BAB 9 - Situasi Buruk

1860 Kata
Ciuman Agra begitu ganas, dia sendiri bingung kenapa tiba-tiba lelaki itu bertindak nekat! Di tempat umum seperti ini, walaupun Agra sengaja mencari tempat yang tidak terlihat oleh orang lain. Tapi tetap saja, bahaya kalau ada yang melihat. Merry yang biasanya mengambil inisiatif lebih dulu untuk melakukan apapun termasuk ciuman sekarang terkejut. “Mhp,” Bahkan dia tidak dapat kesempatan untuk membalas ciuman sang kekasih, bicara pun susah sekali. Napasnya terengah, detak jantung seperti dipompa berulang kali. Sampai akhirnya dia tidak kuat lagi, seorang Merry yang pintar berciuman sekarang mengaku kalah! “Mhhn—Re-Ren!” Memukul d**a lelaki itu kuat, mendorong sang Dhanurendra menjauh sebelum dia mati di tempat hanya karena alasan sepele. Awalnya Agra tak peduli tapi begitu dia mendengar suara-suara kecil nampak mendekat ke tempat mereka. Barulah dia sadar, tanpa basa-basi menjauhkan tubuhnya. Melihat wajah Merry yang nampak kacau dan memerah, “Ka-kau ini apa-apaan, Ren?!” tukas wanita itu kesal. “Kenapa memangnya? Kau tidak suka?” tanya Agra polos. Sang Fernand semakin kesal, “Ini tempat umum, dan kau tiba-tiba menciumku seperti itu?! Bagaimana kalau ada yang lihat, ha?!” semprotnya lagi. Agra hanya mengendikkan bahu sekilas, “Ya tinggal bilang kalau kita sepasang kekasih yang sedang tidak kuat menahan hasrat, gampang ‘kan?” Dengan dengusan tipis. “Biasanya juga kau suka aku bertindak seperti itu,” lanjut lelaki itu santai. Sekilas menepuk puncak kepala Merry, “Kalau tidak suka aku tak akan melakukan hal itu lagi,” Satu kalimat terakhir Agra sanggup membuat Merry bungkam. “Ya---ya, bukannya tidak suka, tapi ‘kan tempatnya tidak pas! Lagipula kenapa kau tiba-tiba bersikap seliar itu?! Kalau adikmu tiba-tiba balik dan melihat kita bagaimana?!” tanya Merry tanpa sadar. Kali ini Agra terdiam sesaat, mengalihkan pandangan. Tanpa suara berbalik, “Ren!” “Memangnya kenapa kalau dia melihat kita? Buatku tidak masalah,” Dengan suara yang dingin dan ketus, Agra berjalan lebih dulu, tersenyum sinis, “Malah lebih baik kalau dia melihat kita melakukan hal yang lebih jauh dari tadi,” bisiknya sekilas. Samar namun bisa ditangkap Merry, alis wanita itu tertekuk bingung. “Apa maksudmu?” Berjalan di belakang sang kekasih. “Tidak ada.” Tak ada niat menjelaskan lebih rinci, Agra berjalan semakin menjauh. Meninggalkan area privasi tadi dengan segala pikiran kacau yang hampir memutuskan kewarasannya. Dia cukup beruntung karena ada Merry di sini, Kalau tidak ada mungkin saja, ‘Hh, lebih baik tidak kupikirkan,’ batin sang Dhanurendra asal. *** Apartement Elite Roselly – Lantai 30 Well, satu kata yang Ara ucapnya saat dia melihat apartement lantai 30 itu pertama kali. “Keren,” bisiknya polos. Melihat dari luar gedung saja Ara sudah takjub, apalagi saat dia naik ke lantai 30 yang notabene sudah Agra beli untuk dirinya sendiri. Jadi lantai tiga puluh khusus menjadi milik lelaki itu sepenuhnya. Jika kalian tanya apa lantai area apartement itu luas? Tentu saja! Berapa kira-kira Agra membayar jasa sewa apartement ini sebulan ya? Itu yang terlintas kedua kali. Seolah bisa menebak jalan pikiran Ara, Samuel tersenyum tipis. “Tuan Agra sudah membeli lantai 30 Apartement ini secara keseluruhan, jadi beliau tidak perlu lagi membayar jasa sewa perbulan atau pertahun, Nona Ara.” ucap sang butler tiba-tiba. Ara tersentak, menoleh kikuk ke arah lelaki paruh baya itu. “Kau bisa membaca pikiran ya, Samuel?” tanya gadis itu ngeri. Kembali tergelak, Samuel benar-benar terkejut dengan sifat Ara yang ternyata berbanding terbalik Agra. Jika bosnya itu termasuk sosok dingin, irit bicara, ketus dan cenderung bermuka Teflon alias datar. Ara kebalikannya, gadis itu cenderung polos, energik dan gampang terpukau akan sesuatu. Mungkin jika Ara tinggal di sini, suasana di dalam apartement akan berubah menjadi lebih berwarna. Karena hampir semua pelayan yang berada di tempat ini takut dengan Agra. “Saya bisa menebak dari ekspresi, Nona Ara.” jawabnya sopan. Bergerak lebih dulu membuka pintu masuk ke dalam apartement. “Silahkan masuk, Nona Ara.” Kembali menganga saat melihat isi ruangan itu, bahkan rumah mereka pun tidak semewah ini! “Ini benar-benar kak Agra yang beli semua?” bisik Ara, melangkah masuk sembari melihat semua sudut. Beberapa pelayan wanita langsung menyambut gadis itu, dua bodyguard tampan di belakang Ara berakhir menjaga pintu masuk area apartement. “Saya perkenalkan pelayan yang akan mengatur semua sesi kebersihan, supplay makanan, dan keperluan lain.” Tiga orang pelayan wanita di depan Ara menunduk sekilas. Mereka tersenyum ramah, “Mereka akan datang sesuai jadwal kebersihan, pagi hari dan menjelang malam untuk memastikan semua hal di apartement ini lengkap.” Samuel menunjuk ke arah satu orang wanita paruh baya yang bisa Ara tebak sebagai kepala pelayan wanita di sini. “Dia Samantha yang menjadi kepala pelayan, anda bisa bertanya dan meminta apapun padanya. Tidak usah sungkan.” Wanita dengan rambut hitam tergelung rapi, baju pelayan nampak sopan membalut tubuh Samantha. “Senang bertemu anda, Nona Ara.” ucap wanita itu singkat. Yah, walau Ara akui kalau wajah Samantha sedikit agak jutek dan tegas. Tipikal guru galak di sekolahnya dulu. “Samantha ini sangat pasif bahasa Indonesia dan Inggris karena berasal dari keluarga campuran. Jadi Nona Ara tidak perlu takut bertanya padanya.” Ara mengangguk paham. “Mereka berdua Alora dan Trisha yang bertugas di area kebersihan dan supply makanan, serta perlengkapan lain.” Menunjuk ke arah dua pelayan wanita cantik. Satu dengan bercak kemerahan di area hidung, Alora. Satu lagi wanita yang nampak seperti model berambut panjang bergelombang dengan ciri khas lesung pipi, Trisha. “Senang bertemu dengan anda, Nona Ara.” ucap mereka berdua kompak. Samantha mengambil alih tugas Samuel, “Kalau begitu saya perlihatkan kamar yang akan Nona tempati mulai hari ini. Mari ikuti saya,” Mengikuti langkah Samantha. Ara melewati ruang tamu yang sangat besar dilengkapi dengan televisi, rak buku tertata rapi, dan beberapa barang besar lainnya. Ruangan bernuansa elegant dan juga kalem itu yang terlintas pertama kali dalam benak Ara. Samantha menunjukan area dapur, area ruang makan khusus, bahkan area bermain untuk orang dewasa. Maksudnya ada permainan billiard, playstastion lengkap, dilengkapi vending machine berbagai jenis minuman. “Nah, ini kamar tuan Agra. Mohon maaf kalau saya lancing. Tapi saya diberikan pesan oleh tuan kalau anda dilarang masuk sembaranga ke ruangan itu.” Ucap Samantha pelan. Pintu besar berwarna coklat tua sebagai kamar utama. Ara mendengus sinis, “Siapa juga yang mau masuk ke kamarnya,” bisiknya kesal, Ara sudah cukup kapok dengan kejadian di masa lalu. Apalagi sekarang mereka sudah sama sama dewasa jadi setidaknya Ara tahu-lah batas privasi mereka. Daripada tiba-tiba masuk ke kamar dan melihat pemandangan m***m lagi, Ara tidak mau! “Oke,” jawabnya paham. “Nah dan ini kamar Nona Ara.” Satu pintu ruangan yang cukup besar langsung terbuka. “Jika ada yang kurang berkenan dengan desain kamarnya anda bisa katakan pada saya. Kita akan mengganti secepat mungkin.” Kamarnya saja seluas ini! Mewah sekali, Ara sampai ternganga. Satu tempat tidur queen size, lemari besar berwarna krim, nuansa ruangan yang hidup dengan warna krim dan kecoklatan hangat. Ara langsung suka! “Tidak perlu, aku suka ruangan ini!” Bahkan sudah dilengkapi dengan area belajar khusus untuknya, televisi besar, dan sebuah jendela besar yang kini tersibak manis. Tirai yang simple namun terkesan mewah. Ara langsung berlari ke dalam kamar. Menuju area balkon dan membuka dua pintu besar itu. “Kamarku dapat balkon juga!” Pemandangan perkotaan hijau menyambut gadis itu. Suasana hatinya membaik seketika. Kalau seperti ini sih Ara betah ada di kamar terus. *** “Segarnya,” Pukul sembilan malam, setelah tadi siang selama beberapa jam asik memandangi perkotaan dari area balkon. Ara akhirnya tumbang, dia tepar dan tidur hingga pukul delapan malam. Untung saja alarm gadis itu berbunyi nyaring. Jadi dia segera masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Bangun karena alarm dan rasa lapar yang cukup menyiksa. “Sudah pukul sembilan, astaga. Aku tidur lamar sekali,” bisik gadis itu, sembari melepas handuk yang tergulung di kepala karena habis cuci rambut. Rambutnya tergerai, dibalut handuk jubah berwarna navy gadis itu berjalan menuju lemari kaca full body. ‘Kak Agra, pasti sudah pulang,’ batin sang Casie. Perutnya berbunyi beberapa kali. “Hh, aku lapar,” Padahal dia baru saja makan cukup banyak siang tadi. Gadis itu bergegas membuka lemari, “Rasanya tadi semua koperku sudah dibawa ke sini, nah ini dia.” Mengambil beberapa baju yang akan dia pakai dan juga pakaian dalam, “Lho,” Tunggu dulu, alis Ara tertekuk bingung. Tangan gadis itu bergerak cepat mencari celana dalam yang sengaja dia simpan di koper lain. Koper kecil berwarna biru. “Celana dalamku kemana?” tukas gadis itu heran. Mencari selama beberapa menit bahkan mengitari ruangan. “Tidak ada!” Dia baru sadar kalau koper berisikan pakaian dalamnya tidak ada di ruangan ini! “Apa koperku belum dimasukan semua?” sanksinya takut. Menutup lemari cepat, gadis itu bergegas menuju pintu keluar. Bisa saja kopernya tertinggal di ruang tamu. Masih dengan jubah mandi membalut tubuh dan rambut tergerai, “Semoga kak Agra belum pulang,” bisik Ara, perlahan membuka pintu dan memastikan keadaan. Kosong. Ketiga pelayan tadi juga sepertinya sudah pulang setelah memastikan semua keperluan di apartement ini aman. Samuel juga tidak ada, dan yang paling penting. “Oke, dia belum pulang!” Tersenyum senang, sedikit hati-hati Ara keluar dari kamar. Berjalan cepat menuju area ruang tamu yang kebetulan berdekatan dengan pintu keluar utama. Bibirnya komat kamit, berdoa agar Agra tidak pulang. Dia sedang tidak pakai apa-apa dibalik jubah mandi ini! “Mana dia!” Bingung mencari koper kecilnya. Mungkin saking kecilnya Samuel sampai tidak melihat. Sedikit gugup mencari barang tersebut. Pikiran Ara terfokus pada satu tujuan. Temukan koper celana dalamnya dan ganti baju! ‘Astaga, mana dia?!’ *** Jantung Ara nyaris copot saat mendengar suara bel pintu terbuka. Suara yang khas membekukan tubuh gadis itu, kedua maniknya menatap horror. Berharap kalau itu Samantha, Trisha atau Alora. Tapi ternyata, “Asfdfhfjkdkfg, kenapa pulang sekarang!” Tubuh Ara bersembunyi tepat di area sofa besar, melihat pintu yang kini terbuka lebar. Diikuti suara familiar saling bersahutan. “Aku akan membuatkan makan malam untuk kalian berdua, Ara pasti suka.” “Tsk, aku bisa memesan nanti, lagipula ini sudah malam. Kau mau menginap lagi?” “Kali ini siapa tahu aku bisa tidur dengan Ara, mulai hari ini aku mau menjalin hubungan yang baik juga dengan adikmu.” Sangat familiar, dalam hitungan detik semua tebakan Ara menjadi nyata. Nah ‘kan benar! ‘Itu kan sekertaris kak Agra, jadi mereka benar-benar pacaran?!’ batin Ara, jantungnya berdetak kencang. Semoga saja tidak ada yang sadar dia di sini. Angin AC semilir mulai masuk melalui celah jubahnya, ‘Dingin sekali,’ batinnya sembari menggigil pelan. Dia harus apa sekarang?! Pilihan pertama! Berlari secepat mungkin tanpa ketahuan sambil membawa koper biru yang baru saja Ia temukan. Pilihan kedua! Diam di sini sampai membeku dan biarkan dua orang itu masuk ke kamar terlebih dulu. Pilihan ketiga! Nekat keluar dari persembunyian dan minta tolong sekertaris kak Agra. Pilihan keempat- “Aku istirahat dulu,” “Baiklah, aku ke dapur. Kemarin semua persediaan masih ada ‘kan?” “Ya,” Ara nyaris tersenyum saat Agra bilang ingin istirahat. Tapi begitu melihat kemana lelaki itu berjalan, ‘Lah, kok malah ke sini?!’ Wajah gadis itu makin pucat. Agra malah menuju ke arahnya! ‘Jangan ke sini, astaga!! Kakak bodoh!’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN