TUL 9 - Tatapan Misterius

2032 Kata
Savira tidak mempedulikan ucapan rekan-rekannya yang sejak tadi terus meledek dan menggodanya karena ketahuan jalan berangkulan dengan Langlang. Di kepala Savira saat ini hanya ada sebuah pertanyaan yang bercabang menjadi banyak pertanyaan lain. Bagaimana Langlang bisa tahu soal anak buah Kagawashi. Ya, Langlang memang tidak menjelaskan atau mengatakannya secara gamblang. Namun, dari sikap yang tampak jelas membantunya, Savira yakin Langlang tau tentang hari itu. Savira hampir tidak bisa bekerja dengan fokus. Untung saja seharian ini ia hanya ditugaskan di IGD. Meski begitu, tetap saja tugas perawat di IGD sama sibuknya dengan tugas perawat di ruang operasi. Apalagi jika terjadi sebuah kecelakaan atau musibah lain yang melibatkan banyak korban. Savira bisa dua hari tidak pulang ke rumahnya. Kalau sudah begitu, maka Shindu akan bersama Zaki dan keluarganya. Jika situasi lebih tidak memungkinkan, Shindu bahkan dengan terpaksa dititipkan pada tetangga mereka yang sudah terbiasa membantu jika Savira terpaksa harus bergelung dengan pekerjaannya hingga waktu yang tidak ditentukan. Terkadang Savira merasa bersalah. Karena cita-cita dan balas dendam masa lalunya yang menyedihkan, Shindu ikut menjadi korban. Pekerjaannya sekarang ini memang cukup menyita waktu sekaligus komitmennya sebagai seorang ibu tunggal. Tapi kini apa yang ada di kepala Savira membuatnya benar-benar tidak bisa mempedulikan hal lain. “Aku harus tanya,” gumamnya sambil berlalu. Jam kerja Savira sudah usai. Ia bergegas keluar rumah sakit dan berencana menemui Langlang. Namun baru saja Savira akan menghubungi Langlang, pria itu sudah lebih dulu muncul di hadapannya sambil memasang senyum menyebalkan. “Lama sekali.” “Maksudnya?” “Ayo!” Langlang meraih jemari Savira seperti sebelumnya. Namun kali ini Savira menepisnya. “Kita harus bicara.” “Okay. Tapi nggak di sini. Ayo!” Langlang kembali mengulur tangan. Tatapan Savira beralih pada tangan yang rasa hangatnya masih bisa ia rasakan. “Setidaknya, dengan kamu bersamaku mereka tidak akan berani mendekat.” Savira masih menatap uluran tangan Langlang dan wajahnya bergantian dengan tatapan yang rumit. “Ayo, Vira. Aku janji, kita hanya–“ Kalimat Langlang terputus dan berganti dengan senyuman lebar ketika Savira menyambut uluran tangannya. “Kita makan dulu. Kamu juga belum makan ‘kan?” Savira menoleh dengan tatapan memicing sementara yang ditatap balas mengerling genit padanya. “Aku juga lapar. Pemeriksaannya lama sekali.” “Apa kata dokter?” Sedetik kemudian Savira menggigit bibirnya samar sambil merutuk dalam hati karena pertanyaan spontannya baru saja. Tapi Langlang tidak terlalu memperhatikan. Karena pria itu kemudian mengendikkan bahu santai. “Kamu pasti sudah bisa menebak saran dokter pada umumnya. Hanya saja menurutku dokter di sini memang sangat perhatian pada pasiennya.” Mereka terus berjalan sambil berbincang hingga tak menyadari kalau langkah keduanya sudah sampai di halte bus. “Kamu mau makan apa?” Savira menunduk, memperhatikan jemari mereka yang saling menaut. Savira hampir lupa kapan terakhir kalinya ia berpegangan tangan seperti ini dengan dengan seorang pria. Tentu, pria terakhir itu adalah mendiang suaminya. Ayah dari putra yang sangat ia cintai. “Vira?” Savira mengerjap ketika Langlang menggoyangkan jemari mereka yang saling menaut. Tiba-tiba saja wajahnya terasa menghangat. Alih-alih menatap Langlang, Savira mengalingkan pandangannya ke arah lain sambil berkata, “Terserah kamu.” “Okay!” jawab Langlang santai. Jemari mereka terus saling menggenggam hingga bus yang ditunggu tiba dan Savira melepaskannya ketika Langlang tak mendapatkan tempat duduk. “Mau duduk?” “Kamu mau dipangku?” Bola mata Savira membulat lucu. Dan hal itu membuat Langlang terkekeh geli. “Tidak ada tempat duduk lagi, Vira. Kamu mau mengalah buat aku?” “Apa salahnya? Kamu sedang sakit.” “Aku sudah sembuh. Duduk saja. Dari tadi aku duduk terus. Pinggangku sakit.” Savira tak mempedulikan lagi pria yang berdiri sambil menggenggam satu pegangan di atas kepalanya itu. Kemudian mereka turun di sebuah halte dan berjalan sambil kembali berpegangan tangan hingga tiba di sebuah restoran ramen yang dulu pernah menjadi tempat pertemuan mereka saat membeli ramen. Namun kali ini Langlang dan Savira sama-sama memesan bento untuk makan siang terlambat mereka. Tak ada yang bicara ketika keduanya fokus mengisi perut hingga Langlang menawari Savira untuk membungkus makanan lain. “Nggak usah. Aku cuma sendiri di rumah. Shindu di rumah Daddy-nya.” Langlang mengangguk. Mereka berjalan menunju stasiun kereta bawah tanah untuk bisa sampai di komplek apartemen yang Savira tinggali. Sesekali Savira mengamati sekitarnya yang tampak aman. Namun begitu Langlang berbisik dan memberitahu di mana anak buah Kagawashi berada, Savira lagi-lagi hanya bisa menghembuskan napasnya. “Kamu pulang saja.” “Kita belum bicara. Bukannya kamu ingin tahu?” Savira lupa kalau ia masih belum menanyakan apa yang ingin diketahuinya dari laki-laki yang kini menatapnya dengan tatapan rumit. “Tapi ini sudah sore. Kamu tidak punya pekerjaan lain?” “Soal itu kamu tidak perlu ikut repot.” Savira berjalan lebih dulu, masuk ke dalam lift dan membiarkan Langlang mengekorinya hingga masuk ke apartemen. Tanpa merasa perlu repot-repot membuatkan minum, Savira langsung mengajak Langlang duduk dan bicara sambil duduk berhadapan di sofa. “Hari itu aku melihat kamu diturunkan dari mobil.” Savira terperangah. “Jadi?” Langlang mengangguk. “Apa kamu punya masalah dengan mereka?” Savira menggeleng. “Kamu kenal mereka?” Langlang juga menggeleng. “Tapi aku kenal seorang teman yang keluarganya salah satu gangster di sini.” “Lalu?” Savira terlihat sangat penasaran hingga rasa antusiasnya untuk tahu membuat Langlang tersenyum samar. Bagaimana tidak, wanita yang dulunya jutek kita terlihat cukup menyenangkan saat diajak bicara. “Setahuku, orang-orang seperti mereka tidak akan mau berurusan dengan orang biasa yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan bisnis mereka. Kecuali….” Langlang sengaja mengantung kalimatnya sambil menatap Savira lekat. “Kecuali apa?” desak Savira dengan gestur resah. “Salah satu dari mereka menyukaimu.” Savira membeliak tak percaya sementara Langlang yang memang sengaja menjahili Savira langsung terbahak-bahak. “Nggak lucu!” rutuk Savira sambil melemparkan bantal sofa ke arah Langlang. “Eh!” Langalng menangkap bantal itu dengan cepat. “Lucu. Muka kamu lucu sekali.” “Nggak jelas!” “Jelas banget kok.” “Apanya?” “Muka kamu yang kesel tapi lucu.” “Terserah lah!” Dan wajah Savira yang merungut kesal membuat Langlang seketika melengkungkan senyum misterius. “Kalau aku yang suka, bagaimana?” “Bodo!” “Boleh?” “Terserah!” Langlang terkekeh. Dan seketika itu juga Savira menyadari sesuatu. Ia terjebak dengan pertanyaan pria yang sudah menyatakan perasaan untuknya beberapa waktu lalu. Savira berdeham kikuk. Lalu bangun dari duduk sambil memasang wajah jutek dan berkata, “Aku mau beres-beres.” Suara dan gestur tubuh Savira jelas menunjukkan pengusiran yang halus terhadap kehadiran Langlang. Langlang sendiri malah menatap jam di pergelangan tangannya. Ia lalu mengutak atik smartwatch berwarna hitam tersebut sebelum mendongak dan membalas tatapan Savira yang masih menunggunya. “Aku boleh tiduran di sini sebentar? Setelah itu aku pastikan kalau mereka pergi.” “Terserah kamu saja.” Savira memilih acuh. Langlang tersenyum sambil menatap punggung Savira sebelum merebahkan tubuhnya di atas sofa. Langkah Savira kemudian terhenti di depan kitchen set. Tatapannya tertuju pada sebuah termos minum yang biasa ia bawa jika dibutuhkan. Bagaimanapun Langlang sudah menolongnya. Savira tidak mau dianggap tidak tahu berterima kasih. Karena itu Savira membuatkan teh hijau yang ia masukkan ke dalam termos tersebut lalu meletakkanya pelan-pelan di atas meja dekat sofa yang Langlang tiduri. Napas Langlang terlihat teratur saat berbaring dengan posisi satu lengan diletakkan di atas keningnya. Savira mengamatinya sejenak sebelum kembali sibuk dengan pekerjaan rumahnya. Mumpung Shindu tidak ada di rumah, Savira membersihkan hampir semua sudut apartemen dan kamarnya kecuali area dekat sofa di mana Langlang berbaring. Savira tak mau mengganggu istirahat dan membangungkan pria yang sebetulnya tampak masih belum sehat itu. Ia juga membereskan barang-barang yang tidak terpakai dan mengumpulkannya ke dalam beberapa keresek agar lebih mudah dipilah sebelum dibuang natinya. Keresek-keresek itu lantas Savira letakkan di dekat pintu keluar apartemennya. Savira lantas masuk kamar dan membersihkan diri sebelum nanti ia akan memasak makan malam. Savira sudah berniat akan mengajak Langlang makan malam lebih dulu sebelum memintanya pulang. Namun ketika Savira keluar kamar, Langlang rupanya sudah tidak ada di tempatnya. Savira menghampiri pintu dan melihat keresek sampahnya juga sudah tidak ada di sana. “Apa dia buangin sampah ke bawah, ya?” gumamnya lalu mencari ponsel dan mencoba menghubungi Langlang. Namun belum tangannya berhasil menekan nomer telepon Langlang, pintu bel apartemennya sudah dipencet. Savira menjenggit kaget. Jantungnya mendadak berdebar. Takut kalau yang memencet bel apartemennya adalah anak buah Kagawashi. Langkahnya mengendap-endap pelan agar tak membuat orang di luar sana curiga. Savira juga mematikan lampu sensor yang menyala saat melewati rak sepatu lebih dulu agar semakin tak membuat orang di luar sana curiga. Dan begitu mengintip ke dalam lubang pintu, Savira mendesah lega karena yang memencet bel apartemannya adalah Langlang. “Kenapa nggak langsung masuk, sih? Aku pikir orang jahat,” omelnya setelah membukakan pintu. Satu alis Langlang terangkat ke atas satu. “Kamu ‘kan nggak ngasih tahu aku sandinya.” Savira tersentak. Merasa bodoh begitu menyadari apa yang dia ucapkan bahkan dengan nada yang terkesan mengomel. Mengalihkan tatapan, Savira segera berbalik dan meninggalkan Langlang yang kini mengulum senyum gelinya. “Vira, aku–“ “Makan malam dulu. Setelah itu baru kamu boleh pulang. Aku nggak mau pulang dari sini kamu malah sakit lagi.” Savira mengatakannya sambil menata meja makan dan tanpa menatap Langlang yang kini justru terlihat serius. Pasalnya pria itu ingin mengatakan sesuatu yang ia yakini pasti akan membuat Savira kaget. Tapi apapun yang terjadi, Langlang memang harus mengatakannya karena ia merasa takut terjadi sesuatu dengan Savira. “Kenapa masih berdiri? Kamu nggak suka sama masakan yang aku–“ Langlang menggeleng cepat. “Ada yang perlu aku katakan sama kamu.” “Apa?” “Ikut aku!” Savira mengerutkan kening sambil melipat kedua tangan di dadanya. Langlang menghampiri Savira yang masih duduk di meja makan dengan wajah yang mendongak padanya. “Ada yang harus kutunjukkan!” Kali ini Savira bangun dan mengikuti ke mana Langlang pergi. Dari jendela balkon apartemen Savira, Langlang menyibak sedikit tirai dan mengintip ke bawah. Tangannya yang satu segera menarik Savira seraya meminta wanita itu mengikuti apa yang ia lakukan. Savira mengulurkan kepalanya ke depan dan menunduk ke arah bawah. Kedua bola matanya membeliak sempuran. Sementara itu, Langlang yang berdiri dekat sekali dengan Savira seketika menahan napas begitu hidungnya menyentuh rambut Savira. Wangi yang menguar dari rambut Savira membuat Langlang mengabaikan pertanyaan Savira berikutnya. “Gimana ini? Kalau mereka terus begini, aku nggak bisa kerja dan Shindu bisa dalam bahaya.” Savira yang merasa Langlang tak merespon ucapannya pun seketika menoleh dan mendongak hingga jarak antara wajah mereka begitu tipis. Langlang menelan ludahnya dengan susah payah. Bola mata Savira yang sendu dan seolah memohon perlindungan padanya membuat Langlang seperti terhipnotis. Sementara Savira yang mengerjap berulang kali langsung melangkah mundur agar tubuh mereka tidak berdekat. “Eh, maaf. Kamu bilang apa tadi?” Savira mengendikkan dagu ke arah jendela balkon yang kini sudah tidak Langlang sibak lagi tirainya. “Mereka.” “Sebenarnya apa yang mereka lakukan sama kamu kemarin?” tanya Langlang. Savira merunduk sambil menggigit bibir bawah dalamnya. Ia tidak bisa mengatakan hal itu karena Kagawashi mengancamnya. “Vira.” “Sebaiknya kamu pulang. Biar aku yang atasi ini sendiri.” “Caranya?” Savira mendongak. Dan tatapannya kini menangkap senyum miring menyebalkan yang terukir di bibir Langlang. “Gimana caranya kamu mengatasi ini sendiri, hm? Sementara yang bisa kamu lakukan juga hanya menghindar.” “Bukan urusan kamu!” Savira memalingkan wajahnya. “Tidak bisa. Ini juga jadi urusanku.” “Kenapa?” “Karena mereka mengenaliku sebagai orang yang dekat dengan kamu sekarang.” Savira tidak memperhitungkan hal itu ketika Langlang mengajaknya bersandiwara di rumah sakit. Dan kini Savira hanya bisa mendesah pasrah saat menyadari hal tersebut. Savira melangkah ke meja makan dan duduk sambil meraup wajanya yang gusar. Langlang ikut duduk di sana. Namun tangannya dengan cekatan mengambilkan makanan untuk Savira. “Aku sudah telepon Pahlewa dan minta dia menghubungi mantan suami kamu. Mungkin sekarang dia sedang dalam perjalanan ke sini.” “Hah?” Savira memekik dengan bola mata membeliak sempurna. “Makan dulu. Setidaknya kamu butuh tenaga agar bisa kabur dari mereka bukan?” Langlang tersenyum manis. Senyum yang syarat ketenangan namun tampak berbahaya, membuat Savira mendadak takut karena pria itu kini terlihat misterius dan tak bisa ditebak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN