Perlahan Ara mendekatkan tubuhnya ke meja, “Hampir saja aku lupa. Apa benar tidak masalah kalau aku tinggal bersama Kakak? Bukannya pacar Kakak tinggal di sana juga?” Satu pertanyaan polos terlontar begitu saja. “Aku tidak mau jadi obat nyamuk untuk kalian berdua.” lanjut Ara lagi. Hal yang selanjutnya tidak Ara kira, Merry yang sejak tadi berdiri anggun di belakang Agra tiba-tiba terbatuk beberapa kali. Apa dia salah bicara? “Maaf.” ucap wanita itu pelan. Agra mendesah kembali, “Kau tidak usah khawatir mengenai itu. Dia tidak tinggal, melainkan kadang menginap di sana, itu saja.” tegas sang Dhanurendra tanpa ragu. Lagi-lagi Ara tak sengaja melihat ekspresi Merry berubah bingung, wanita itu nampak tidak setuju dengan ucapan Agra. ‘Oh, tunggu dulu,’ Otak gadis itu mendadak pintar tiba-tiba. Kalau masalah seperti ini saja dia cukup peka. Melihat ekspresi Merry dan sikap wanita itu. Ara perlahan paham. ‘Jangan bilang kekasih kak Agra adalah sekertarisnya sendiri?!’ Waduh. Tertawa kikuk, “A-ah, begitu ya. Tapi kalau misalnya Kakak berubah pikiran, Kakak hanya perlu carikan aku apartement lain saja tidak masalah kok. Atau kalau perlu cari Apart yang dekat dengan Apart milik Kakak juga bagus,” “Nanti kalau misalnya aku punya teman di kampus, mungkin aku bisa mengajaknya tinggal di sana,” Ucapan Ara terhenti saat melihat ekspresi Agra. “Sudah kubilang, tidak ada kata tinggal sendiri di sini. Jadi jangan pernah membahas itu lagi.” Semakin tegas dan dingin. Alhasil Ara mendumel, “Aku ‘kan bilang mau tinggal bersama teman, bukan sendirian,” bisiknya menahan kesal, kenapa sejak dulu Agra tidak pernah berubah. Selalu ketus, dan dingin. Bahkan tersenyum pun jarang, entah kenapa sepertinya lelaki itu dendam sekali dengan Ara. Apa dia pernah melakukan kesalahan? Hm, ngomong-ngomong tentang kesalahan, begitu Ara ingat kembali dia langsung diam. “Apapun keinginanmu, keputusanku tetap sama. Tidak boleh tinggal sendirian di negara ini, mau dekat ataupun tidak. Paham?” Menegaskan kembali perkataannya. Ara mau tak mau mengangguk malas, “Hh, iya, iya!” Padahal dia sudah membayangkan kalau misal kak Agra berubah pikiran dan mengizinkannya tinggal di Apart terpisah pasti seru. Ara bebas melakukan apapun. Menyantap makanannya dengan lesu, sepanjang makan siang kedua kakak adik itu hanya diam. Ara malas membuka percakapan lagi, dia lelah. *** Makan siang tidak berlangsung lama, mungkin hanya setengah jam lebih. Setelah semua hidangan mereka habiskan. Pikiran Ara masih mengawang, dia ingin mandi air hangat dan tidur selama mungkin hari ini. Karena beberapa hari lagi gadis itu harus masuk kampus. Sedikit lemas mengikuti langkah Agra menuju area lift. Diikuti beberapa pelayan dan Merry. Entah sudah berapa kali dia mendesah lelah. Selesai makan siang, Ara mendadak ngantuk, matanya setengah terbuka bahkan menguap berulang kali. Berjalan pelan saat sampai di area lift, kakinya terasa lemas beberapa detik, kedua manik Ara mengerjap kaget. Tubuhnya oleng begitu saja, tepat di depan sana Agra nampak berdiri tegap, Alis lelaki itu tertekuk, Ia bergerak sigap maju dan langsung menangkap tubuh sang Casie. Kaget tentu saja, menabrak d**a bidang dalam balutan baju kantor, aroma parfum yang familiar menguar perlahan. Kedua lengan besar itu mengukung tubuh Ara, sang Casie reflek menengadah polos. Dia baru saja hampir jatuh gara-gara mengantuk. “Ma-maaf, Kak,” tukasnya pelan, berniat menjauhkan tubuh secepat mungkin. ‘Eh, lho,’ Tapi kok susah ya? Kedua lengan kekar sang Dhanurendra masih memeluknya erat, aroma parfum Agra makin menguar. “Kak?” Entah apa yang ada dalam pikiran polos gadis itu, “Aroma parfum Kakak masih sama seperti dulu ya? Tidak berubah,” ucapnya tanpa sadar. Beberapa detik kemudian Agra yang sadar lebih dulu, bergerak sigap melepas dan menjauhkan tubuh Ara darinya. “Perhatikan langkahmu.” ucapnya ketus? Lah? Alis Ara tertekuk bingung, kenapa suaranya malah tambah dingin? Apa Ara salah bicara? Gadis itu menekuk tak paham. “Ish, ya maaf. Aku lelah tau!” tukasnya tak kalah kesal. Berdiri di samping Agra dengan bibir mengerucut sepanjang hari. Tanpa menyadari semua pandangan yang melihat kedua kakak beradik itu. Terutama Merry, Ia sengaja berdiri di samping Agra. Tak henti menatap sang bos. “Sepertinya kau benci sekali dengan adikmu,” bisik wanita itu pelan. Agra hanya diam, “Aku tidak membencinya,” Menjawab dengan satu kalimat singkat. *** “Samuel, segera antar Ara pulang dan biarkan dia beristirahat hari ini. Aku akan kembali dengan Merry ke kantor,” Sesampainya di lantai bawah, sebelum mereka pergi dari tempat itu Agra tiba-tiba memberi informasi mendadak. Samuel menatap bingung sang bos, “Bukannya anda ingin menghabiskan waktu dengan nona Ara hari ini, Tuan? Lalu bagaimana dengan makan malamnya?” tanya sang pelayan cepat. “Biarkan dia beristirahat hari ini. Untuk masalah makan malam, kau sediakan apa yang dia mau.” Tanpa bantahan memberi perintah. Samuel hanya bisa mengangguk paham. “Baik, Tuan.” Sedikit penasaran kenapa sang bos tiba-tiba berubah pikiran? Apa gara-gara nona Ara sempat terjatuh tadi? Menatap balik Ara, “Kau pulang dengan mereka dan jangan mampir kemana-mana lagi, paham?” Mengingatkan Ara kembali. Sang Casie mendengus kesal, “Iya, aku tahu! Aku bukan anak kecil lagi yang harus diberitahu setiap saat,” Tidak ada niat memperpanjang percakapan mereka. Ara sudah lebih dulu pergi, diikuti dua bodyguardnya dan terakhir Samuel. “Saya permisi lebih dulu, Tuan.” Membiarkan Agra dan Merry berdua. *** Merry menggeleng pelan, “Apa yang membuatmu berubah pikiran? Mendadak sekali, padahal aku sudah memberitahu semua klien untuk membatalkan semua acara hari ini.” gerutu wanita itu. Tidak mengerti dengan jalan pikiran Agra. Berniat menatap sang bos setelah itu pergi dari sana, tapi siapa sangka. “Ahk!” Merry terpekik kaget saat tangan besar itu menarik pergelangan tangannya. Berjalan menuju area yang cukup sepi di restaurant. “Tunggu dulu, Ren. Apa yang kau-mhph!” Tidak sadar mengucap nama panggilan kecil antara mereka berdua, belum selesai bicara, dia langsung merasakan ciuman ganas Agra menyerang bibir. Di sudut area yang sepi, lelaki itu memojokan dan menciumnya tiba-tiba! “Mhnpp,” Tidak bisa melawan, perlahan Merry mulai terbiasa dan membalas ciuman sang kekasih. Apa yang membuat laki-laki itu bertindak seperti ini? Tapi tidak apa, selama yang ada dalam pikiran Agra hanya dia. Lelaki itu tetap menjadi milik sang Fernand, Merryola menyukainya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN