Savira menutup matanya rapat-rapat ketika Langlang justru mencium bibirnya.
Suara letupan senjata yang kembali terdengar memekakkan telinga, membuat Savira reflek menutup matanya.
Bukan. Savira bukan fokus pada bibir Langlang yang menyentuh bibirnya. Tapi karena ia memang terkejut begitu saja.
Namun kecupan itu hanya sesaat karena Langlang yang terluka akibat tembakan akhirnya ambruk ke tanah.
“Langlang! Langlang! Bangun!”
Savira mencoba memeriksa di mana luka tembak Langlang yang kedua. Namun nihil.
Sementara itu suara tembakan yang masih saling bersahutan membuat Savira kembali menunduk dan memeluk Langlang.
Savira sungguh tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Yang ia bisa lakukan hanya memeluk Langlang. Berharap bisa melindunginya dari tembakan lain.
“Vira…”
“Jangan banyak bicara!”
“Terima kasih.”
“Jangan tidur! Kamu nggak boleh tidur,” paniknya sambil menjenggit-jenggit karena suara tembakan yang terdengar begitu dekat.
Bahkan selongsong peluru sempat menggelindung ke dekat kakinya hingga membuat Savira menoleh.
“Ahhhh!”
Detik itu lah Savira akhirnya melihat adegan yang begitu menakutkan dan penuh keberbahayaan.
Adik ipar Kagawashi, dalang penculikan sekaligus penembak Langlang yang Savira kira akan membunuh mereka kini terkapar dengan banyak luka tembak di tangan dan kakinya.
Savira bisa melihat bagaimana tubuh pria itu mengejang-ngejang karena menahan kesakitan.
Darah mengalir deras sementara Kagawashi masih menodongkan senjata padanya. Seolah akan menghabisinya.
Savira tidak mengerti kenapa adik ipar Kagawashi itu menculiknya. Dia tidak merasa memiliki masalah dengan adik ipar dari pimpinan salah satu geng mafia di Jepang itu.
Hanya saja, melihat Kagawashi yang datang sendiri dan membalas langsung perbuatan adik iparnya, Savira justru bertanya-tanya sekaligus takut.
Aura kelam dan sadis yang menguar dari diri Kagawashi membuat Savira bergidik ngeri.
Bahkan melihat tatapan wajahnya yang datar dan dingin saja, Savira sudah bisa merasakan ketakutan yang teramat.
“Aku tidak akan membuat kematianmu mudah. Maka dari itu, nikmatilah waktumu sebelum malaikat maut menjemputmu!” desis Kagawashi lalu menurunkan senjatanya setelah menembak sisi perut adik iprnya.
“Ahhhh!” Teriakan kembali menggema di antara sahut-sahutan senjata yang mulai reda.
Tatapan mereka yang bertumbukkan sesaat membuat Savira tergugu tanpa bisa dijelaskan dengan detail.
Namun, belum sempat Kagawashi mendekat, seorang pria tampan dengan perawakan tinggi dan kulit putih menghampirinya.
“A-anda mau apa?”
Langlang yang samar-samar masih bisa mendengar ucapan Savira mencoba membuka mata dan menarik tangan Savira.
Savira reflek memeluk Langlang lebih erat seraya melindungi pria itu dari orang yang ia duga akan menyakiti mereka.
“Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?” balas pria itu sambil berjongkok dan mencoba memeriksanya. Namun Savira menolak dengan gestur terlihat takut.
“A-anda s-si.. siapa?” ulangnya semakin ketakutan.
“Jangan takut. Saya Brian. Saya datang untuk menyelamatkan anda Nona Savira.”
“Benarkah?” Pria bernama Brian itu mengangguk. “Tolong teman saya dulu. Dia ditembak dan kehilangan banyak darah sepertinya. Nadinya lemah sekali,” tuturnya.
“Baik.”
Brian lantas mengkordinir timnya untuk segera membawa ambulans yang mereka bawa dan mendekat.
“Jangan cemas, temanmun pasti akan kami selamatkan.”
Savira mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya lantas menatap Langlang yang semakin kehilangan kesadarannya.
“Jangan tidur!”
“Aku ngantuk sekali, Vira.”
“Kamu harus bertanggung jawab!”
“Apa?”
“Tadi...”
Langlang masih bisa tersenyum. Brian ikut menoleh menatap keduanya ketika kalimat Savira menggantung di udara.
“Ka-mu… m-mau… a-aku… mela… uhuk… uhuk…”
Savira berdecak kesal. “Jangan banyak bicara keras kepala sekali, sih!” omelnya begitu saja.
Langlang masih bisa terkekeh namun kemudian ia terbatuk-batuk lagi hingga mengerang kesakitan.
“A-aku… su-ka, Vi-ra,” kukuh, ucap Langlang terbata.
“Apa?” Savira pun terus mengajak Langlang bicara agar kesadaran pria itu tidak menurun.
“Ka-mu.”
Savira mendengus jengah. “Kamu sudah pernah mengatakannya.”
Langlang menggeleng lemah. “B-bu-kan… i-tu…”
Ambulasn datang. Petugas medis menurunkan brankar dan melakukan tindakan penyelamatan pertama.
Savira terus menemani Langlang bahkan tak melepaskan tangannya sedikitpun hingga ke dalam ambulans dan mereka tiba di rumah sakit terdekat.
Savira menunggui Langlang hingga Zaki dan Pahlewa tiba di sana setengah jam kemudian.
“Vira, kamu nggak papa?” Zaki langsung memeluknya.
“Aku nggak papa, Mas. Tapi Langlang kena tembak.”
“Dia kena tembak di mana, Vira?” tanya Pahlewa ikut cemas.
“Bahunya, Mas. Tapi untungnya Pak Brian dan Tuan Kagawashi datang tepat waktu.
“Tenang. Dokter pasti menyelamatkannya.” Zaki lantas menatap pada Brian. “Anda yang menelepon saya tadi?”
“Benar. Saya Brian.”
Brian mengulur tangan yang langsung disambut Zaki dengan ramah.
“Terima kasih.”
“Tidak perlu. Itu sudah tugas kami yang tertera di perjanjian dan kontrak bersama Pak Wirya.”
Zaki mengangguk lalu menatap Savira kembali. “Sebenarnya kamu ini punya masalah apa dengan adik ipar Tuan Kagawashi?”
Zaki yang diberitahu Brian sebelumnya mengetahui tentang misi penyelematan yang dilakukan Brian bersama Tuan Kagawashi.
Brian dan Tuan Kagawashi memang memiliki bisnis bersama yang sudah lama terjalin.
Karenanya itu Brian dengan mudah bisa mendapatkan informasi mengenai siapa penculik Savira dan di mana lokasinya.
Savira menggeleng. Sungguh ia tak tahu kenapa dan mengapa harus dia yang mengalaminya.
“Sebaiknya kita duduk. Saya akan jelaskan sedikit dari apa yang saya temukan,” ucap Brian diangguki semuanya.
Pahlewa izin membeli kopi ke kafe sementara Zaki mengajak Savira duduk lalu mendengarkan penjelasana Brian.
“Adik ipar Tuan Kagawashi sepertinya sudah merencanakan sesuatu sejak lama. Saat itu, mendiang istrinya yang tahu. Karenanya ia mencoba mencegah namun malah terluka dan berakhir meninggal.”
“Tapi dalam surat yang dimasukkan ke dalam kalung itu?” Savira ikut bicara.
“Surat?” Savira mengangguk. “Isinya apa?”
“Saya lupa detailnya. Intinya mendiang istrinya itu memergoki suaminya berselingkuh. Namun karena dia masih mencintainya dia memaafkan dan berharap suaminya itu mau berubah karena mereka akan memiliki anak.”
Brian tampak terdiam. Namun ketika ia hendak bicara lagi, tiba-tiba rombongan Kagawashi dan anak buahnya datang ke rumah sakit.
Pria itu berjalan menghampiri Savira dan menyerahkan sebuah surat yang dilipat kecil padanya.
“Ini surat sesungguhnya yang ia sembunyikan di dalam kalung itu. Dari sana aku tahu b******n itu sudah merencanakan hal buruk padaku dengan menggunakan anaknya kelak.”
Savira lekas menerima surat itu dan membacanya dengan seksama.
Di sana ditulis bahwasanya sang adik mendengar percakapan suaminya yang merencanakan pembunuhan atas dirinya dan sang kakak demi mengusasi harta dan perusahaan milik keluarga Kagawashi.
Karena ketahuan, mendiang adik Tuan Kagawashi pun kabur dan mencoba meninggalkan jejak serta bukti untuk memberitahunya setelah berhasil dilukai.
Kagawashi ingat kebiasaan sang adik yang senang menyembunyikan sesuatu dalam sebuah tempat.
Karenanya ketika Kagawashi memperhatikan lebih seksama lagi kalung mendiang sang adik, ia menyadari sesuatu dan akhirnya menemukan surat itu.
“Surat itu hanya kamuflase.”
“Tapi bukannya hari itu ia terlihat muram?”
Kagawashi mendengus sinis. “Penjahat akan melakukan apapun agar penyamarannya tidak terbongkar.”
Savira mengaggukinya dalam hati. Namun ia juga lega karena kesalahpahaman ini akhirnya selesai.
Savira juga akhirnya tahu kalau beberapa anak buah Kagawashi yang ia kenali waktu itu memang berhianat dan memihak pada adik iparnya.
“Maaf karena mereka mengira kita memiliki hubungan. Dia berusaha menggunakanmu untuk mengancamku.”
“Tidak apa, Tuan. Semua sudah terjadi. Yang penting aku sekarang yakin kalau Anda tidak berniat jahat padaku sejak awal.”
Kagawashi menatap Savira yang tersenyum dengan tatapan yang begitu lekat sebelum akhirnya ia undur diri dan mengatakan kalau semua biaya pengobatan Langlang juga akan ia tanggung.
Brian juga ikut pamit setelah Langlang selesai operasi dan dipindahkan ke ruang perawatana.
“Saya akan meninggalkan beberapa pengawal khusus untuk teman anda di sini sampai situasi benar-benar aman.”
“Terima kasih,” balas Zaki lalu mengulur tanga pada Brian. Diikuti oleh Savira dan Pahlewa.
“Kamu sebaiknya pulang, Vira. Shindu pasti cemas sama ibunya. Dari tadi dia nangis terus waktu tau kamu dibawa pergi sama penjahat-penjahat itu,” terang Pahlewa sambil menyerahkan kopi yang ia belikan.
“Bahkan sampai Mas Zaki datang pun dia tetap tak bisa ditenangkan,” pungkasnya.
Savira tersenta, menyadari karena situasi Langlang yang buruk ia jadi melupakan anaknya.
“Makasih udah jaga anakku, Mas. Shindu pasti ketakutan banget.”
“Iya. Sebaiknya kita pulang. Langlang dan Pahlewa juga sudah ada yang menjaga.”
“Benar. Nanti aku kabari kalau Langlang sudah siuman.”
Savira mengangguk lalu ia dan Zaki pun pulang. Sayangnya, karena hari sudah gelap, Shindu yang sudah tidur tak dapat Savira temui langsung.
“Kamu nggak papa, Vira?” Caroline terlihat cemas juga.
“Nggak papa, Mbak. Langlang yang terluka.”
“Syukurlah. Terus kondisi Langlang gimana?”
“Operasinya berhasil. Kita juga pulang setelah dia dipindah ke ruang perawatan, Yang,” terang Zaki.
“Ya udah. Kamu ganti baju dulu. Mbak hangatkan lagi makanan di dapur, ya.”
“Nggak usah, Mbak. Aku nggak lapar.”
“Tapi kamu pasti belum makan dari tadi siang. Setidaknya isi perut kamu dengan sesuatu sebelum tidur.”
Savira mengangguk patuh sebelum berlalu menuju kamarnya.
Tatapannya jatuh pada tubuh sang anak yang langsung menggeliat begitu Savira menjatuhkan ciuman di kening dan pipinya.
“Bunda?”
“Iya. Ini Bunda, Sayang. Bunda udah pulang. Maaf, ya, jadi bangunin kamu.” Savira tersenyum manis.
“Bunda beneran udah pulang ‘kan? Penjahatnya udah habis?” Savira terkekeh namun kepalanya mengangguk begitu saja.
“Bunda nggak akan diculik lagi sama orang ‘kan?” Savira terkekeh lagi lalu menggeleng dan merentangkan tangan pada anaknya tersebut.
“Shindu takut. Shindu takut Bunda nggak pulang lagi.” Tangis bocah laki-laki yang akan berusia enam tahun sebentar lagi itu pun pecah.
“Jangan nangis, Sayang. Bunda udah di sini. Bunda nggak akan dibawa orang jahat lagi.”
“Huwaaa… Shindu takut, Bunda. Shindu takut Bunda dijahatin sama orang jahat.”
Savira mengecup puncak kepala Shindu dan mempererat pelukannya.
“Maafkan Bunda, ya, udah bikin Shindu cemas. Makasih udah jadi anak hebat dan nurut sama Om Lucu dan Daddy tadi.”
Shindu mengangguk tepat saat pintu diketuk dan Caroline membawakan sup serta tempe mendoan kesukaan Savira.
“Udah mandi Savira?”
“Udah, Mbak.”
“Bunda mau Shindu suapin, nggak? Bunda ‘kan pasti capek tadi habis lawan penjahat.”
“Siapa yang bilang gitu?”
“Kata Om Lucu. Terus Om Lucu juga bilang Om Baik pasti nanti jagain Bunda.”
Caroline mengusap puncak kepala anak itu sebelum berlalu dan meninggalkan waktu untuk mereka bisa berduaan.
Savira mendekatkan mulut dan menerima suapan Shindu yang penuh perhatian sambil mengobrol banyak hal.
Tepatnya Savira menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Shindu untuknya.
Tentang bagaimana akhirnya ia selamat dan juga lepas dari penjahat-penjahat itu dengan bantuan Langlang dan tentu tanpa menjelaskan aksi tembak-tembakkan yang terjadi.
“Shindu mau ketemu Om Baik, Bunda. Mau bilang makasih karena udah jagain Bunda.”
“Iya, nanti kalau Om Baik udah pulang ke rumah, ya. Sekarang ‘kan masih di rumah sakit. Shindu belum boleh ke sana.”
Shindu menganguk patuh. Dan setelah itu Savira yang baru bisa menjenguk dua hari kemudian mendatangi rumah sakit tempat Langlang di rawat.
Ia langsung masuk ke dalam kamar perawatan yang dijaga dua orang pengawal yang langsung mengenalinya.
“Mas Lewa ke mana, ya?” gumam Savira lalu meletakkan keranjang buah yang dibawanya ke atas nakas di samping tempat tidur.
Langlang tampak terlelap pulas meski posisi tubuhnya setengah duduk.
Sayangnya, pergerakan Savira yang membuat Langlang terjaga reflek membuka mata dan menarik tangan Savira hingga tubuh wanita itu jatuh ke atas pelukan Langlang.
Wajah mereka kembali berdekatan. Dan Savira jadi ingat adegan malam itu.
Namun karena tak sempat mengelak, Langlang yang mendekatkan wajahnya berhasil mengecup bibir Savira dengan cepat.
“Kenapa baru datang? Aku rindu kamu.”
Savira yang sempat tergugu bergegas mendorong Langlang ketika menyadari situasinya. Ia juga langsung melayangkan tamparan sambil menatap Langlang penuh amarah.
“Saya nggak akan lupa kebaikan anda yang sudah menolong saya. Tapi bukan berarti anda bisa memperlakukan saya seperti tadi.”
“Savira… ma–“
Savira sudah berlalu dan membuka pintu tepat ketika Pahlewa juga datang.
Langlang berteriak. Namun tak dipedulikan Savira. “Savira tunggu! Saya minta ma–“
“Vira? Kamu kapan da–“
“Aku pamit dulu, Mas. Aku harus kerja,” kilahnya membuat Pahlewa menaikkan sebelah alisnya ke atas.
Bukankah Savira bilang tadi kalau ia akan menuju kemari setelah pulang bekerja? Lalu kenapa ia berkata seperti itu?
Pahlewa yang tertegun akhirnya tak sempat mengejar Savira dan menghampiri Langlang.
“Dia kenapa?”
Dan sedetik kemudian Pahlewa baru menyadari pipi Langlang yang kemerahan seperti habis ditampar.
“Pipi lo kenapa?”
Langlang mendesah pelan sebelum akhirnya memilih merebahkan tubuh lagi dan menutupinya dengan selimut. Membuat Pahlewa jadi bingung dan berakhir gemas dengan menarik selimut sahabatnya itu.
“Lo digampar Savira?”
“Puas lo!”
Pahlewa terbahak. “Diapain sampe Savira nampar gitu? Wah, lo m***m pasti, ya?”
“Gue cuma kangen dan cium dia.”
“Wah, b******n emang lo! Lo kira Savira cewek gampangan karena dia pernah nikah dan punya anak?”
“Nggak gitu. Kemaren malam setelah ditembak itu dia nggak nolak gue cium, Wa.”
“Masa, sih? Nggak mungkin. Lo ngelindur kali karena ketembak.”
Langlang mencebik lalu kembali berbaring memunggungi Pahlewa yang masih menertawakannya dengan puas.
Namun sudut bibirnya terangkat ke atas ketika mengingat wajah polos dan kaget Savira yang menerima ciumannya meski pipinya masih terasa perih karena ditampar Savira.