“Mommy, kok banyak orang serem?” cicit Selwa mengeratkan genggamannya di tangan Caroline.
Savira dan Caroline saling tatap begitu mereka keluar rumah. Semua orang di rumah itu akan sama-sama pergi ke tempat kerja, kampus dan juga sekolah.
Pasalnya, di depan halaman rumah mereka saat ini berdiri sekitar dua belas orang pria dengan tubuh kekar dan wajar dingin.
Dari penampilannya saja, Savira dan Caroline sudah bisa menebak kalau mereka pasti pengawal yang disewa Wirya, papa mertua Savira.
Namun Savira tidak mengira akan sebanyak ini pengawal yang di sewa oleh papa mertuanya tersebut.
Salah satu dari mereka lantas menghampiri dan tersenyum ramah sambil membungkukkan sedikit tubuhnya dan mengulur tangan pada Zaki.
“Saya perwakilan dari Kanuragan Bakti. Sesuai permintaan Pak Wirya, saya membawa sepuluh orang yang akan menjadi pengawal pribadi dari keluarga Pak Zaki mulai hari ini.”
“Sepuluh?” pekik Savira dan Caroline bersamaan.
Pria tersebut bisa berbahasa Indonesia cukup lancar. Membuat Savira bertanya-tanya dari mana para pengawal itu berasal.
“Bunda.”
Shindu menggoyang-goyangkan tangan Savira yang yang sedang menggenggam tangannya. Savira sendiri langsung menunduk untuk mempertemukan tatapan mereka.
“Pengawal itu apa, Bunda?”
Savira berjongkok agar bisa saling menatap lebih dekat dengan putranya tersebut.
“Pengawal itu orang yang nanti jagain kita ke mana-mana.”
“Kenapa harus dijagain, Bunda?”
“Biar nggak ada yang jahatin.”
“Emang siapa yang mau jahatin? Shindu ‘kan nggak nakal.”
“Em, nggak selalu ada orang yang jahat kok. Jagain Shindu biar nggak jatuh juga bisa. Om pengawalnya bantuin atau temenin Shindu main juga bisa.”
“Kan Shindu bisa sendiri? Kalau main ‘kan di sekolah Shindu main sama temen-temen. Di rumah sama onto-onti.”
“Iya, Bunda tahu kok. Anak Bunda ‘kan hebat. Tapi ini Eyang yang minta. Katanya Biar Shindu makin aman. Shindu mau ‘kan?”
Kepalanya langsung mengangguk patuh. “Shindu juga harus nurut sama om-om itu?” tunjuknya dengan dagu pada para pengawal yang berdiri dengan sikap tegap tersebut.
Savira sedikit cemas. Tiba-tiba saja ia takut kalau orang-orang itu disisipi orang-orang Kagawashi.
Savira lantas menatap ke arah Zaki. Seolah tahu apa yang dicemaskan Savira, Zaki bertanya langsung pada perwakilan dari perusahaan pengawal tersebut.
“Mereka berasal dari mana? Apa kamu bisa jamin kalau orang-orang yang kalian piliuh tidak disusupi orang-orang yang kami cemaskan akan mengganggu?”
“Saya jamin seratus persen. Semua sudah sesuai kontrak. Jika terjadi kesalahan dan hal yang merugikan Pak Zaki sekeluarga, anda bisa menuntut kompensasi juga pertanggungjawaban penuh dari kami.”
Zaki mengangguk yakin sekarang dan anggukan itu ia berikan juga pada Savira.
Savira lantas kembali menatap putranya dan tersenyum. Tangannya mengusap-usap kepala lalu menggenggam jemari Shindu dengan lembut.
“Shindu nanti kayak biasa aja. Boleh ajak omnya ngobrol kalau bosen. Kalau omnya ngajak ketempat lain yang Shindu nggak tau, atau nyuruh-nyuruh Shindu ngelakuin sesuatu yang nggak boleh dilakukan, Shindu nggak boleh nurut dan harus langsung telepon Bunda atau Daddy, ya?”
“Kalau ngajakin jajan boleh, Bunda?”
Savira terkekeh, begitupun dengan Zaki dan Caroline yang juga sedang menatap ibu dan anak tersebut.
“Jajan mulu, ih, Shindu!” ejek Salma.
“Kan sama kamu juga jajannya,” sahut Selwa kembarannya dan semua orang tertawa pelan.
“Boleh. Tapi kalau omnya nggak punya uang, Shindu yang traktir, ya?”
“Yaaaa… kan Shindu nggak punya uang, Bunda.”
“Nanti Daddy kasih tambahan uang saku.” Zaki menggendong Shindu dan mengecup pipinya sayang.
“Beneran Daddy mau tambahin uang jajan buat Shindu?” Zaki mengangguk. “Onti-onti dikasih juga nggak?”
“Onti-onti dikasih juga. Kan nanti jajannya bareng sama Shindu,” jawab Caroline lalu mencubit pelan pipi Shindu. Membuat bocah itu terkekeh lucu.
“Okay deh!”
“Yeaaayyy! Jajan,” seru anak kembar Zaki kemudian.
“Tapi Shindu harus nurut apa kata Bunda tadi, okay?”
“Okay, Daddy!”
“Sun dulu Daddynya?” pinta Zaki sambil mendekatkan pipinya. “Mommy?”
Shindu terkekeh lantas melakukan hal serupa pada pipi Caroline yang dibalas perempuan itu dengan ciuman lain yang bertubi-tubi lebih banyak.
Zaki dan Caroline memang sangat menyayangi Shindu. Mereka bahkan tak membedakan perlakuan seperti pada kedua anak kembar mereka.
“Nah, anak-anak… sekarang kalian boleh pilih mau pengawal yang mana yang akan menemani kalian.”
“Mommy, serem-serem,” cicit Selwa masih takut.
“Kok kita yang pilih Daddy?” tanya Salma heran.
“Iya, Mas. Kenapa anak-anak yang pilih?” Savira juga ikut penasaran.
“Setidaknya biarkan insting mereka memilih orang yang menurut mereka akan membuat mereka nyaman. Dan dengan cara acak seperti ini menganulir kemungkinan orang yang bisa jadi benar-benar disusupkan untuk mengganggu kita menjaga anak-anak.”
“Kamu masih belum yakin, Mas?” tanya sang istri.
“Ini hanya opsi. Tidak masalah bukan?” Zaki bertanya pada pria yang berbicara padanya tadi.
“Tidak masalah. Silakan saja. Keinginan klien tentu saja prioritas kami.”
“Good!”
“Tapi apa bisa mereka tidak mengenakan seragam formal seperti ini?” tanya Savira.
“Iya, saya setuju. Setidaknya pakaian mereka dibuat lebih kasual. Kami tidak terbiasa menggunakan pengawal. Setidaknya akan lebih nyaman jika mereka juga berpakaian seperti kami,” imbuh Caroline.
“Baik. Mungkin untuk hari ini saja karena tidak mungkin mereka ganti baju lebih dulu. Besok akan saya perintahkan semua pengawal untuk melakukan yang anda minta.”
“Lalu, apa sebanyak ini akan mengikuti kami kemanapun?” tanya Zaki.
“Tidak. Setiap orang akan menjaga satu orang. Sementara lainnya adalah back up sekaligus untuk tambahan mengawasi.”
“Bagus. Saya suka jika memang seperti itu,” sahut Zaki.
Begitu selesai, anak-anak di antar ke mobil lebih dulu. Shindu dan kedua anak kembar Zaki kini ditempatkan dalam satu sekolah.
Mereka lantas menaiki mobil van mewah yang diberikan oleh Wirya sebagai fasilitas baru tanpa antar jemput bus sekolah lagi.
Kondisi kehidupan mereka kini berubah drastis. Meski begitu, baik Zaki, Caroline dan juga Savira berhasil memberi pengertian yang baik kepada anak-anak mereka.
Tidak ada yang ingin berada dalam situasi mencekam dan setiap saat merasa cemas karena keselamatannya terancam.
Dan hal ini membuat Savira akhirnya berpikir ulang untuk mempertimbangkan kepulangannya ke Indonesia.
Mungkin memang sudah waktunya Savira kembali. Sudah terlalu lama ia meninggalkan mendiang suaminya sendiri.
Dan selama itu juga Savira tidak pernah mengunjungi makan Satya sejak tubuhnya menyatu dengan bumi.
“Senang-senang di sekolah sama teman-temannya, ya?”
Shindu mengangguk dan sekali lagi mengecup pipi Savira setelah mencium tangan sang Bunda.
Zaki, Caroline dan Savira lantas melambaikan tangan sebelum pintu otomatis mobil tersebut menutup perlahan.
Kini giliran Savira juga Zaki dan istrinya yang pergi dengan pengawal mereka.
“Ini mobil yang papa kasih, Mas?”
Zaki mengangguk. Mobil model jeep dengan harga miliaran itu adalah mobil yang diperuntukkan khusus bagi Savira.
“Apa ini nggak berlebihan?”
Zaki mengendikkan bahu santai. “Kayak nggak tau aja punya mama mertua cerewetnya kayak apa.”
Caroline langsung mencubit pinggang suaminya tersebut sambil mencebik.
“Mbak Rara cuma pengen menantu dan cucunya dalam keamanan yang baik, Vira. Mbak dengar mobil ini anti peluru.”
Savira mendadak merinding. Mendengar kata peluru, bulu kuduknya sontan berbaris rapih.
Pekerjaannya hanya seorang perawat. Tapi kenapa kehidupannya sekarang harus bersinggungan dengan sekelompok mafia yang masih belum jelas apa tujuan mereka mendekatinya.
Savira mendesah pasrah. Ia sudah berjanji semalam. Dan kini ia hanya harus membiasakan diri untuk menjalani semua kondisi ini.
***
“Duh, Mbak. Aku nih mau kuliah. Nanti telat,” rutuh Pahlewa karena kakaknya pagi-pagi sudah nangkring di depan apartemennya.
“Ya makannya itu Mbak anter. Daripada kamu naik bus atau kereta bawah tanah.”
“Ya ampun, Mbak. Aku tuh udah biasa.”
“Kalian nih, ya,” cebik Intana dengan wajah merungut.
Pahlewa memilih pura-pura memasang headsetnya agar masih bisa mendengar apa yang diocehkan kakak dari sahabatnya itu.
“Mbak, aku nih dapet beasiswa. Masa anak beasiswa naik mobil mewah gini. Nggak lucu. Nanti tindakanku menyakiti hati orang-orang yang nggak beruntung dan nggak bisa dapet beasiswa.”
“Apa hubungannya?”
“Ya adalah. Mereka pasti mikir, harusnya aku kuliah pake biaya sendiri biar beasiswanya bisa buat orang-orang yang lebih perlu.”
“Ya nggak bisa gitu dong! Kamu juga dapet beasiswa ‘kan nggak sembarangan. Proses dan tahap yang kamu lalui juga sama kayak yang mereka lalui. Kenapa kamu harus ngalah gitu?” omel Intana.
Pahlewa tersenyum miring. Sementara Langlang mendesah pasrah. Kakak kecintaannya ini memang terlalu serius menanggapi ucapannya.
Padahal Langlang hanya berkilah saja agar kakaknya itu tidak mengganggunya terus.
“Mampus!” desis Pahlewa di belakang Langlang.
“Mbak, aku ada ujian ini. Kalau terlambat waktuku buat mengerjakan soal bisa berkurang. Dan itu merugikan.”
“Makanya Mbak antar. Ya? Mbak ‘kan pengen liat pacar kamu.”
Langlang menoleh ke arah Pahlewa yang memicingkan mata dengan bibir berkedut-kedut tajam. Seraya memperingatkan sahabatnya itu untuk tak membongkar identitas Savira.
Langlang yang melihat hal itu malah mendapatkan ide bagus. Senyum miring menyebalkan seketika tersungging dan membuat Pahlewa menggeram kesal.
“Dia nggak kuliah, Mbak. Dia udah kerja.”
“Hah? Jadi dia bukan teman kuliah kamu?”
Langlang menggeleng. “Dia perawat yang merawat aku waktu sakit. Makanya itu aku jatuh cinta sama dia.”
“Beneran?”
Langlang mengangguk semangat. “Tanya Lewa.”
“Iya, Wa?”
Pahlewa mendengkus sesaat sebelum tersenyum kikuk ke arah Intana dan berkata, “Iya, Mbak. Tapi…”
“Tapi apa?”
Langlang yang sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan sahabatnya itu melotot tajam seraya memberi peringatan yang dibalas Pahlewa dengan seringai jahilnya.
“Langlang tuh sebenernya ditolak. Dianya aja yang sok ngaku-ngaku. Padahal nih, ya, Mbak… mantan su–” Pahlewa hendak merangkul Intana yang langsung dihadang Langlang.
“Udah telat. Ayo!”
“Apa, sih? Nggak usah sok–“
“Kita berangkat dulu, ya, Mbak.”
“Tapi, Lang. Mbak–“
Langlang mengecup pipi sang kakak dengan kilat.
“Nanti aku hubungi Mbak kalau bisa ketemu sama dia. Sekarang mending Mbak jalan-jalan aja belanja. Biar happy dari pada butek nunggu Mas Dian kelar ketemu kliennya.”
Langlang tersenyum lalu menarik Pahlewa dengan paksa hingga mereka semakin jauh dari Intana.
“Aku pergi dulu, Mbak.”
Pahlewa mengatakannya dengan setengah berteriak sambil dipaksa berjalan mengikuti langkah Langlang.
“Apa, sih, lo?” rutuknya sambil menepis rangkulan sang sahabat.
“Lo tuh, ya. Jadi sahabat nggak ada dukung-dukungnya gue.”
“Lha, kenyataan kan emang lo ditolak sama Savira.”
“Siapa yang ditolak? Kapan gue nembak? Gue memberikan pertanyaan kalau gue bakal berusaha membuat Savira jatuh cinta sama gue,” dengusnya.
“Gaya lo, monyet!”
“Diem lo, babi! Udah buru. Nanti telat kita.”
“Jangan bacot mulu! Jalan lah. Lo kata ngebacot bikin kita sampe cepet ke kampus?”
Langlang berdecak sebal namun setelah itu mereka saling lirik dan berlomba lari hingga sampai ke halte bus sambil tertawa-tawa.
“Awas lo! Balik jangan ke mana-mana,” ancam Pahlewa begitu mereka akan berpisah masuk kelas yang berbeda.
“Gue ada urusan.”
“Urusan apa?”
“Mau tau aja!” cebik Langlang lalu menjulurkan lidah dan berlalu ke kelasnya.
Dan seperti dugaan Pahlewa, Langlang yang selesai dengan perkuliahannya lebih dulu langsung menghilang begitu ia mencari.
“Dasar monyet t***l!”
Seseorang yang menempuk bahu Pahlewa dari belakang membuat pria itu berbalik.
“Mencari sahabatmu?” Pahlewa mengangguk. “Dia bahkan tidak ikut kelas terakhir.”
“Hah?”
Pria yang juga teman satu angkatan Pahlewa itu hanya terkekeh lalu melambaikan tangan ke udara sambil berjalan meninggalkan Pahlewa yang menggeram kesal.
Pasalnya Intana sudah berpesan padanya untuk membawa Langlang pulang dan makan malam bersama.
Tapi kini, sahabat menyebalkannya itu malah menghilang entah ke mana.
“Dasar monyet t***l! Susah-susah dapet beasiswa katanya biar bisa move on. Malah jadi begok lagi, ‘kan?”
Pahlewa lantas menghubungi Savira yang baru saja selesai dengan shift kerjanya.
“Iya, Mas?”
“Langlang sama kamu, Vira?”
“Nggak ada. Aku baru selesai shift kerja.”
“Oh, ya sudah. Kalau nanti kamu ketemu dia, hubungin aja rumah sakit jiwa. Biar sekalian ditangkep dan dikerangkeng tuh anak. Pecicilan banget!” rutuk Pahlewa di seberang telepon sana membuat Savira terkekeh.
“Memangnya dia bikin ulah apa?”
“Kakaknya lagi kunjungan bisnis ke sini. Tapi sekarang kami pulang nggak sama-sama,” adu Pahlewa.
“Nanti kalau ketemu aku kabari. Harusnya sih dia nggak perlu ke sini lagi,” terang Savira.
“Hm. Kalau kamu ketemu dia, anggap aja mahluk halus. Lewatin. Sama jangan lupa kamu ludahin ke kiri tiga kali biar dia minggat!”
Savira tak tahan untuk tertawa sebelum akhirnya mereka mengakhiri percakapan. Langkahnya menganyun cepat menuju parkiran karena sudah tak sabar ingin pulang dan bertemu dengan anaknya.
“Vira!”
Savira berbalik. Dan tak sempat mencegah begitu pengawalnya dengan cepat menghampiri Langlang.
“Aaarrggghhh!”
Kedua mata Savira membeliak begitu melihat pengawalnya memiting dan membanting tubuh Langlang ke tanah.
Pengawal Savira bahkan sudah akan mematahkan tangannya kalau saja Savira tidak berteriak,
“Berhenti!”
Alih-alih mencemaskan dirinya, Langlang malah menarik Savira ke belakang tubuhnya begitu Savira membantunya bangun.
“Siapa kamu?”
“Tangan kamu terluka. Ayo kita ke IGD.”
Langlang menggeleng sambil menoleh ke belakang.
“Kamu lari aja, Vira. Biar dia aku yang hadapi.”
Savira mencebik jengah lalu menatap pengawal yang tadi pagi mengantar dan menungguinya bekerja.
“Dia teman saya.” Namun pengawal itu seperti tidak percaya. “Tanyakan saja pada Tuan Zaki. Kami mengenalnya. Dia bukan orang jahat.”
Langlang mengerutkan kening. Pengawal itu mengangguk lalu mencegah Savira itu menolong Langlang.
“Biar saya yang antar ke IGD.”
Dengan gerakan yang memalukan pengawal Savira lantas menggendong tubuh Langlang seperti memanggul karung beras di pundaknya.
“Woy!”
“Berhenti!” cegah Savira merentangkan tangan menghalangi jalan keduanya.
“Kenapa, nyonya?”
“Kamu akan semakin melukainya jika menggendongnya seperti itu.”
“Tidak akan. Saya tahu.”
Savira menggeleng kukuh. “Turunkan. Papah dia ke dalam!” titahnya tegas dan diangguki sang pengawal.
Savira berjalan lebih dulu lantas pengawalnya dan Langlang mengekor di belakang.
Savira langsung meminta rekannya untuk memeriksa Langlang. Dan hasilnya tangan pria itu cidera dan harus digip untuk beberapa minggu ke depan. Membuat Savira memijat keningnya yang mendadak sakit.
“Kamu harus bertanggung jawab, Vira. Aku tidak bisa menggunakan tanganku kalau begini. Padahal aku hanya mau mengembalikan termos ini.”
“Aku sudah bilang bukan, tidak usah dikembalikan,” ketus Savira jengah.
“Tapi ini milik kamu. Dan sepertinya termos ini hadiah spesial. Ada inisial hurup S di dalam tutupnya.”
Savira membantu. Ia lupa kalau dulu ia membeli dan meminta penjualnya mengukir inisial namanya, nama sang suami juga nama anaknya dengan tinta emas metalik bertuliskan tiga hurup S.
Savira menerima termos itu dengan perlahan dan membuka tutupnya lantas memperhatikan dan membelai ukiran inisial nama keluarga kecilnya itu dengan jemarinya. Dan hal itu tak luput dari perhatian Langlang.
Bagaimana Savira menatap, menyentuh dengan jemari dan ekspresinya yang seketika berubah sendu.
“Mantan suami kamu bukannya bernama Zaki?”
Savira mendongak. Tatapannya datar dan terkesan hampa. Membuat Langlang sedikit tersentak sekaligus penasaran.
“Apa artinya triple S itu?” imbuh Langlang.
Savira menatap Langlang dengan lekat lalu bergumam dalam hati tentang arti dari inisial hurup S itu.
SSS.
Satya, Savira, dan Shindu.
“Vira?”
“Aku akan menghubungi Mas Lewa. Dia pengawal yang disediakan papa mertuaku. Maaf sudah membuat kamu terluka. Biar aku yang membayar semua biaya pengobatanya.”
Tangan Langlang yang sehat bergegas menarik lengan Savira dan membuat langkah wanita itu terhenti.
“Kamu baik-baik saja?”
Savira hanya menatap Langlang datar lalu menepis tangan hangat itu dan meninggalkan pria yang masih berada di atas tempat tidur ruang IGD tersebut dengan perasaan gusar yang penuh dengan tanda tanya.
Kenapa Savira terlihat begitu sedih?