TUL 28 - Jarak

2417 Kata
Keadaan Shindu rupanya memburuk. Alih-alih pulih setelah berlibur, Shindu malah mengalami demam saat mereka baru saja tiba di pulau Jeju. Ya, Zaki mengajak keluarganya berlibur satu hari di pulau yang terkenal dengan keindahan wisatanya tersebut. Namun, karena kondisi Shindu yang demam, Savira memilih tinggal di vila mereka untuk merawat Shindu. “Kamu yakin nggak mau bawa ke rumah sakit? Ini bukan kali pertama Shindu gini karena masalah perutnya, Vira,” nasehat Caroline. “Iya, Mbak. Tapi aku rasa belum perlu. Kita tunggu satu hari lagi. Besok kita juga pulang, ‘kan? Shindu nggak mungkin di rawat di rumah sakit di sini.” Zaki sendiri ada pertemuan bisnis dengan relasinya. Sedang anak-anak juga memilih tetap di villa dibanding pergi jalan-jalan. Mereka tidak mungkin jalan-jalan tanpa Shindu dan Savira. Karenanya Caroline pun memesan makanan khusus untuk mereka nikmati selama di villa. Anak-anak sendiri memilih berenang lalu nonton TV sejak pagi sementara mommy mereka mengurus keperluan di vila lalu gantian menjaga Shindu dengan Savira. “Kamu makan dulu, gih! Biar Shindu mbak yang jaga.” Savira menggeleng. Air matanya tiba-tiba saja membanjir. Bukan kali pertama Savira merasakan hal seperti ini. Dulu, setiap kali Shindu sakit, Savira selalu merasa bersalah dan menangis tiba-tiba. Caroline lantas memeluk dan menenangkan wanita itu. “Shindu pasti baik-baik aja. Dia anak kuat. Imunnya lagi nggak baik aja. Kamu makan dulu, ya?” “Bunda.” Suara lirih Shindu yang memanggilnya membuat Savira bergegas mendekati sang anak. “Iya, Sayang. Bunda di sini. Shindu mau apa?” “Mau minum, Bunda. Haus.” Caroline mengambilkan botol minum khusus yang selalu dibawa anak-anak jiga bepergian. Memudahkan mereka untuk minum karena sudah dilengkapi dengan sedotan. “Shindu mau apa lagi?” tanya Caroline lembut sambil mengecek suhu tubuhnya. Savira bahkan menempelkan plester pereda demam tidak hanya di kening, tapi di pundak, paha dalam juga telapak kaki Shindu. Namun demam pria kecil itu tak berkurang sedikitpun. “Shindu mau bobo lagi, Mommy.” “Shindu nggak mau makan? Shindu belum makan dari pagi. Tadi Shindu ‘kan muntah.” Kepalanya menggeleng begitu merebah di atas bantal. “Ngantuk Mommy. Mau bobo aja.” “Ya udah. Tapi nanti kalau bangun Shindu maem, ya. Mommy buatin bubur kentang kesukaan Shindu. Mau, ya?” “Iya, Mommy.” “Ya udah. Bobo lagi ditemenin Mommy, ya. Bundanya biar maem dulu.” Shindu menoleh pada Savira yang buru-buru menghapus air matanya. “Bunda mam dulu, ya. Shindu sama Mommy dulu,” ucap Savira bergegas. Kepala Shindu mengangguk lemah. Kelopak matanya pun perlahan kembali terpejam. Wajahnya mendusel di d**a Caroline. Savira sendiri langsung bangun dan keluar untuk mencari makanan. Ia tahu kalau dirinya sampai sakit, maka selain Shindu juga akan ikut sedih, ia mungkin tidak akan bisa merawat Shindu karena sama-sama sakit. Karenanya Savira memaksakan dirinya makan meski nafsu makannya tidak ada sama sekali karena kondisi Shindu yang turun naik. “Lho, Salma sama Selwa lagi apa?” Savira yang tiba di ruang makan terkejut saat melihat kedua anak kembar Zaki dan Caroline sedang sibuk menyiapkan meja makan. “Sini Tante Savira!” sahut Salma melambaikan tangan sementara kembarannya sibuk mempersiapkan daging yang akan dibakar. “Kalian nyiapin ini berdua?” Mereka menggeleng. “Kita cuma diminta buka bungkusnya aja terus pindahin ke piring. Tadi katanya mau manggil Tante Savira dulu.” Kedua gadis itu melakukan apa yang diperintahkan mommynya dengan baik. Caroline sudah menata meja dan piring sementara juga panggangan daging sebelum kedua anak kembarnya menyajikan semua menu makanan yang akan mereka panggang. Savira jadi merasa bersalah. Harusnya mereka liburan. Tapi karena Shindu yang sakit semuanya memilih tetap tinggal di villa dan memesan makanan dari luar. “Sini biar Tante Savira bantu. Kalian mau makan yang mana?” Mereka lantas menunjuk daging yang akan dibakar dengan saus yang mereka inginkan. Ketiganya lantas melahap daging-daging yang sudah matang itu bersama seladah bokor yang membungkus daging. Setelah membereskan bekas makan mereka dan mencuci sebagain perlatan makan yang sudah dipakai, Savira menata meja kembali seperti sebelumnya agar Caroline bisa makan dengan tenang. “Mbak, aku udah siapin makanan di meja. Mbak makan dulu. Tadi aku udah makan sama anak-anak.” Shindu masih terlelap. Suhu tubuhnya belum turun sama sekali. Membuat Caroline juga ikut cemas. “Nanti Mas Zaki pulang bawa dokter. Mbak makan terus siapin bubur buat Shindu, ya. Nanti dibangunkan. Dia harus makan biar pencernaannya nggak kosong.” “Iya, Mbak.” Savira mengangguk patuh lalu berbaring di samping Shindu. Dan begitu dokter yang memeriksa Shindu menyarankan agar bocah itu dirawat di rumah sakit, Savira menolaknya. “Saya perawat. Resepkan saja obat-obatan yang diperlukan. Infus dan obat suntik saya bisa melakukannya sendiri.” “Tapi Vira–“ Caroline mengusap lengan sang suami dengan lembut diikuti gelengan kepala. Tanda bahwa mereka harus menuruti Savira. Zaki mendesah pasrah. Caroline meminta dokter untuk melakukan apa yang Savira minta. Meski sudah terbiasa merawat pasien yang terluka parah bahkan melihat kematian pasien selama ia bekerja, nyatanya melihat keluarga terutama anak sendiri mengalami hal yang serupa membuat Savira tak sanggup membiarkan Shindu di rawat di rumah sakit tanpanya. Apalagi mereka sedang di luar negeri. Jika Shindu harus masuk rumah sakit, maka Shindu harus di rawat di rumah sakit tempat Savira bekerja. Agar Savira bisa merawatnya selama dua puluh empat jam. Wirya yang mengetahui cucunya sakit pun meminta Zaki menyewa pesawat pribadi agar kepulangan mereka lebih nyaman. “Nggak usah, Mas. Shindu bisa naik pesawat umum aja. Ada aku. Nggak masalah.” “Tapi Mbak Rara yang minta. Dan pesawatnya pasti sudah ada,” ucap Caroline. “Mama sama Papa jadi repot, Mbak.” “Vira, Shindu cucu tunggal mereka dari mendiang Satya. Wajar kalau Mas Wirya pengen yang terbaik karena dulu dia nggak bisa memberikan semua itu untuk Satya.” Semua orang tahu kisah hidup Wirya dan Satya yang justru baru dipertemukan dan saling mengetahui hubungan mereka setelah Wirya menikahi Rara, mantan kekasih Satya yang saat itu hamil namun ditinggal pergi oleh Satya, tepat sebelum pernikahan mereka digelar. “Sebaiknya kita beres-beres, biar besok pagi kita bisa langsung balik ke Seoul dan pulang ke Jepang,” pungkas Caroline. Savira tak bisa membantah lagi jika kedua mertuanya sudah bertindak seperti itu. Bahkan begitu mereka turun dari pesawat, ambulans sudah menjemput di bandara dan langsung membawa Shindu menuju rumah sakit tempat Savira bekerja. Savira hanya bisa pasrah. Tubuhnya serasa tak bertulang ketika dokter mengatakan kondisi Shindu bisa semakin parah jika tidak ditangani secara intensif. Karenanya selama lima hari kemudian, Savira tidak pulang ke rumah karena menjaga Shindu. Zaki dan Caroline bergantian mengunjungi mereka namun tidak diperkenanan menginap oleh Savira mengingat kesibukan masing-masing. “Nggak papa, Mbak pulang aja. Kasian anak-anak.” “Tapi kamu sampai mimisan, Vira. Kujira yang bilang sama, Mbak.” “Aku udah biasa, Mbak. Kalau aku ninggalin Shindu juga aku nggak tenang.” Caroline mendesah pelan. Savira meraih telapak tangan Caroline. “Mbak udah repot kuliah, ngurus rumah dan anak-anak. Nggak usah direpotin lagi sama urusan Shindu.” “Kamu nih, kayak kami nggak boleh jagain Shindu aja.” “Bukan gitu maksudku, Mbak. Shindu tanggaung jawab aku. Jadi biar aku yang jaga. Mbak cukup ke sini jenguk aja. Jangan jadi repot. Nanti kalau perlu bantuan, aku memangnya mau hubungin siapa lagi kalau bukan kalian,” bujuknya. “Ya udah. Tapi kamu juga harus jaga kondisi. Ya? Vitaminnya diminum. Mbak udah suruh pengawal ngawasin kamu.” “Iya. Mbak doain juga, ya.” “Nggak usah kamu minta. Shindu tuh anak Mbak juga.” Savira tersenyum meski sorot matanya memancarkan kelelahan dan kecemasan yang belum berakhir. Tubuhnya terbelah menjadi dua. Ketika ia bekerja, maka Shindu dijaga perawat dan pengawal mereka berdua. Dan setelah selesai bertugas, maka ia akan bergegas menghampiri Shindu dan merawatnya sampai shift kerja baru keesokannya. “Mas Lewa. Lagi apa di sini? Siapa yang sakit?” Mereka berpapasan di lorong rumah sakit ketika Savira baru keluar dari ruang ganti keesokannya. “Langlang lah. Siapa lagi.” “Kontrol?” Pahlewa mengangguk. “Terus, orangnya ke mana?” “Ke ruang perawatan Shindu. Beberapa hari lalu aku ketemu Mbak Caroline di kampus. Katanya Shindu sakit, makanya sekalian mampir. Kamu mau ke sana?” Savira mengangguk. Dan begitu keduanya tiba di ruang perawatan anak, Shindu tampak sedang tertawa sementara Langlang duduk di bangku di samping tempat tidurnya. Namun yang mengagetkan Savira bukan itu. Tapi ada sosok lain yang duduk di samping tempat tidur Shindu yang lain. Dan keduanya menoleh kompak begitu pintu terbuka. “Tuan Kagawashi. Anda di sini?” “Menjenguk anakmu. Tuan Zaki yang bercerita,” jawab Kagawashi datar. Batin Savira mengernyit. Untuk apa Zaki bercerita kalau Shindu sakit dan dirawat di rumah sakit. Namun, bukan itu yang kini menarik perhatian Savira. Rupanya kehadiran Tuan Kagawashi diterima begitu saja oleh Shindu. “Bunda, kata Om ini…” Shindu mendongak pada Kagawashi. “ Maaf. Tuan siapa namanya?” tanya Shindu dengan bahasa Jepang yang tak terlalu fasih. “Kagawashi.” “Ah, iya. Kata Om Kagawashi nanti kalau Shindu udah sembuh dibawain lagi truk eskrim ke sekolah,” sambungnya antusias. Savira tersenyum di ujung termpat tidur di samping Pahlewa. “Iya. Tapi Shindu harus sembuh dulu. Nanti baru bisa makan eskrimnya, ya?” “Iya, Bunda. Om Baik juga bawain ini loh, Bunda. Lihat!” Shindu mengangkat toples plastik berisi kertas warna warni yang sudah dibentuk origami berbagai macam hewan. Wajah pria kecil yang masih tampak pucat dan lemah itu tersenyum lebar dengan seraut sumringah saat memamerkannya. “Kata Om Baik kertasnya nanti boleh dibuka lipatannya biar Shindu bisa ngikutin belajar bikin yang sama. Kalau nggak bisa, nanti Shindu boleh nggak main ke rumah Om Baik sama Om Lucu, Bunda?” “Boleh, Sayang.” Dan senyum Savira yang tulus dan hangat pada sang anak kini justru membuat kedua pria yang duduk di samping tempat tidur Shindu menatapnya dalam. Savira yang merasa diperhatian lantas menatap ke arah Kagawashi lebih dulu. “Saya pamit.” Savira menganggukkan kepalanya. Kagawashi menatap Shindu yang mendongak padanya. “Lekas sembuh. Sampai berjumpa di sekolah nanti.” “Iya, Tuan Kagawashi. Terima kasih.” Shindu membungkukkan badannya yang sedang setengah duduk dengan posisi kaki selonjoran. Kagawashi hanya balas mengangguk lalu mengacak-acak puncak kepala Shindu yang langsung dirapihkan oleh Langlang begitu Kagawashi keluar dan diantar Savira. Membuat Pahlewa menggeleng jengah. “Lebay lo!” “Diem lo!” “Kok bertengkar?” “Om ini emang nyebelin.” “Apalagi Om itu. Suka nggak jelas.” Keduanya saling mendengus sinis. Shindu yang tidak mengerti perdebatan kedua orang dewasa itu dibuat bingung. “Makasih, ya, Mas. Udah jengukin Shindu dan bawain mainan untuk dia.” Savira mengucapkannya namun dengan tatapan pada Pahlewa. “Vira?” Kali ini Langlang memanggilnya. “Iya?” “Saya mau temani kamu jaga Shindu. Boleh?” Savira terhenyak. Namun bukan menunggu jawaban Savira, pria itu malah menatap Shindu dan bertanya hal yang sama pada bocah itu. “Kalau Om temenin Shindu di sini boleh, nggak? Nanti kita bikin origami sama-sama.” “Om nggak sekolah? Om sama Om Lucu ‘kan masih sekolah. Nggak boleh bolos loh!” Dan jawaban itu berhasil membuat Pahlewa bahkan Savira terkekeh geli. Namun bukan Langlang kalau dia menyerah begitu saja. “Sekolah dong! Tapi sekolahnya Om ‘kan jadwalnya nggak kayak sekolah Shindu. Gimana? Boleh Om temenin? Sama Om Lucu juga. “Biar gantian jaga kamu. Tuh liat Bunda kamu matanya udah kayak panda. Nanti Bunda kamu lama-lama nyaingin panda matanya kalau tidur terus di sofa itu.” Savira yang ditunjuk begitu langsung mengeluarkan cermin kecil dari dalam tasnya dan mengarahkannya ke muka. “Nggak ih! Mana mata panda,” rutuknya membuat Shindu dan Langlang tertawa menang. Shindu semakin terbahak-bahak. “Bunda ‘kan cantik. Masa kayak panda?” “Aku kira kamu tuh nggak peduli sama penampilan, Vira. Ternyata….” Pahlewa geleng-geleng kepala. “Udah. Malam ini kamu pulang. Biar Shindu kita yang jaga.” “Tapi, Mas–“ “Tenang. Aku udah minta ijin sama Mas Zaki. Dia juga nanti ke sini.” Pahlewa lantas berbisik. “Mana bisa dia biarin Shindu sama cowok yang maksa jadi papa barunya.” Savira menatap Shindu. “Boleh nggak, Bunda? Kan nanti ada Daddy juga.” “Shindu nggak mau dijagain Bunda lagi?” rengek Savira lucu. Membuat pria kecil itu terkekeh dan merentangkan kedua tangannya seraya meminta Savira memeluknya. “Kata Daddy Bunda bisa sakit kalau bobo terus di sofa itu. Shindu juga udah sembuh kok. Udah bisa ketawa. Kata Bunda kalau Shindu udah bisa ketawa berarti Shindu udah sembuh, dong!” “Tapi Bunda mau sama Shindu. Mau jagain Shindu.” “Tapi nanti Bunda sakit. Shindu sedih kalau Bunda sakit.” Beberapa hari ini Savira bahkan sampai mimisan karena terlalu lelah bekerja dan menjaga Shindu. Karenanya begitu Zaki tahu kalau Pahlewa dan Langlang akan ke rumah sakit, ia meminta Pahlewa mencari cara untuk membuat Savira pulang ke rumah. Meski dengan itu ia harus melibatkan Langlang yang rupanya punya ide lebih baik. Setidaknya Savira bisa beristirahat dengan benar di rumah. Toh, kondisi Shindu juga sudah membaik. Karenanya Zaki merasa perlu membujuk Savira pulang agar wanita itu bisa beristirahat ful seharian. “Udah. Sana pul–“ “Om anter Bunda kamu ke mobil dulu, ya?!” sela Langlang lalu meraih tas Savira dan menarik tangan wanita itu hingga keluar kamar perawatan. “Dadah Bunda!” “Shindu!” “I love you, Bunda!” Shindu memberikan sun jarak jauh sebelum terkekeh karena kepergian Bundanya. “Nanti Bunda telepon, ya?” “Bunda bobo. Jangan telepon Shindu. Shindu mau main sama Om Baik dan Om Lucu.” Dan setelah itu Savira tidak bisa melihat lagi keberadaan putranya. “Lepas! Aku bisa jalan sendiri. Kamu apa-apan, sih?” “Pengawal kamu sudah menunggu dari tadi. Lelet!” desisnya sambil terus menarik tangan Savira dan berjalan keluar rumah sakit. “Tapi ngomong-ngomong. Kita kok jadi akrab, ya?” “Maksudnya.” “Aku kamu.” Langlang melirik Savira penuh arti. “Saya suka dengarnya.” Meski begitu Langlang tetap menggunakan kata saya saat berbicara dengan Savira. Bukan untuk memberi jarak. Namun untuk membuat wanita itu merasa benar-benar di hargani. “Lepas, Mas! Sakit.” “Sakit? Saya pegang kamu kekencangan, ya?” “Menurut Anda?” rutuk Savira jutek. “Maaf. Habisnya kamu bandel sekali disuruh pulang. Kenapa nggak gantian sama daddynya, sih, jaga anak? Bikinya ‘kan berdua. Masa rawatnya sendiri.” Savira merasa teraniaya dengan kalimat itu. namun alih-alih menjelaskan yang sesungguhnya, Savira hanya diam. Savira terus membiarkan kesalahpahaman di antara mereka tetap ada. Demi satu alasan, menjaga jarak hatinya yang mulai terusik karena kehadiran Langlang beberapa waktu ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN