TUL 10 - Rindu dan Tawa

2886 Kata
Bel pintu apartemen Savira terdengar dipencet seseorang dari luar. Baik Savira maupun Langlang yang semula duduk dan saling diam kompak saling menatap lalu bangun dari duduk mereka bersamaan. “Biar aku yang buka,” sergah Langlang. Savira mengabaikan permintaan Langlang dan langkahnya terhenti ketika pria itu menarik pergelangan tangan Savira. “Kamu di sini saja.” “Itu pasti Mas Zaki.” Langlang berdecak. “Tahu banget sih sama mantan suami.” Kerut di kening Savira berlimpat kentara. Langlang jelas belum tahu siapa Zaki yang sebenarnya. Namun, di situasi seperti ini masih saja pria itu bertingkah seolah mereka punya hubungan spesial. Savira tidak mempedulikan lagi. Ia menepis tangan Langlang dan segera menghampiri pintu lalu membukanya. Tampak Zaki dan Pahlewa yang datang bersamaan ke apartemennya. “Mas…” Panggilan itu jelas ditujukan pada Zaki yang kini menatapnya rumit lalu menghembuskan napas panjang sebelum masuk dan menghampirinya. Sementara itu, Pahlewa yang melihat sahabatnya ada di apartemen Savira juga tak kalah mendesah berat. “Kamu nggak papa, Vira?” Pertanyaan itu lah yang kemudian meluncur pertama kalinya dari mulut Zaki. Tangan Zaki sengaja mengulur ke belakang kepala Savira dan mengusap-usapnya penuh sayang, menimbulkan gemericik cemburu di dalam hati Langlang. “Dia daddynya Shindu.” Pahlewa berbisik santai sambil menyenggolkan bahunya ke bahu Langlang. Membuat sahabatnya itu berdecak pelan tanpa mengalihkan tatapannya dari Savira dan Zaki. Mereka lantas masuk dan duduk bersama. Savira duduk di sebelah Zaki di atas sofa sementara Langlang duduk di kursi kayu yang ia ambil dari dapur dan Pahlewa berdiri di dekat ketiganya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Mas ‘kan sudah bilang jangan berurusan dengan Kagawashi.” “Tidak perlu ketus begitu juga,” lirih Langlang masih bisa terdengar Zaki meski suaranya terdengar seperti desisan. “Saya masih bisa dengar. Kamu diam saja. Ini urusan keluarga saya,” balas Zaki dengan tatapan tegas. Langlang tersenyum miring. Mulutnya hendak membalas dengan mengatakan sesuatu namun lebih dulu ditahan oleh Pahlewa. Savira mengusap lengan Zaki seraya menenangkan pria itu sebelum menceritakan semua yang terjadi hari itu. “Maafin aku, Mas. Aku nggak bermaksud menyembunyikannya. Hanya saja–” “Jadi karena itu kamu biarkan Shindu di rumah?” Savira mengangguk pasrah. Zaki sengaja menarik kepala Savira ke dadanya. Merangkul bahu Savira dan mengusap-usapnya sayang sambil menatap Langlang dengan seringai mengejek. “Kamu pasti ketakutan. Harusnya kamu bilang sama Mas. Kamu anggap Mas ini apa?” “Maaf, Mas.” Meski sedikit aneh dengan sikap Zaki padanya, Savira membiarkan pria itu memeluk dan menenangkannnya, membuat Langlang mendelik sebal sambil mengepalkan tangannya di atas paha. Pahlewa hanya mengulum senyum samar melihat tingkah bodoh sahabatnya yang selalu saja terlihat t***l jika sedang jatuh cinta itu. “Begok!” umpat Pahlewa pelan. “Jadi bagaimana selanjutnya?” Langlang menyela momen Savira dan Zaki berpelukan. “Bagaimana apanya?” Zaki menaikkan satu alisnya ke atas. Ekpresi wajahnya jelas tak suka atas pertanyaan Langlang. “Kalian ya pulang. Memangnya apalagi yang mau kamu lakukan di sini? Savira urusan saya,” imbuhnya tegas. “Kalau anda lupa saya yang–“ “Saya sudah tahu dari Pahlewa. Saya berterima kasih karena kamu sudah menolong Savira. Tapi Savira ibunya Shindu. Dan saya daddynya Shindu. Jadi Savira sudah tentu menjadi urusan dan tanggung jawab saya dibanding kamu yang bukan siapa-siapanya.” Hanya Pahlewa yang bersorak girang di dalam hati melihat situasi perdebatan antara Zaki dan Langlang saat ini. Meski begitu, Pahlewa tetap memasang wajah datar ketika Zaki mengatakan hal itu pada sahabatanya. Bagaimanapun Zaki adalah keluarga Savira dari sejak wanita itu tinggal di Jepang. Karenanya, apapun yang menyangkut Savira sudah pasti jadi urusan Zaki. “Baiklah. Kalau kamu perlu bantuan lagi, telepon saja.” Langlang mengatakannya pada Savira. Namun gestur dan respon Savira terlihat datar dan tenang. “Terima kasih sudah menolongku.” Savira bangun dan mengambil termos yang ia letakkan sebelumnya di meja dekat sofa. “Ini teh herbal. Bagus untuk kesehatan. Bawalah dan minum dijalan. Mumpung masih panas. Dan tidak perlu dikembalikan termosnya.” Tentu saja. Langlang menerimanya dengan senang hati. Karena ia akan punya alasan untuk bertemu Savira lagi meski wanita itu memberi penolakan sejak awal dengan mengatakan kalau Langlang tak perlu mengembalikan termosnya tersebut. Bukan Langlang namanya kalau menyerah begitu saja. Ia lantas pamit bersama Pahlewa. “Mobil siapa?” tanya Langlang begitu mereka berjalan ke parkiran. Bukan ke arah halte bus. “Siapa lagi lo kira? Mobil gue?” “Mbak Intana di sini?” kedua bola mata Langlang membeliak sempurna. “Menurut lo?” Pahlewa mendengkus malas. “Mas Dian ada urusan bisnis di Jepang,” sambungnya lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudinya. Jemari Pahlewa lantas menekan tombol otomatis di samping pintu kemudi hingga kaca jendela tempat duduk di sampingnya turun. Kepalanya menunduk dan mengulur ke samping agar bisa melihat Langlang yang masih berdiri di luar. “Masuk cepet!” umpatnya kesal karena Langlang terus memperhatikan sekitar. Mencari keberadaan anak buah Kagawashi yang sempat dilihatnya tadi. “Iya bawel!” balasnya tak kalah sewot. Mobilpun melaju meninggalkan parkiran apartemen di mana Savira tinggal hingga tiba disebuah hotel mewah. Langlang menghela napas jengah. “Lo pasti yang ngadu.” Pahlewa mendengkus malas. “Nggak perlu gue ngadu juga kakak lo matanya di mana-mana. Lo kira gue bisa apa? Di bikin sambel goreng kentang bisa-bisa gue.” Langlang mencebik kesal. “Ketemu kakak aja macam mau ketemu malaikat maut. Dasar lebay!” imbuh Pahlewa lalu turun dan membanting pintu mobil agak keras. Bukan tanpa alasan Langlang bersikap seperti sekarang ini. Sudah yang kesekian kalinya sang kakak mengunjunginya di Jepang selama tiga bulan terakhir ini. Tentu saja Langlang senang mengingat ia dan sang kakak cukup dekat. Hanya saja, bukan kedatangan sang kakak yang membuatnya kesal. Ada hal lain yang Langlang yakini pasti akan dibahas oleh kakaknya. “Turun begok!” “Gue nggak begok anjing!” “Kalau nggak begok ya turun, t***l!” Jangan heran dengan umpatan dan gaya bicara mereka yang kasar kalau sudah saling kesal. Namun semua itu hanya mereka lakukan jika sedang berdua atau dengan teman dekat mereka yang lainnya. Keduanya lantas masuk ke dalam hotel setelah meminta petugas palet memarkirkan mobil. Mereka menaiki sebuah lift dan turun di lantai atas di mana restoran dan bar dari hotel tersebut berada. “Lang?” sambut seorang wanita sambil merentangkan tangan. “Ngapain ke sini lagi, sih?” dumal Langlang meski tetap membalas pelukan wanita tersebut. “Gitu banget sih sama, Mbak.” “Habisnya nggak bosen apa ngerecokin aku terus?” “Jaga bicara kamu dengan kakak sendiri,” desis seorang pria yang sedang duduk sambil terus fokus menikmati makan malamnya. “Selalu deh. Kalian ini,” gumam kakak Langlang. “Adik kamu ini yang selalu saja bikin aku kesal.” Wanita cantik yang sejak melihat Langlang langsung memasang senyum hangat itu tersenyum geli karena sikap suaminya yang selalu cemburu pada sang adik. Ya… dari sejak menikah, Langlang bagi sang kakak ipar adalah pengganggu dan saingan terbesaranya karena sang istri masih sering mengurusi adik bandelnya itu. Langlang memilih acuh lalu duduk di antara keduanya sementara Pahlewa duduk di hadapannya dan sudah sibuk membuka buku menu. “Kamu mau pesan apa? Kakak pesankan, ya?” “Nggak usah. Aku udah makan di rumah pacar aku.” Sang kakak langsung membulatkan matanya sementara tangan sang suami yang sedang mengiris daging terhenti begitu mendengar kalimat yang diucapkan adik iparnya tersebut. Sementara Pahlewa, pria itu sudah memutar bola malas dan memilih sibuk dengan buku menu makanan yang dipegangnya lagi. *** Savira yang dalam perjalanan ke rumah Zaki hanya diam sambil menatap jalanan yang masih ramai. “Kamu mau beli sesuatu buat Shindu?” “Hm?” “Kamu mikirin si belalang kupu-kupu itu?” Zaki sengaja mengubah pertanyaannya dan membuat Savira terkekeh dengan panggilan yang disebutkan Zaki. “Nggak. Aku masih mikirin masalahku, Mas. Seperti yang Mas bilang tadi, kalau hanya untuk merawat orang-orangnya, kenapa dia harus minta bantuan aku?” “Itu yang jadi pertanyaan Mas. Kelompok berpengaruh seperti mereka seharunya punya koneksi khusus. Termasuk dokter pribadi.” “Berhenti di depan dulu, Mas.” Savira tiba-tiba mengatakannya. “Mau ke mana?” “Beli cake dan roti aja buat Shindu dan anak-anak.” Zaki mengangguk lalu mengarahkan mobilnya ke sebuah parkiran sebelum turun dan berjalan balik ke arah yang sebelumnya ditunjuk Savira. Mereka membeli jajanan kesukaan Shindu juga kedua anak Zaki sebelum melanjutkan perjalanan dan tiba di rumah setengah jam kemudian. “Bunda!” “Kak Vira!” seru si kembar ikut menghampiri lalu menyalami Savira dan kembali ke tempat mereka bermain. Savira merentangkan tangan dan memeluk Shindu. “Bunda kok ke sini? Katanya kalau udah seminggu baru Shindu boleh ketemu Bunda,” cicit bocah laki-laki itu namun dengan kedua bola mata yang berbinar bahagia. “Bunda kangen sama Shindu.” “Kangen ayah lagi? Shindu udah bilang kok waktu mimpi ketemu ayah.” “Bilang apa?” “Bilang buat ketemu Bunda di mimpi.” Savira tersenyum sambil mengusap rambut hitam tebal anaknya tersebut. “Ayah lagi sibuk sama Tuhan mungkin ya di surganya. Makanya belum bisa ketemu Bunda.” “Tapi kok ketemu aku bisa?” “Soalnya kalau ketemu Bunda, pasti Bundanya nggak mau bangun. Jadi Ayah bakal lama ketemu Bunda di mimpi.” “Gitu, ya?” Savira mengangguk lalu mengecup gemas pipi pria kecil kesayangannya itu. “Kamu ganti baju dulu, Vira.” Caroline menyela momen pertemuan ibu dan anak itu. “Iya, Mbak.” “Shindu main dulu lagi sana sama onti-onti,” sambung Caroline diangguki pria kecil itu namun kembali menatap bundanya dan bertanya, “Bunda bawa apa?” “Bunda bawa cake sama roti kesukaan Shindu dan double onti. Makan, ya, sama double onti. Nanti Bunda nyusul.” “Asik! Makasih, Bunda.” Shindu mengecup kedua pipi Savira sebelum bangun dari pangkuannya lalu berlari menghampiri bibi kembarnya, menjinjing keresek kue yang diberikan Savira sambil memanggil kedua bibi kecilnya. “Jangan lari-lari, Shindu. Nanti jatuh,” seru Caroline mengikuti bocah itu sementara sang suami sudah berlalu ke kamar mereka sejak datang bersama Savira sebelumnya. Savira lantas membersihkan diri lalu menemani Shindu dan mengajak Shindu ngobrol tentang sekolah dan keseharian bocah itu selama dua hari ini tanpanya. Mendengarkan Shindu bercerita seperti candu, obat lelah Savira yang tak pernah bosan ia lakukan selama tiga tahun belakangan ini. Sejak Shindu mulai bisa bicara dan semakin menggemaskan. Dan menatap Shindu yang terlelap dalam pelukannya adalah obat lain yang selama ini memeluk luka hatinya yang rindu pada mendiang sang suami. “Maafin aku, Mas Satya. Aku nggak bisa jaga Shindu dengan baik,” lirihnya lalu mengecup puncak kepala Shindu dan memeluknya. Mencoba memejamkan mata sebelum sebuah panggilan masuk menggetarkan ponsel yang ia simpan di atas nakas. “Papa?” lirihnya kemudian menggeser tombol di layar penerima. “Assalamualaikum, Pa.” “Waalaikumsalam, Vira. Shindu sudah tidur?” tanya seorang pria yang wajahnya menatap teduh di layar ponsel. Namanya Wirya. Pria yang sudah akan berumur lima puluh tahun itu adalah mertua laki-lakinya. Ayah kandung dari mendiang sang suami. Baru Savira akan menjawab pertanyaan Wirya sebelumnya, layar ponsel sudah bergeser dan menunjukkan wajah lain yang membuatnya langsung tersenyum hangat. “Ma.” “Vira, kamu nggak kenapa-kenapa ‘kan, Sayang? Shindu gimana?” Savira tersenyum. Wanita yang baru saja bicara dengan cara yang terlihat panik dan cemas itu adalah mertua perempuannya. Namanya Rara. Usia Rara dan Wirya terpaut cukup jauh. Sekitar delapan belas tahun. Dan Rara ini dulunya adalah mantan pacar mendiang suami Savira yang kemudian menikah dengan Wirya, papa kandung dari mendiang sang suami karena sebuah tragedi. Savira sudah bisa menebak kalau kedua mertua yang masih dan selalu menganggapnya seperti anak sendiri itu pasti sudah mengetahui semua yang terjadi padanya dari Zaki. “Vira baik-baik aja, Ma. Mama apa kabar? Makin cantik aja,” kilahnya mencoba mencairkan suasana. “Kamu nih! Kok bisa, sih kamu berurusan sama penjahat kayak gitu?” omel Rara. Usia sang mama mertua hanya terpaut delapan tahun. Sementara sang papa yang belum genap berusia lima puluh tahun itu memang sudah menjadi ayah dari mendiang suaminya ketika belum berusia dua puluh tahun. Savira tersenyum pasrah. Mama mertuanya yang masih muda dan cantik sekali itu jelas menunjukkan kecemasan yang tak dibuat-buat. “Vira lagi nggak beruntung aja, Ma.” Rara langsung mencebik kesal. “Mulai besok kamu pake pengawal. Kali ini nggak boleh nolak. Papa udah nyuruh orangnya buat cari pengawal yang bagus buat kalian di sana. Inget, kamu nggak boleh jauh-jauh dari mereka. Mama bakal sering telepon kamu.” Savira tahu kedua mertuanya ini akan melakukan hal seperti itu. Jika dulu alasannya adalah untuk membantu Savira dan berhasil ditolaknya, kali ini Savira tak bisa mengelak lagi mengingat keselamatannya dan Shindu menjadi taruhan. “Iya, Ma.” “Dari dulu coba kamu tuh nurut sama Mama. Kan nggak bakal gini.” “Maaf.” “Sudah, Sayang.” Wirya yang sejak tadi hanya diam akhirnya bersuara ketika sang istri terus mengomeli menantu mereka. “Mas, ih! Aku masih mau ngomong sama Savira,” omel Rara ketika sang suami mengambil alih lagi ponselnya. Setelah itu terdengar suara pintu yang diketuk kencang. “Mama buka, ih!” “Duh, tukang ganggu dateng lagi,” rutuk Rara terdengar. Membuat Wirya hanya bisa geleng kepala sambil menatap sang menanatu di layar ponsel. Savira tersenyum ketika mendengar suara anak kecil perempuan di dalam percakapan layar mereka. “Wening, ya, Pa?” Wirya mengangguk. Wening adalah adik iparnya. Adik kedua dari Satya, mendiang sang suami. “Papa sudah urus semuanya. Kamu tinggal lagi dengan Zaki, ya. Ini demi keselamatan kalian,” nasehat Wirya lembut. Savira mengangguk patuh. Lalu tak lama terdengar lebih jelas percakapan mama mertuanya dengan sang adik ipar sebelum wajah keduanya muncul bersamaan. “Kak Vira! Shindu mana?” teriak Wening heboh. “Shindu udah tidur, Sayang. Wening kok belum tidur?” “Heh! Nggak boleh teriak,” omel Rara sambil mencubit gemas pipi Wening. “Apa ih Mama, mah!” “Apa ih Mama, mah!” ejek Rara yang sudah bisa menebak ucapan Wening, putrinya itu. “Papa, ih! Mama nakal!” “Papa, ih! Mama nakal!” “Mulai,” gumam Wirya. Sahut-sahutan antara sang mama mertua dan adik iparnya itu membuat Savira jadi terhibur dan terkekeh. “Mama jelek!” “Mama cantik. Kamu yang jelek!” “Ih, kalau aku jelek aku bukan anak Mama.” “Emang. Kamu mah netes dari apel.” “Papa!” “Papa!” Kali ini Savira tidak bisa menahan tawanya. “Tuh, diketawain Kak Vira. Cengeng!” “Mama juga cengeng waktu papa ke Amerika terus nggak diajak, wekkk!” “Aduh… aduh… aduh… tidur sendiri, ya. Nggak usah tidur sama Mama apalagi sama Papa. Papa punya Mama. Bukan punya kamu. Sana!” “Papa!” rengek Wening sambil memeluk Wirya erat. Wirya pun mengalah dan menyerahkan telepon genggamnya pada Rara sementara ia akan mengajak Wening menjauh dari pada terus berdebat dengan istrinya. “Papa ajak Wening tidur, ya. Besok Papa hubungi kamu lagi.” “Iya, Pa. Makasih. Sekali lagi maafin Vira udah bikin Papa dan Mama cemas.” “Salam dulu sama Kak Vira,” ujar Rara. “Dadah Kak Vira, Sayang. I love you. Muach… muach… muach!” ucap Wening sambil memberikan kiss bye genitnya. “Centil!” ejek Rara membuat gadis itu merungut. Savira terkekeh sebelum membalas, “Kak Vira juga sayang Wening. Bobo yang nyenyak, ya.” “Jangan ngompol!” imbuh Rara makin jahil menggoda anaknya. “Papa! Mama tuh kan!” “Papa! Mama tuh kan!” Savira dan sang Mama mertua tertawa. Sementara Wirya tampak menggeleng pasrah. Perdebatan anak perempuan dan istrinya itu memang sudah jadi keseharian keluarga mereka. Meski begitu, interaksi yang cukup berisik itu adalah bentuk ekpresi keduanya yang jelas sesungguhnya saling menyayangi. “Cium peluk mamanya dulu. Biar nggak nakal,” ucap Wirya. “Cium nih! Tapi jangan dilelewe (ngejek) lagi akunya.” Rara terkekeh. “Nggak.” Wening tersenyum puas. Namun hanya sesaat ketika Rara kembali menyahut, “Nggak janji!” “Papa!” “Papa!” “Sayang!” “Iya. Iya. Aduan! Manja banget, sih, Neneng geulis teh,” gemas Rara lalu memeluk dan mencium putrinya tersebut. “Papa dipinjem dulu, ya,” canda Wening terkekeh lucu. “Iya. Jangan lama-lama. Nanti uang jajan kamu Mama potong kalau kelamaan pinjem papanya.” “Pelit!” “Biar!” “Sayang!” Rara tertawa lalu mengusir suami dan anaknya. Ia lantas kembali menatap layar panggilannya dengan Savira begitu suaminya sudah pergi. Savira yang melihat pemandangan itu tampak tersenyum sendu. “Kangen ayahnya Shindu, ya?” Savira mengangguk sambil mengusap sudut matanya yang basah. “Pulang dong! Biar kamu bisa jengukin dia. Dia pasti kangen. Pasti bosen tiap ditengok diajakin ngobrol mulu sama adek-adeknya, terutama yang bawel dan cengeng tadi tuh,” kelakar Rara membuat Savira tersenyum haru. “Makasih, ya, Ma. Mama sama Papa masih nganggap Vira anak.” “Kamu ngomong apa, sih? Sampai kapanpun, kamu tetep anak Mama dan Papa. Meskipun nanti kamu nikah lagi.” “Vira nggak akan nikah lagi, Ma. Nanti Mas Satya marah.” “Nggak. Kecuali pria itu juga bener-bener sayang sama kamu dan Shindu.” “Tapi–“ “Mama udah denger dari Mbak Caroline, katanya ada cowok yang deketin kamu, ya? Siapa namanya? Ganteng mana sama ayahnya Shindu?” goda Rara membuat Savira spontan merajuk lalu keduanya tertawa. Percakapan hangat itu pun kembali tersambung dan tentu saja menghangatkan hati Savira yang merindu keluarga di tanah kelahirannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN