Savira dan keluarga Zaki akhirnya pergi berlibur beberapa hari ke Korea Selatan.
Menginap di Seoul, Zaki menyewa kamar hotel yang memiliki connecting door dan menghadap ke sungai Hangan.
Kota Seoul yang gemerlap menjadi pemandangan yang indah ketika petang datang.
Savira termenung di depan jendela kamar hotelnya seorang diri. Shindu sudah tidur di tempat tidurnya.
Rencananya mereka akan menghabiskan waktu liburan mereka di sini selama dua hari.
Namun, entah kenapa hati Savira mendadak gundah. Pasalnya, setelah kemarin ia mengobrol dengan sang mertua, Savira mulai memikirkan banyak hal.
Shindu sudah akan menginjak usia anak masuk sekolah dasar. Meski Savira sebetulnya lebih senang Shindu sekolah di Jepang, namun kedua nenek dan kakeknya ingin mereka berdua pulang.
Nenek dan kakek buyut Shindu sudah sangat sepuh. Dan permintaan terakhir mereka sebelum meninggal hanya agar bisa berdekatan dengan cicit tunggal mereka yang sudah terlalu lama pergi itu.
Savira membuang napas ke udara. Rasa-rasanya ia belum siap pulang dan menemui Satya.
Kenangan itu, meski masih melekat kuat, Savira sungguh sudah berdamai dengan kenyataan yang ada.
Hanya saja, ia masih tak sanggup menahan rindu yang begitu menggebu setiap merasa sendiri.
Namun di sisi lain, ia tak mau menjadikan alasan itu untuk mencari pendamping dan ayah baru bagi Shindu.
Bagi Savira, Shindu saja sudah cukup. Bocah itu adalah pusat dunianya. Pusat kehidupan dan kebahagiaan Savira sampai nanti ia mati dan dipertemukan kembali dengan kekasih sejatinya.
Pintu kamar yang diketuk kemudian lantas membuat Savira kembali dari lamunan dalamnya.
“Shindu udah tidur?” tanya Caroline begitu pintu dibuka.
“Udah, Mbak. Kenapa?”
“Ya… kirain Shindu belum bobo. Aku ‘kan mau nemenin Shindu. Katanya Shindu masih sakit perut,” cicit Salma.
Ia dan Kakak kembarnya berdiri di depan pintu kamar Savira bersama sang mommy.
Savira tersenyum sambil merendahkan posisi berdirinya agar sejajar dengan kedua bocah kembar itu.
Lantas diraihnya masing-masing sebelah tangan Salma dan Selwa untuk digenggam.
“Shindu udah baikan kok. Cuma makannya harus dijaga aja. Nanti kalau jalan-jalan jangan ajakin Shindu jajan yang aneh-aneh, ya, sayang-sayangnya Tante Savira.”
Sambil berbicara sesekali jempol tangan Savira mengusap punggung tangan kedua gadis kembar itu dengan lembut.
“Okay!” jawab keduanya kompak.
“Nah, sekarang tidur, ya. Shindu ‘kan udah tidur. Jadi kalian juga tidur. ‘Kan besok mau jalan-jalan,” terang Caroline membujuk kedua anak kembarnya tersebut.
“Ya udah deh. Tapi besok bobonya boleh sama kita ‘kan Tante Savira?” tanya Selwa.
“Boleh. Besok Shindu boleh bobo sama onti-onti kesayangannya.”
“Asikk! Hore!” cicit keduanya lalu berlari begitu saja meninggakan Savira dan Caroline di depan kamar.
“Shindu bener udah baikan Savira?” tanya Caroline masih cemas.
Caroline sempat akan mengundur kepergian mereka karena takut kondisi Shindu memburuk.
“Beneran, Mbak. Waktu di restoran kita ketemu Mas Lewa dan Langlang, terus Shindu dipijitin sama Mas Langlang sampai sendawa.”
“Mas Langlang? Sejak kapan kamu manggil dia Mas?”
Savira mengerjap berulang kali. Menyadari ucapannya yang tidak direncanakan itu.
“Cieee, udah baikan ini cerita?” cibir Caroline menggodanya.
“Apa, sih, Mbak. Nggak ada yang musuhan juga. Aku cuma nggak pengen aja ketemu dia kemarin.”
“Kenapa? Dia tuh baik kok sebenernya. Cuma memang lebih pendiem daripada Lewa. Tapi orangnya peduli banget kayaknya.”
“Udah, Mbak, ah! Nggak usah bahas lagi. Aku mau istirahat, ya?” kilahnya mengakhir pembicaraan.
Caroline mengangguk. Namun sebelum itu ia sempat memberi Savira sebuah nasihat.
“Takut jatuh di lubang yang sama itu wajar, Vira. Tapi kalau kamu takut karena tidak ingin merasakan penderitaan lagi karena cinta, pikirkan lagi. Menghindari jatuh cinta tidak menjanjikan hidup kamu juga akan terus bahagia.”
“Aku cuma nggak mau mengecewakan Shindu, Mbak. Bagiku, kesedihan Shindu itu lebih menakutkan dari lukaku sendiri selama ini.”
“Kamu sudah membesarkannya dengan baik selama ini. Sekarang waktunya kamu juga untuk bahagai, Vira.”
“Emang aku nggak keliatan bahagia selama ini?” cibir Savira dengan mata memicing. Membuat Caroline mencebik.
“Bahagia. Cuma kalau udah galau, lamaaaa banget suntuknya.”
Savira terkekeh. Caroline lantas menepuk-nepuk bahu Savira sebelum berlalu dan kembali ke kamarnya.
Lalu….
Keesokan harinya mereka jalan-jalan mengelilingi kota Seoul bersama seorang pemandu travel yang disewa.
Pertama-tama mereka mengunjungin salah satu dari istana terbesar yang dibuat pada masa pemerintahan Dinasti Joseon. Istana Gyeongbokgung.
Tidak hanya jalan-jalan dan mengenal sejarah istana ini, Savira dan yang lainnya juga bisa berfoto dengan mengenakan pakaian tradisional Hanbok yang disewakan di sana.
Setelah itu mereka mengunjungi National Museum Of Korea. Salah satu museum terbesar di Korea Selatan yang memiliki koleksi berbagai benda bersejarah yang dipanjang di dalamnya.
Setelahnya, mereka mengunjungi Myengongdong Street. Surga termpatnya berbelanja di Korea Selatan.
Mereka makan siang terlebih dahulu lalu berbelanja selagi menuggu Zaki bertemu dengan klien dan teman lamanya.
Ya, liburan mereka kali ini juga tidak jauh dari urusan bisnis Zaki yang memang sedang melebarkan jaringan bisnisnya ke negera lain.
Dan kesempatan itu digunakan Caroline untuk mengajak Savira dan anak-anak membeli barang-barang dan oleh-oleh yang mereka inginkan.
“Emang kita mau beli oleh-oleh buat siapa, sih, Mbak?”
“Temen kamu di rumah sakit?”
“Nanti aku cari kue-kue atau permen yang khas aja dari sini. Atau beli magnet dan gantungan aja,” terangnya.
“Kamu juga beli baju. Mumpung di sini banyak banget brand yang terkenal.”
“Bajuku masih banyak, Mbak.”
Caroline mendesah. Savira dan berbelanja adalah hal yang bertubrukan.
“Udah, belanja aja. Nanti tagihannya Mbak maintain sama Mbak Rara.”
“Mbak!”
Caroline terkekeh. “Makanya udah belanja. Kamu beli baju, sepatu, tas atau apa kek. Nanti Mbak yang bayarin.”
Savira tentu saja tidak akan mau melakukannya. Meski tanpa menggunakan uang gajinya sebagai perawat, Savira selalu memiliki tabungan yang setiap bulan isinya selalu bertambah dan semakin besar.
Siapa lagi kalau bukan sang mertua yang tak pernah absen mengiriminya uang dengan alasan untuk keperluan Shindu dan dirinya sejak tiba di Jepang.
Namun, Savira hampir tidak pernah menggunakan uang yang dikirim rutin ke rekeningnya tiap bulan itu untuk keperluan pribadinya.
Semua uang yang dikirim Rara dan Wirya hanya ia gunakan untuk keperluan Shindu atau saat-saat tertentu.
Seperti untuk liburan dan momen berbelanja mereka kali ini.
Savira pun mengalah dan menemani Caroline berbelanja. Sesekali mereka mampir jajanan khas Korea ketika perut dirasa lapar lagi.
“Bunda mau itu?” Shindu menunjuk tteokpokki berwarna merah yang entah kenapa menggugah selera Shindu untuk makan ketika kedua bibirnya diperbolehkan mommy mereka untuk makan.
Salma dan Selwa memang gemar makanan pedas, bahkan sejak usia mereka masih tiga tahun.
Padahal kedua orangtua mereka sendiri bukan penyuka makanan pedas.
“Itu pedas, Sayang. Shindu beli odeng kuah aja, ya, itu juga enak kok.”
Savira menunjuk makanan yang ditusuk dengan tusuk sate dan direbuh dengan kuah kaldu tersebut.
Odeng adalah makanan khas Korea Selatan yang dibuat dari daging ikan segar dan sangat pas dinikmati dalam keadaan panas.
Shindu mengangguk patuh. Bocah itu bahkan minta tambah ketika merasakan kalau jajanan yang dimakannya terasa enak diperut.
Selanjutnya selama perjalanan mereka menuju perjalanan menuju Coex Aquairum, salah satu aquarium terbesar di Korea Selatan, Caroline membelikan anak-anak jajanan khas yang diberi nama Bungeoppang.
Bungeoppang ini adalah kue berbentuk ikan yang diisi dengan adonan kacang merah manis dan varian eskrim.
Lalu menjelang malam harinya, mereka janjian dengan Zaki yang setengah hari ini sibuk dengan urusan bisnisnya untuk makan malam di Soul N Tower atau yang lebih di kenal dengan Menara Namsan.
Menaiki kereta gantung Namsan, Savira dan yang lainnya tiba di atas tepat sebelum jam tujuh malam.
Sambil menikmati pemandangan kota Seol dari sana, keluarga kecil itu menikmati makan malam mereka sambil bercengkrama hangat. Mendengarkan antusias dan celoteh anak-anak yang akhirnya bisa mengunjungi salah satu tempat wisata dengan yang mereka sukai selama ini.