Karena Caroline dan anak-anaknya tidak ada di rumah, Savira dan Zaki memutuskan makan malam di luar sebelum kembali ke rumah.
Mereka memilih sebuah restoran Indonesia yang berada tak jauh dari kampus tempat Caroline berkuliah.
Begitu keduanya masuk, Langlang dan Pahlewa juga baru saja duduk di tempat mereka.
“Penuh, Mas. Cari resto lain aja, yuk!” Savira menatap ke sekeliling.
Restoran itu tidak terlalu besar. Namun tentu saja banyak dikunjungi orang Indonesia yang ada di Jepang.
Bahkan orang Jepang atau orang asing yang kebetulan sedang berada di Jepang pun tak jarang berkunjung ke restoran ini.
Ya, masakan khas Indonesia tentu saja sudah terkenal ke manca negara.
Apalagi restoran ini juga menjual beberapa makanan yang masuk dalam kategori makanan terenak di dunia seperti rendang, sate dan juga nasi goreng yang memiliki beberapa varian.
“Tapi enak di sini sotonya, Vira,” jawab Zaki terlihat enggan pergi.
Tentu saja, mencari resto khusus masakan Indonesia di negeri orang apalagi sudah cocok di lidah juga adalah hal yang gampang-gampang susah, karenanya Zaki memilih untuk mengantri hingga ada bangku kosong yang bisa mereka temani.
“Itu Om baik sama Om Lucu, Bunda. Om Lucu! Om Baik!”
Shindu sudah lebih dulu menghampiri sementara Savira dan Zaki bertukar tatapan sebelum Savira mengendikkan bahu dan Zaki menghembuskan napas pasrah.
Mereka berdua akhirnya ikut menghampiri dan menyapa balik Langlang dan Pahlewa yang menyambut.
“Duduk sama kita aja, Mas. Mumpung masih ada tempat. Daripada antri lagi. Nanti saya mintakan bangku untuk Shindu.”
“Okay, terima kasih, Pahlewa.”
Pria itu mengangguk lalu meminta bangku lain sebagai bangku tambahan agar Shindu bisa duduk.
Savira lantas bangun dan memesan makanan untuk mereka bertiga karena Langlang dan Pahlewa sudah memesan makanan mereka.
Suasana di antara mereka terlihat santai meski hanya Pahlewa dan Zaki yang lebih banyak bicara.
Sedang Langlang lebih banyak memperhatikan Shindu yang sedang membuat origami.
“Mau dibantuin?”
“Om bisa bikin origami apa?”
Zaki dan Pahlewa sempat melirik ke arah keduanya sebelum kembali melanjutkan obrolan mereka.
“Banyak.”
Langlang lantas mengeluarkan kerta dari dalam tas dan memotongnya lebih dulu agar ukurannya presisi satu sama sisinya.
Barulah setelah itu Langlang mulai melipat-lipat kertas itu hingga membentuk dua seekor hewan.
“Wahhh!” Shindu tampak antusias.
“Kenapa, Sayang?”
Savira yang baru kembali dari memesan makanan langsung bertanya begitu mendengar antusiasme Shindu.
“Om Baik bisa bikin origami kucing sama anjing, Bunda.”
Savira kemudian memperhatikan origami di tangan Shindu. Sekilas bentuknya memang mirip anjing dan kucing.
“Mau ditambahin matanya nggak? Supaya kelihatan lebih jelas,” tawar Langlang diangguki Shindu dengan semangat.
Langlang segera mengambil pulpen di dalam tas dan mengambar sebuah mata, hidung dan juga mulut di satu sisi origami yang dibuatnya.
“Bunda bagus, ya?” unjuk Shindu begitu origami kucingnya terlihat lebih jelas dengan wajah seperti seekor kucing.
“Iya, bagus.” Savira tersenyum sambil mengusap kepala sang anak dengan sayang.
“Selesai! Nah… ini.” Langlang menyerahkan origami bentuk anjingnya pada Shindu.
“Makasih, Om.”
“Sama-sama, Sayang.”
Savira menatap Langlang yang barusan menyebut Shindu dengan panggilan sayang diiringin dengan usakan di puncak kepalanya.
“Om Baik bisa bikin origami apa lagi?”
“Banyak. Kamu mau dibuatkan origami apa?”
“Gajah bisa nggak, Om?”
“Bisa.”
“Badak?”
“Kalau badak nggak bisa. Om belum belajar. Kalau Babi bisa.”
“Mau, Om. Tolong ajarin Shindu buatnya, Om.”
“Nanti bikin sama Daddy.” Zaki yang sejak tadi hanya mendengar obrolan keduanya langsung menyela.
“Daddy bikinnya kodok terus bisanya,” cibir Shindu membuat Savira hampir saja tergelak.
Zaki mencebik sementara Langlang mendengus tipis. Merasa bangga karena unggul dari pria yang masih ia kira ayah dari Shindu itu.
“Okay. Nanti kita buat. Sekarang kita makan dulu, ya,” ajaknya hangat lalu membantu mengambilkan sendok untuk Shindu.
Namun karena bangku yang Shindu duduki terlalu pendek, Shindu kesulitan menjangkau makannya.
“Sini! Duduk sama Daddy.”
“Tapi Mas makan soto. Nanti susah. Shindu bisa ketumpahan,” sahut Savira.
“Sini! Sama Om aja.” Kali ini Pahlewa menawarkan diri.
Namun belum Shindu dan Savira memutuskan, Langlang sudah lebih dulu menarik pria kecil itu ke atas pangkuannya.
Membuat semua orang terbungkam. Apalagi ketika pria itu dengan santai menggeser piringnya dan meletakkan mangkuk Shindu tepat di depan bocah yang ada di atas pangkuannya tersebut.
“Kenapa?” tanya Langlang begitu semua orang menatapnya dengan seraut heran.
“Biar Shindu saya gendong saja.”
“Kamu makan saja. Saya bisa kok makan sambil gendong Shindu,” sahut Langlang membuat semuanya tak mendebat lagi.
Langlang sendiri memesan rendang sedang Shindu makan bubur ayam kuah kuning karena pagi ini pria kecil itu sakit perut.
Sesekali Savira menoleh ke samping, memastikan Shindu tidak merepotkan Langlang.
Namun Langlang sendiri terlihat terampil dan seperti sudah biasa mengurus anak kecil yang masih belajar makan sendiri.
“Bunda suapin, ya, Sayang?”
“Nggak usah, Bunda. Shindu bisa makan sendiri kok.”
Dan tepat setelah mengucapkan hal itu, sendok di tangan Shindu oleng dan bubur menumpahi celananya.
Savira dan Langlang berlomba membersihkan pakaian Shindu yang kotor seperti sepasang suami istri yang mengurusi anak mereka.
“Kamu makan saja. Biar Shindu saya yang bawa ke toilet.”
“Tidak usah. Biar–“
“Makanan kamu masih belum habis. Punya saya sudah–“
Zaki yang sejak tadi hanya melihat perdebatan Savira dan Langlang langsung mengambil alih Shindu dan menurunkannya dari pangkuan Langlang.
“Kita ke toilet bersihkan celana kamu, ya?”
“Iya, Daddy.”
“Kamu bawa tisu basah?” Zaki menatap Savira yang terlihat mengerjap kaget.
“Ada, Mas.”
Savira menyerahkannya. Dan keduanya lantas berlalu ke toilet.
Savira menatap Langlang untuk memastikan kalau pakaian pria itu tidak terkena tumpahan bubur Shindu.
“Kenapa?”
Savira hanya menggeleng. Sementara Langlang memilih sibuk dengan ponselnya.
Pahlewa yang melihat hal itu jadi ingin tertawa namun yang dilakukannya justru malah mendengus.
Kedua orang di hadapannya sekarang ini mirip pasangan kekasih yang sedang perang dingin. Saling terdiam namun peduli satu sama lain.
Tak lama Shindu dan Zaki kembali. Pria itu lantas duduk di antara Savira dan Langlang sambil memangku Shindu dan menyuapinya.
“Daddy kenyang.”
“Kenyang?” Shindu mengangguk.
“Nggak usah dipaksain, Mas. Takutnya nanti muntah. Perut Shindu kayaknya masih nggak enak.”
Zaki meletakkan mangkuk bubur Shindu yang masih menyisakan sepertiga isinya.
Padahal Savira hanya memesan setengah porsi. Namun karena perut anaknya sedang tidak enak, nafsu makan Shindu pun berkurang.
“Shindu sakit perut?” tanya Langlang.
“Iya, Om.”
“Om boleh pinjam tangan sama kakinya?”
“Buat apa, Om? Kok kaki sama tangan Sindu dipinjam? Kan Om Baik punya tangan sama kaki sendiri.”
Siapapun tak ada yang bisa menahan tawa geli mereka mendengar penuturan pria kecil itu.
“Om mau pijit Shindu biar perutnya nggak sakit lagi. Boleh?”
Shindu menatap sang bunda seraya meminta izin. Savira mengangguk mengijinkan sementara Zaki tetap menggendong Shindu di atas pangkuannya.
“Aduh!”
Plak!
“Aduh!” Langlang mengaduh karena Zaki reflek memukulnya ketika Shindu juga mengaduh kesakitan.
“Pelan-pelan kenapa. Anak kecil itu. Pijatnya jangan pakai tenaga dalam.”
“Mana ada pakai tenaga dalam. Remuk tulang dia yang ada.”
Zaki berdecak. “Kalau tidak bisa, tidak usah.”
“Siapa yang bilang tidak bisa.”
“Saya. Kamu kira kamu sedang bicara dengan siapa?”
Shindu yang melihat perdebatan kedua orang itu jadi kebingungan. Kepalanya mendongak dan bergantian menatap Langlang dan Zaki yang sedang sengit memperbutkannya.
“Daddy sama Om Baik kok berantem.”
“Nggak!”
“Nggak!” kompak keduanya membuat Savira dan Pahlewa mendengus di tempatnya masing-masing.
“Udah cepet! Mau mijit nggak, sih?”
“Daddy jangan marah-marah.”
“Tuh, Daddy jangan marah-marah. Nanti makin tua,” timpal Langlang yang kemudian mengaduh pelan karena kakinya diinjak Zaki tanpa ampun.
“Mas!” Savira menyentuh lengan Zaki seraya mengingatkan pria itu kalau mereka sedang di tempat umum.
Savira sendiri sudah sering memijat Shindu di bagian tangannya untuk meredakan perut anaknya yang sering sakit atau mual itu.
Namun hasilnya memang tidak terlalu signifikan. Shindu memang memiliki penceranaan yang sensitif.
Dokter tidak bisa memastikan apa penyebabnya. Namun jika imunnya sedang turun, Shindu memang sering merasakan hal itu.
Sering Savira merasa bersalah karena semua itu mungkin diakibatkan fase kehamilan awal yang harus ia lalui dengan berat karena stres akibat kepergian sang suami tercinta.
Tapi pijatan Langlang kali ini seperti memberi dampak yang baik. Karena pria itu tidak hanya memijat tangan dan telapk kaki Shindu, ia juga memijat dan menekan beberapa bagian tubuh Shindu yang membuat pria kecil itu mendadak bersendawa kecil.
Shindu terkekeh malu lalu mengucapkan maaf karena sendawa di depan orang-orang dewasa di hadapannya.
“Gimana? Enakan?” tanya Langlang yang diangguki Shindu dengan cepat.
“Bunda, mau Shindu mau habisin makanannya lagi.”
Savira mengerjap. Kaget karena sang anak tiba-tiba meminta makanannya dihabiskan.
Zaki segera mengambil mangkok dan memberikanya pada Savira. Pria itu sengaja memunggungi Langlang meski dalam hatinya berterima kasih karena keadaan Shindu membaik.
“Sama-sama,” cibir Langlang namun tak lama setelahnya Savira membalas dengan kalimat yang membuat pria itu membeku untuk beberapa saat.
“Terima kasih, ya, Mas. Sudah bantu Shindu lebih enakan.”
Dan senyum Savira yang tulus membuat sekujur tubuhnya makin membeku.