TUL 21 - Menghindar

1554 Kata
Savira berjalan sambil membawa rasa kesal dan marah di dadanya. Hanya karena Savira membiarkan Langlang menciumnya malam itu, bukan berarti lelaki itu bebas melakukannya lagi. Punggung tangannya berulang kali mengusap bibir yang terasa masih menyisakan rasa kecupan itu. Pengawal segera membukakan pintu untuk Savira. Ia lantas menyebutkan nama sebuah lokasi pantai yang cukup jauh dari tempat mereka tinggal. “Ke pantai, Nyonya?” “Iya. Saya ingin ke sana. Bisa kamu antar saya secepatnya? Saya tiba-tiba saja ingin melihat matahari terbenam,” terangnya. Pengawal Savira yang baru mengangguk lantas menyalakan mesin mobil dan melaju meninggalkan rumah sakit tempat Langlang dirawat. Savira sempat mengirim pesan. Mengabarkan pada Caroline kalau ia hendak pergi ke pantai untuk menenangkan diri sebentar. Selama perjalanan berlangsung Savira lebih banyak diam dan mengarahkan pandangannya ke luar jendela samping. Apa yang Langlang lakukan membuat perasaan Savira kini kacau. Bahkan sejak malam itu. Entah kenapa Savira merasa jadi penghianat sekaligus membuatnya tiba-tiba jadi merindukan mendiang suaminya, Satya. Perjalanan yang berlangsung hampir satu jam setengah itu akhirnya membawa Savira tiba di sebuah pantai yang berada di sebelah jalan raya. Pengawal Savira memarkirkan mobilnya di pesisir pantai sebelum menemani Savira turun dan berjalan-jalan di sana. Savira melepaskan sepatu dan menentengnya dengan satu tangan. “Biar saya bawakan sepatu Nyonya.” “Tidak usah. Kamu jangan berjalan di belakang saya saja. Rasanya tidak nyaman,” pintanya. “Tapi ini demi keamanan anda, Nyonya.” “Sebentar saja. Saya butuh kenyamanan. Saya sedang rindu sekali dengan mendiang suami saya. Saya ingin menikmati waktu ini dengan kenyamanan dan ketenangan. Bisa kamu melakukannya untuk saya?” Pengawal Savira akhirnya mengangguk patuh. “Terima kasih.” Savira berjalan menyusuri bibir pantai. Sesekali kakinya tersapu ombak kecil. Membuat perasaannya lebih tenang. Dulu Savira sering membayangkan berjalan seperti ini bersama Satya juga anak mereka. Tapi Tuhan tak mengabulkan keinginannya tersebut. “Apa kamu pernah merindukan seseorang yang kamu sayangi?” tanya Savira tiba-tiba. “Iya, Nyonya?” Savira sengaja mengajak pengawalnya bicara. Ia sedang ingin membagi perasaannya yang kacau. Dan satu-satunya orang yang ada di sampingnya saat ini hanyalah pengawalnya. “Apa kamu pernah tiba-tiba merindukan orang yang sudah tidak ada di samping kamu lagi?” ulangnya. “Tidak.” Savira menoleh heran. “Tidak?” Pengawal Savira mengangguk. “Sejak kecil saya tinggal di panti asuhan. Jadi saya tidak tahu siapa keluarga saya,” ujarnya sambil tetap siaga memantau sekitar mereka. Savira tersenyum. “Begitupun denganku. Dulu aku pikir aku akan selamanya sendiri. Namun setelah bertemu dengan mendiang suamiku, dia tidak hanya memberiku seorang anak, tapi keluarga yang hingga kini masih menyayangiku.” “Bukankah itu bagus? Di luar sana banyak orang yang benar-benar sendiri seumur hidupnya.” “Apa kamu tidak pernah menyukai seseorang?” “Tidak.” “Kenapa?” “Saya tidak mau menyulitkan orang tersebut.” “Karena pekerjaan?” Pengawal Savira mengangguk. “Pekerjaan saya sangat dekat dengan terluka bahkan kematian. Saya tidak mau ada yang sedih karena kepergian saya.” “Bukankah itu bukan urusanmu lagi?” Pengawal Savira tak menjawab kali ini. “Ketika seseorang pergi meninggalkan dunia ini, maka segala urusannya di dunia selesai begitu saja. Jadi, apa yang terjadi dengan orang yang ditinggalkan nanti, sudah bukan urusan yang meninggalkan lagi.” “Tapi bukankah tidak menyenangkan menjadi penyebab orang lain sedih dan terluka?” “Kamu benar. Tapi hidup kita juga tidak akan bisa mengelak dari hal-hal seperti itu bukan?” Langkah mereka sudah semakin jauh meninggalkan mobil yang diparkir tadi. Savira lantas berhenti. Menatap ke arah matahari yang kian terbenan. Semburat jingga itu kian tenggelam, menandakan Savira harus segera beranjak dari sana. Ada Shindu yang pasti sedang menunggunya pulang. Savira sudah membayangkan bahwa bertemu Shindu nanti akan membuat perasaan yang sempat kacau galau menjadi lebih baik. Sayangnya, Shindu yang penasaran malah bertanya soal Langlang dengan cara yang merengek. Dan hal itu membuat Savira hampir saja kelepasan emosi. “Shindu!” Bocah kecil yang semula merajuk ingin tahu tentang kondisi pria yang sudah menolong bundanya itu seketika menjenggit kaget. “Bunda marah?” Savira memejamkan mata sejenak sambil menghembuskan napas berulang kali. Namun setelah membuka matanya Savira menemukan Shindu sedang memilin kaosnya dengan wajah menunduk. Savira merasa bersalah. Baru kali ini Shindu begitu antusias dengan seseorang yang di awal justru membuat pria kecil itu ingin menjahili orang tersebut. “Bunda ngagetin Shindu, ya?” kepalanya mengangguk-angguk. “Bunda minta maaf. Bunda capek banget. Denger kamu maksa terus Bunda jadi kesel. Mau nggak Shindu kasih Bunda waktu istirahat sebentar… aja?” Kepala Shindu mendongak. Tatapan polosnya membuat Savira luluh dan tersenyum. Apalagi ketika Shindu dengan ikhlasnya menganggukkan kepala dan bertanya apakah, “Bunda mau Shindu pijitin?” tawarnya membuat Savira mengulum senyum. “Bunda mau dipeluk aja sama Shindu. Boleh nggak?” Shindu langsung merentangkan tangan dan menghampiri Savira yang masih berdiri di hadapannya. Dalam satu hentakkan, Savira menggendong Shindu dan membawanya ke atas kasur. “Bunda kerjanya capek banget, ya?” “Hm. Shindu tadi di sekolah ada kegiatan apa aja?” “Tadi itu ada Om yang bantuin bikin boneka salju waktu itu ke sekolah loh, Bunda,” bukanya membuat Savira terhenyak lalu menatap Shindu dengan kedua bola mata yang melebar. “Terus, Shindu ketemu Om itu?” Shindu menggeleng. “Cuma liat aja.” “Om itu ngapain ke sekolah Shindu?” “Bawain truk eskrim Bunda.” “Hah?” “Iya. Kata Bu Guru Om itu adiknya ulang tahun. Terus adiknya itu suka makan eskrim. Jadi buat ngerayain ulang tahunnya, Om itu kirim truk eskrim ke sekolah-sekolah. Dan sekolah Shindu tadi kebagian deh eskrim gratisnya,” ungkapnya riang. Savira yakin Tuan Kagawashi sengaja memilih sekolah Shindu untuk menebus rasa bersalahnya. Savira pikir Tuan Kagawashi adalah orang yang sangat kejam dan berhati dingin. Seperti kebanyakan mafia pada umumnya. Namun ingatan Savira tak pernah lupa ketika melihat Kagawashi bermain dengan keponakannya waktu itu. Shindu yang semula tampak riang kemudian berubah takut ketika mendapati raut wajah bundanya termenung. “Tapi Shindu makan eksrimnya nggak banyak, kok, Bunda,” imbuhnya seolah ingin agar Savira tidak marah padanya karena masalah eksrim. Savira yang menyadari hal itu langsung mengusap kepala Shindu sambil tersenyum padanya. “Nggak papa. Shindu boleh makan eksrim lebih banyak dari biasanya. Tapi jangan sering, ya. Nanti perutnya sakit kalau kebanyakan makan eksrim.” Shindu mengangguk patuh. “Terus ketemu Om baiknya kapan, Bunda?” kali ini pertanyaan Shindu kembali mengarah pada soal Langlang. Savira rasanya ingin mengalihkan pembicaraan mereka. Namun di satu sisi ia enggan melakukan hal itu. Takut Shindu merasa diabaikan. Karenanya Savira berusaha mencari alasan yang bisa diterima Shindu tanpa membohonginya. “Om baiknya belum pulang. Nanti kalau udah pulang Shindu bisa nengokin, kok.” “Kapan, Bunda?” desaknya mulai tak sabar. “Hm... Bunda nggak tau, Sayang. Nanti kita tanya Om Lucu dulu, ya, untuk memastikan. Biar Shindu bisa ketemu Om Baik.” “Janji, ya, Bunda?” Savira mengangguk lalu memeluk Shindu dengan perasaan bersalah karena sebetulnya Savira sengaja mengatakan itu agar bisa mengulur waktu. Ia tidak mau bertemu dengan Langlang lagi. Karenya ia pun berencana meminta Zaki menemani Shindu menjenguk Langlang di apartemennya nanti. “Kenapa nggak sama kamu?” tanya Zaki sambil menikmati kopi paginya. “Nggak papa aku ketemu Langlang?” Savira malah balik bertanya. Membuat Caroline yang sedang mengolesi selai ke atas roti jadi terhenti. “Kenapa Mas Zaki harus larang kamu?” “Mas Zaki ‘kan nggak suka kalau aku ketemu Langlang.” Caroline menatap sang suami dengan wajah yang masih mengerut heran. Zaki berdeham sebelum menjawab, “Ya, nggak perlu juga harusnya kamu ketemu dia. Toh, kamu udah nengok dia juga ‘kan kemarin-kemarin?” Savira mengangguk. “Nanti Mbak temani juga kalau gitu, deh,” timpal Caroline santai namun ditanggapi sang suami dengan kehebohan. “Nggak usah!” “Lho, kenapa, Yang?” protes Caroline. “Nanti ketauan dong kalau aku bukan mantan suami Savira. Makin gede kepala nanti itu belalang kupu-kupu kemalaman.” Caroline tergelak sambil melayangkan pukulan ringan di lengan sang suami. “Kamu, nih. Ya udah. Tapi nanti aku titip bingkisan, ya.” “Nggak perlu. Cukup doain aja. Nggak usah kasih-kasih bingkisan.” “Kamu kenapa, sih, Yang? Sensi banget. Emang kenapa kalau Langlang deketin Savira? Mereka ‘kan sama-sama single. Kalau Saviranya mau, kita nggak boleh ngelarang, Yang.” “Kamu suka sama dia?” tembak Zaki membuat Savira langsung menggeleng kencang. “Nggak. Mas nggak inget kemarin Shindu murungnya gimana karena drama papa baru? Nggak.” Savira menggelengkan kepalanya lagi. “Aku nggak kepikiran untuk deket sama siapapun.” Zaki meletakkan koran lantas mengacungkan kedua jempol tangan dan kakinya. Membuat sang istri menjewer kupingnya sambil berdecak kesal. “Apa-apaan, sih, kamu, Yang.” “Kan aku mau kasih empat jempolku buat Savira.” “Nggak gitu juga.” Perdebatan suami istri pagi ini membuat Savira diam-diam mengulum senyum geli. Pemandangan seperti ini sudah biasa Savira lihat selama tinggal bersama mereka. Dan itu menjadi hiburan tersendiri bagi Savira. Tidak ada yang tahu kecuali Savira dan keluarga Zaki sendiri tentang sosok laki-laki yang terkenal disegani di dunia bisnis namun bisa dengan mudah ditaklukan oleh istri dan anak-anaknya. “Pokoknya Mas dukung! Asal nggak sama dia, Mas pasti bantuin biar Shindu mau punya papa baru lagi,” terang jadi dengan berapi-api. “Serah kalian lah,” dengus Caroline lalu beranjak ke dapur. Membuat Savira dan Zaki saling tatap sebelum akhirnya mereka tertawa pelan bersama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN