“Minggu depan ada employee gathering, Mbak, dari rumah sakit. Kalau aku titip Shindu nggak papa ‘kan?”
Caroline mencebik. “Ya nggak papa, dong! Kayak sama siapa aja sih, kamu tuh ngomongnya,” sahut Caroline sambil menumis bumbu di atas wajan.
“Tolong daging sama sayurannya, Vir,” imbuhnya sambil menunjuk mangkuk di dekat Savira.
Savira segera menyerahkan mangkuk beling berisi potongan daging ayam yang sudah diiris kotak-kotak kecil.
“Sebenernya aku nggak tega ninggalin Shindu. Tapi ini acara motivasi employee,” ujarnya lagi.
“Iya lah. Nanti Shindu di sana juga bosen.” Caroline lantas menerima mangkuk kedua yang kali ini berisi sayuran.
Ia memasak capcay kesukaan sang suami dan juga akan memasak menu lain untuk kedua anak kembarnya beserta Shindu.
“Nanti kita bisa liburan bareng lagi kalau mereka libur sekolah,” katanya kemudian mencicipi masakan yang ia buat.
Savira mengangguk lantas membantu Caroline mencuci peralatan masak yang sudah digunakan.
Setelahnya ia mulai membantu Caroline untuk membuat pasta meat ball dan macaroni cheese untuk si kembar Salma dan Selwa serta Shindu.
“Vir?”
“Iya, Mbak?”
“Kamu tolong telepon Mas Zaki, dong! Pulangnya suruh mampir beli buah ke supermarket. Mbak lagi pengen melon sama semangka gitu.”
Savira menatap Caroline dengan seraut berkerut-kerut heran.
“Mbak bukannya nggak suka melon, ya?”
Caroline tampak diam sejenak sebelu menjawab, “Iya, sih. Tapi nggak tau kenapa tiba-tiba pengen aja, Vira.”
“Mbak nggak lagi hamil?” celetuk Savira.
Caroline langsung tertawa. “Masa hamil. Aku ‘kan pake kontrasepsi.”
“Tapi bisa aja kebobolan, Mbak.”
“Duh, nggak ah. Kamu jangan bikin Mbak takut.”
“Kok takut? Takut nggak bisa bagi waktu sama kuliah?”
Caroline mengangguk. “Kasian nanti kalau aku hamil terus stres anaknya malah cacat. Mbak nggak mau, Vira.”
“Iya, sih. Ya udah. Aku selesain dulu macaroninya terus dipanggang habis itu baru telepon Mas Zaki.”
Caroline mengangguk. Savira sudah melangkah pergi meninggalkan dapur ketika Caroline kembali memanggilnya.
“Oh, ya, Vira…”
“Iya, Mbak?” Savira berbalik.
“Bilangin sama Mas Zaki juga belikan takoyaki yang deket kampus Mbak. Tapi jangan pake gurita sama udang isiannya.”
Lagi-lagi Savira dibuat heran. Tingkah Caroline mirip dengan wanita hamil yang sedang ngidam. Permintaannya banyak dan terkesan tak biasa.
Savira hanya mengangguk sebelum berlalu lantas bergegas mengambil ponsel dan menghubungi Zaki yang sedang dalam perjalanan mengantar menjemput Shindu.
“Halo, Vira!”
“Mas, Mbak Caroline kayaknya hamil.”
“Hah? kamu ngomong apa, Vira?” pekiknya.
“Mbak Caroline hamil.”
Alih-alih mengucapkan salam, Savira malah mengatakan hal itu ketika sambungan telepon mereka terhubung.
“Yang bener kamu?”
“Ya… nggak yakin juga, sih. Tapi barusan Mbak Caroline minta aku telepon Mas Zaki. Katanya nanti pulang dari sana beliin melon dan semangka. Terus beliin takoyaki di tempat biasa beli yang deket kampus. Cuma jangan pake daging gurita sama udangnya.”
“Hah? Dia langi ngidam apa?” Lagi-lagi Zaki dibuat heran.
Dalam keadaan sedang mengemudi, Zaki jadi tidak konsentrasi meskipun sambungan telepon sudah terhubung ke bluetooth handsfree di dalam mobil.
Zaki lantas menempikan mobilnya lebih dulu di sebuah jalan yang bisa digunakan untuk berhenti sebelum memastikan kalau apa yang didengarnya barusan bukan lelucon.
“Aku serius, Mas. Kalau bukan hamil apa coba?”
“Tapi Mbak kamu ‘kan pake kontrasepsi yang dipasang itu loh, Vir.”
“IUD?”
“Iya. Itu. Memangnya masih bisa?”
“Bisa aja, sih. Ada beberapa kasus kehamilan yang terjadi karena kebobolan kontrasepsi ada juga yang pakai IUD.”
“Maksud kamu pasangnya nggak bener?”
Savira tertawa kecil. “Susah jelasinnya kalau di telepon gini tuh, Mas. Nanti kalau pulang aku jelasin lebih rinci. Lagian belum pasti juga.”
“Terus buat memastikannya gimana?”
“Ya beli tespack dong! Atau ke dokter kandungan.”
“Vira!” terdengar suara Caroline di antara percakapan mereka.
“Eh udah dulu, ya, Mas. Mbak Caroline manggil. Jangan lupa pesanannya. Terus jangan lama-lama di apartemennya,” pungkas Savira berpesan.
“Iya.”
Zaki lantas melajukan kembali mobilnya ke arah supermarket sebelum menjemput Shindu di sekolahnya.
“Daddy beli semangka sama melon buat Om Baik?”
“Bu…” Zaki terdiam. Kalimatnya menggantung di udara.
Ia lantas menatap Shindu sekilas sebelum akhirnya tersenyum miring dan melanjutkan ucapannya.
“Iya. Itu buat buah tangan,” katanya lalu tersenyum jahat.
Sebuah ide gila muncul di kepalanya begitu saja. Ide untuk membuat Langlang cemburu pada Savira.
“Nanti di sana ngobrolnya jangan lama-lama tapi, ya. Bunda titip pesanan soalnya,” sambungnya.
“Bunda titip Daddy belikan apa memangnya?”
“Takoyaki. Tapi jangan pakai gurita sama udah loh katanya.”
“Bunda bukannya suka daging gurita sama udang, ya, Daddy? Di rumah aja suka bikin udang sama gurita crispy.”
Zaki mengendikkan bahunya santai. “Daddy juga nggak ngerti.”
“Bunda kok aneh?”
“Daddy juga heran.” Shindu manggut-manggut saja. “Pokoknya nanti jangan lama-lama, ya, Daddy harus belikan pesenan Bunda kamu soalnya. Tempat yang jual takoyakinya suka antri. Nanti terlambat pulang dan bawa pesanan,” bujuknya sarat hasutan terselubung.
“Iya, Daddy. Shindu cuma mau ngucapin terima kasih aja, kok. Kan Om Baik udah nolongin, Bunda.”
Zaki mendesah dalam hati. Andai saja Shindu tahu kalau yang menyelamatkan sang bunda sebenarnya adalah Tuan Kagawashi dan perusahaan pengawal sewaan kakeknya, Shindu pasti akan lebih antusias melakukan hal ini pada pengawal Savira dan Tuan Kagawashi.
Tapi ya sudah lah. Zaki juga tidak ingin merusak suasan hati dan kebahagiaan Shindu yang terlihat bersemangat hanya untuk menjenguk seseorang yang sebetulnya tidak akrab dengannya.
Zaki tak ingin mematahkan hati pria kecil itu. Karenanya Zaki memilih untuk mematahkan hati pria yang akan ditemui pria kecil itu nantinya.
Membayangkan hal yang sudah direncanakannya berjalan dengan baik membuat Zaki jadi senyum-senyum sendiri.
“Daddy kok ketawa sendiri?”
“Ah, enggak. Nanti kalau ditanya kenapa pulangnya cepet-cepet bilang, ya, kalau Bunda titip pesanan yang tadi Daddy bilang,” ajarnya mengkordinasi Shindu dengan halus agar memuluskan rencananya jahilnya dengan sempurna.
“Okay, Daddy.”
Zaki mengusak puncak kepala Shindu dengan gemas sebelum mencubit pipinya juga.
Perjalanan yang berlangsung hampir dua puluh menit itu membawa mereka akhirnya tiba di komplek apartemen tempat Langlang tinggal.
Zaki tidak suka satu mobil dengan pengawalnya. Karena itu pengawal Shindu dan Zaki yang ikut di mobil terpisah langsung menghampiri begitu melihat keduanya turun.
“Tunggu di luar saja sebentar. Saya tidak akan lama mengunjunginya.”
Kedua pengawal itu mengangguk patuh lalu mereka mengikuti Zaki hingga naik ke lantai apartemen tujuan sambil membawakan semangka dan melon yang masih berbentuk bulat utuh dalam keresek.
Zaki lantas memencet bel apartemen Langlang dan Pahlewa begitu tiba di depan unit mereka.
Pahlewa juga ada di apartemen. Sengaja janjian dengan Zaki karena pria itu tidak mau bertemu dengan Langlang yang hanya seorang diri.
“Masuk, Mas.” Sapa Pahlewa setelah menyalami Zaki.
Mengangguk. Shindu juga ikut menyalami Pahlewa lalu menggandeng tangan pria itu saat masuk ke dalam.
“Duduk dulu, Mas.”
Menurut. Zaki menganggukinya dengan seraut wajah yang tampak sudah tak sabar dengan rencana jahilnya.
“Mau minum apa? Biar saya buatkan.”
“Nggak perlu, Lewa. Kami juga hanya sebentar. Savira titip pesanan. Jadi, saya harus segera membelinya sebelum pulang ke rumah,” ujarnya dengan ekor mata melirik ke arah kamar yang ia lihat.
Zaki lantas menatap ke arah Shindu dan mengusap kepalanya dengan lembut.
“Lagipula yang ingin menjenguk Langlang sebetulnya hanya Shindu. Karena itu Savira meminta saya mengantarnya.”
“Ah, begitu. Memang Saviranya ke mana, Mas?”
“Savira di rumah sedang memasak.” Zaki sengaja meperjelas dan meninggikan suaranya sejak tadi agar Langlang yang ia yakini ada di dalam kamar bisa mendengar semuanya dengan jelas.
“Baiklah. Saya panggilkan Langlang dulu kalau gitu.”
“Makasih, Om Lucu.”
“Sama-sama, Boy!” Pahlewa mengulurkan kepalan tangannya agar bisa beradu tinju dengan Shindu.
“Inget, ya. Nanti jawabnya kayak yang Daddy bilang,” bisik Zaki memastikan.
“Okay, Daddy!” Shindu membuat simbol okay dengan telunjuk dan jempolnya.
Zaki pun jadi semakin tak sabar melihat reaksi Langlang begitu mendengar apa yang akan ia ucapkan nanti.
“Hai, Shindu!” sapa pria itu kemudian. “Mau jenguk, Om, ya?”
Shindu mengangguk dan balas menjawab, “Halo, Om Baik.” Shindu juga menyalami pria itu dengan khidmat.
Langlang tersenyum hangat dan balas mengusap puncak kepala Shindu dengan lembut sebelum duduk di depan pria kecil itu.
“Om Baik udah sehat?” tanya Shindu perhatian.
Untuk anak seusianya, Shindu termasuk anak yang sangat sopan dan santun sekalin di banding anak-anak seusianya yang lain.
“Belum. Om Baik masih diperban. Nih!” unjuknya pada tangan yang masing menggunakan gip juga penyangganya.
Padahal luka itu bukan luka yang diakibatkan karena penculikan kemarin. Dan sebetulnya Langlang pun bisa menggunakan tangannya itu untuk beraktifitas meski dengan ruang terbatas.
Hanya saja Langlang memang ingin memanfaatkan hal itu agar membuat Savira merasa bersalah dan mau menuruti keinginannya waktu itu.
Zaki sendiri sudah merotasikan bola matanya dengan jengah setelah mendengar ucapan Langlang.
Sementara itu, Pahlewa yang berdiri tak jauh dari mereka pun melakukan hal yang serupa.
“Shindu ke sini mau jengukin, Om. Tapi nggak bisa lama-lama. Soalnya Bunda titip pesenan sama Daddy.”
Langlang menatap Zaki yang sempat tersenyum miring lalu berdeham.
“Iya. Savira minta dibelikan takoyaki. Tapi di tempat biasa kami membeli. Dan di sana biasanya antri. Kamu pasti tahu ‘kan penjual takoyaki di dekat kampus kalian?”
“Oh, di situ. Iya, Mas. Di sana memang antri. Takoyakinya enak. Ada saus tambahan juga,” sahut Pahlewa.
“Nah, benar ‘kan. Mana Savira juga minta pesanannya beda. Jangan pakai daging gurita dan udang katanya,” pertegas Zaki membuat Pahlewa mengerutkan alisnya.
Zaki tersenyum dalam hati. Pahlewa tentu lebih mengenal Savira karena perkenalana mereka yang sudah terjalin lama.
“Tapi Savira bukannya suka daging gurita sama udang, ya, Mas?” Pahlewa menatap Shindu. “Waktu itu Om pernah jajanin kamu sama Bunda juga ‘kan beli takoyaki. Musim dingin tahun kemarin. Shindu ingat, tidak?”
Bocah itu menerawang ingatannya ke masa lalu sebelum mengangguk dengan cepat dan semangat.
Jawab Pahlewa kali ini membuat Langlang ikut heran.
“Iya. Saya juga aneh. Belum lagi tadi dia juga minta dibelikan semangka dan melon.”
“Loh, tadi kata Daddy ini buat Om Baik. Kok buat Bunda?” Shindu ikut bicara.
“Iya. Ini memang buat Om Baik dan Om Lucu. Tapi cuma separuhnya karena Bunda kamu juga minta dibelikan tadi.”
“Tapi Bunda ‘kan nggak suka semangka, Daddy?”
“Daddy juga nggak tahu. Bunda kamu ‘kan suka semangka tapi minta dibelikan semangka. Suka gurita dan udang tapi minta takoyakinya tidak pakai udang dan gurita. Daddy jadi bingung ‘kan?”
Zaki kini menatap Langlang dan Pahlewa bergantian.
“Tadinya saya mau potong jadi dua. Separuh-separuh untuk kalian. Tapi karena takut telat jemput Shindu, saya tidak sempat menunggu karena antrian di konter buah penuh,” terangnya lalu menatap Pahlewa dengan tenang. “Kamu bisa potongkan separuhnya?”
“Boleh, Mas. Sini biar saya potongkan.” Pahlewa menerima tas belanjaan yang diberikan Zaki.
Bergegas ke dapur, ia mengambil pisau panjang dan besar untuk membelah semangka dan melon itu menjadi dua bagian.
Ukurannya buah yang dibeli Zaki memang cukup besar. Namun karena Pahlewa tahu di rumah Zaki ada istrinya juga kedua anak kembar mereka, maka Pahlewa hanya mengambil seperempat bagiannya saja.
Setengah potongan beserta seperempat bagian lain dari buah-buahan itu pun kemudian ia bukus dengan plastik wrap agar tetap segar sampai ke rumah Zaki nantinya sebelum dikembalikan ke dalam tas belanjaan.
“Maaf, ya, jadi merepotkan. Nggak enak juga bawa buah tangan tapi nggak pake bungkus yang baik.” Zaki pura-pura sungkan.
“Santai aja, Mas. Namanya juga repot. Mas datang ke sini saja saya sudah senang dan berterima kasih atas perhatiannya.
“Tapi saya cuma ambil seperempat saja. Saya baru juga beli buah-buahan. Takut tidak habis,” kilahnya diangguki Zaki dengan senyuman jahilanya.
Dan senyum sarat makna Zaki membuat Pahlewa berkernyit curiga sebelum akhirnya ia menatap Langlang yang kini terlihat pendiam dari biasanya dan kembali menatap Zaki yang tampak menahan senyumnya.
Pahlewa mendengus pelan. Mengerti apa yang dilakukan Zaki. Dan hal itu malah membuatnya ingin menjahili Langlang setelah tahu kalau sahabatnya itu sudah berani mencium Savira sebanyak dua kali. Bahkan di bibirnya.
Maka begitu Zaki pamit, Langlang yang menghampirinya langsung berkata kalau,
“Masa Savira hamil?”
“Terus kenapa kalau Savira hamil?” Pahlewa terlihat acuh sambil menyiapkan bahan makanan yang akan ia masak.
“Dia ‘kan nggak punya suami.”
“Terus menurut lo, siapa yang harus tanggung jawab? Lo? Masa cuma ciuman… ralat! Maksud gue lo cium doang masa Savira langsung hamil? Ya bapaknya lah yang mesti tanggung jawab,” kekihnya sengaja menjatuhkan mental Langlang.
Pahlewa tahu ucapanya melantur. Namun melihat ekspresi Langlang yang kesal, batinnya tertawa girang.
“Tapi mereka udah cerai.”
“Bukan urusan kita. Udah sana balik kamar!” usirnya. “Nanti gua panggil kalau masakannya udah siap saji.”
Langlang berdecak kesal lalu melepaskan penyangga lengannya dan melemparnya sembarang.
Pemuda itu lantas duduk di karpet sambil memegang stick PS-nya kemudian tenggelam dengan kesukannya tanpa mempedulikan omelan Pahlewa.
Sang sahabat hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
Langlang dengan sikap kekanakan dan cemburunya yang melangit membuat Pahlewa sangsi kalau pria itu memang sungguh-sungguh dengan perasaannya terhadap Savira.
Dalam hatinya, Pahlewa yakin kalau Langlang hanya mencoba membuka hati dan memulai hubungan yang baru untuk menyembuhkan lukanya.
Sayangnya hal itu tidak sejalan dengan apa yang Pahlewa yakini. Karena perasaan Langlang yang sangat memuja mantan kekasihnya dulu tak mungkin menguap begitu saja.