“Tangan kamu kenapa? Kok bisa gini, sih? Kamu ngapain?” Intana memekik heboh begitu melihat adik dan sahabatnya sampai di apartemen mereka.
Sang suami sedang duduk di sofa sambil menatap layar tab. Kepalanya menoleh malas begitu mendengar istrinya berseru panik.
“Kecelakaan.”
“Terus kenapa nggak ngabarin Mbak kalau kamu kecelakaan?”
“Cuma Jatuh.”
“Masa jatuh sampai digip gini. Dia kenapa, Wa?” Intana mencari penjelasan dari Pahlewa.
Sementara yang ditanya sendiri hanya mengendikkan bahu. Pahlewa sudah berjanji pada Langlang tidak akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Takut kalau Intana akan salah paham pada Savira nantinya.
“Mbak Tana sama Mas Dian ngapain di sini?” Langlang mengalihkan kehebohan kakaknya.
“Besok Mbak sama Mas Dian ‘kan udah pulang. Kita mau makan malam bareng di sini. Mbak juga tadi udah masakin setok makanan setengah jadi buat kalian. Jadi tinggal masak sebentar aja kalau mau makan.”
Intan mendekat lalu mengusap pelan tangan Langlang yang digip dan menggunakan penyangga lengan itu.
“Kamu tuh kecelakaan apa, sih? Terus yang bikin kamu celaka siapa? Kata dokter gimana?”
Intana terus mencecar adik kesayangannya itu dengan pertanyaan-pertanyaannya yang bernada cemas.
“Kalau Mama sama Papa tahu, nanti Mbak jelasinnya gimana?” imbuhnya.
“Ya, tinggal jelasin aja, sih, Mbak. anaknya pecicilan nggak jelas, makanya celaka,” dengus Pahlewa lalu berlalu ke kamar.
Ia sempat menyapa Dian yang kemudian hanya mengangguk dan bergumam membalasnya.
Langlang mencebik kesal pada sahabatnya itu. “Aku ganti baju dulu.”
“Mbak bantuin, ya?”
“Sayang.” Sang suami memperingatkan istrinya dengan suara tegas.
“Udalah. Aku bisa sendiri kok. Tanganku cuma luka. Aku nggak lumpuh. Nanti tambah babak belur bisa-bisa,” cibir Langlang lalu masuk ke dalam kamarnya tanpa peduli pada sang kakak ipar.
Intana menghampiri sang suami dan duduk di sampingnya sambil memasang wajah merajuk.
“Sayang.”
“Kenapa?” sahut Dian tanpa memalingkan wajahnya untuk sekedar menatap sang istri.
Dian tahu Intana akan merajuk tentang adiknya. Karena itu Dian sudah malas duluan meski mulutnya tetap saja membalas agar sang istri tidak merasa diabaikan.
“Yang aku minta kemarin gimana? Kamu udah siapin ‘kan?”
Dian mendesah pelan lalu menoleh ke samping. Tangannya mengelus-elus rambut dan kepala belakang sang istri.
“Kalau Langlang tahu nanti dia marah sama kamu. Aku nggak suka,” ketusnya dengan wajah jengah di akhir kalimat.
Intana tersenyum geli. “Tapi kalau Mama sama Papa tahu nanti aku juga dimarahin, Sayang.”
Mendesah pasrah, Dian akhirnya mengangguk pelan dan berkata, “Okay.”
“Makasih, Sayang.”
Intana mencium pipi sang suami lalu terkekeh menggemaskan. Membuat Dian tak sabar dan berakhir menarik sang istri ke dalam lumatannya.
Pagutan mereka kemudian terlepas begitu mendengar suara pintu kamar terbuka.
Langlang yang sempat melihat kakak dan kakak iparnya bermesraan itu kemudian berkata,
“Balik ke hotel sana! Apartemenku nggak ada kamar lagi buat pasangan suami istri yang lagi hornie.”
Intana berdecak lalu menghampiri sang adik sementara sang suami tetap terlihat tenang dan tak peduli, kembali sibuk dengan tabnya.
“Kamu nih, kapan sih akurnya sama Mas Dian?”
Langlang mengendikkan bahunya santai. “Nggak ada yang musuhan. Aku nggak suka aja sama dia. Sejak Mbak nikah aku kayaknya ngga boleh deket-deket Mbak lagi, kan?”
Intana berdecak. “Ya nggak gitu. Makanya kamu cepetan nikah juga. Biar nggak manja-manja lagi sama Mbak.”
“Dih, Mbak kali yang suka pengen manjain aku.”
Dian berdeham sambil mendelik sekilas sementara Langlang hanya mendengus sambil menarik kursi meja makan.
Intana menyayangi kedua laki-laki itu. Tentu saja karena Dian adalah suami dan ayah anak-anaknya, sementara Langlang adalah adik yang dulunya sangat ia inginkan.
Mereka lantas makan malam berempat, Dian lebih banyak mengobrol dengan Pahlewa sementara Langlang hanya manggut-manggut atau berdeham saat diajak bicara.
Pria itu lebih banyak diam sambil menikmati makanan yang dimasakkan kakaknya. Membuat Intana justru jadi cemas.
“Kamu mau Mbak buatin sesuatu?”
“Hm?”
“Kamu mau Mbak buatin sesuatu? Kayak nggak enak gitu makannya,” ulang sang kakak.
Langlang menggelengkan kepalanya sebelum menenggak minum dan mengusap mulutnya dengan tisu.
“Maaf, ya, aku nggak bisa beresin ini. Aku istirahat duluan.”
Langlang mencium puncak kepala sang kakak sebelum beranjak ke kamarnya. Intana yang melihat hal itu hanya bisa menghembuskan napas berat.
Namun keesokannya, ketika Langlang dan Pahlewa mengantar mereka sampai bandara, Langlang sudah kembali ceria seperti biasa.
“Awas kalau ke sini lagi bulan depan,” ancamnya namun setelah itu memeluk sang kakak yang terkekeh geli.
“Kamu baik-baik, ya. Kabarin kakak gimana tangannya nanti.” Intana menatap Pahlewa. “Jagain Langlang, ya.”
“Kapan sih gue nggak jagain dia, Mbak. Dia aja yang nggak tau diri,” sengitnya membuat Intana lagi-lagi terkekeh geli lalu pindah memeluk Pahlewa.
“Kamu juga jaga diri. Kulkas udah Mbak penuhin. Jadi kamu nggak perlu masak buat dua minggu ke depan.”
“Iya. Gue emang nggak masak. Tapi ngurus nih monyet manja.” Pahlewa mendelik ketus pada Langlang.
“Cih! Gue nggak perlu diurus lo juga bisa.”
Mereka saling mencebik sementara Intana dan sang suami hanya bisa geleng kepala melihat tingkah keduanya.
Pahlewa dan Langlang sudah bersahabat sejak kecil. Orangtua Pahlewa meninggal saat pria itu masih kanak-kanak. Dan sejak itu Intana sudah menganggap Pahlewa seperti adiknya sendiri.
Pahlewa anak tunggal. Begitu pun kedua orangtuanya. Karena itu selama ini ia tinggal dengan nenek kakek dari ayahnya karena nenek dan kakek dari ibunya juga sudah lama meninggal.
“Mbak pulang dulu, ya?”
“Hm.”
“Hati-hati, Mbak,” sahut Pahlewa lalu keduanya melambaikan tangan.
Langlang mendesah malas begitu Pahlewa mengajaknya masuk ke dalam mobil.
“Mobil sewaan, cuma buat sampai lo sembuh.”
“Heran gue, punya keluarga ribet amat. Gue cuma patah tangan. Bukan setruk.”
“Bersyukur masih punya keluarga yang peduli.”
Kata-kata Pahlewa membuat Langlang mendadak bungkam.
“Dasar monyet begok! Baru gue bilangin gitu udah melow.”
“Siapa yang melow? Banyak ngomong lo, babi.”
Pria itu menurunkan sandaran kursinya lalu memejamkan mata setelah mengatakan,
“Bangunin kalau udah sampe.”
Namun yang terjadi kemudian Pahlewa malah membiarkan Langlang tidur dan meninggalkannya di mobil sendirian.
“Anjing. Gue ditinggalin lagi.”
Namun, seringai jahil seketika tercetak di wajah pria itu.
Langlang mengambil tas jinjingnya sebelum beranjak ke dalam kampus.
“Lihat Lewa?” tanyanya pada seorang teman.
“Tadi ke ruang dosen.”
Langlang mengangguk seraya berterima kasih lalu melangkahkan kakinya ke perpustakaan.
Di sana ia meminjam beberapa buku sebelum meninggalkan kampus. Hari ini memang tidak ada kelas.
Karenanya Langlang memilih pergi ke sebuah kafe lalu duduk sambil membaca buku yang dipinjamnya.
Langlang juga sengaja mengubah mode ponselnya ke mode senyap agar tidak terganggu.
Alhasil, begitu ia membuka ponsel. Tampak puluhan notifikasi pesan dan telepon masuk dari Pahlewa.
Langlang tertawa puas. Namun tawanya terhenti begitu ia melihat sebuah pesan dari nama lain yang masuk.
[Bagaimana keadaan tangan kamu?]
Senyum Langlang mengembang indah. Namun ia sengaja tak membalas pesan itu dan membereskan buku ke dalam tasnya sebelum meninggalkan kafe tersebut.
***
Di dalam mobilnya, Savira bolak balik menatap layar ponselnya yang mati. Menunggu pesannya pada Langlang di balas.
“Ngapain, sih?” rutuknya bergumam.
“Iya, Nyonya?” sahut sang pengawal yang merasa dipanggil.
“Tidak. Oh, ya. Nanti berhenti sebentar di toko Omura. Saya mau ambil pesanan Mbak Caroline.”
Pengawal Savira mengangguk. Mobil kemudian menepi di sebuah parkiran di pinggir jalan.
“Tunggu saja di sini. Saya cuma ambil pesanan.”
“Tapi Nyonya–“
Savira sudah turun dan bergegas memasuki toko yang ditujunya.
Setelah mengambil pesanan, Savira bergegas kembali ke mobil namun langkahnya terhenti ketika melihat seseorang sedang berjongkok dan membereskan barang-barangnya yang terjatuh berantakan.
Tanpa banyak kata Savira ikut berjongkok dan membantu seorang pria yang menolong Langlang.
“Terima kas–“
Kalimatnya menggantung ketika dilihatnya Savira yang sedang membantunya.
“Vira?”
Savira tidak menghiraukan ucapan Langlang dan terus membereskan barang-barang Langlang yang jatuh.
“Terima kasih,” ucap Langlang membungkukkan badannya pada pria yang membantunya.
“Ayo!”
Savira menahan tangan Savira yang membawakan tas ransel dan tas jinjingnya.
“Ke mana?”
“Aku antar pulang. Kamu mau pulang ‘kan?”
Langlang mengangguk. “Biar aku yang bawa.”
Savira menyerahkan satu tas jinjing Langlang lalu berjalan lebih dulu sementara Langlang mengikutinya di belakang.
Pengawal Savira yang sejak tadi memperhatikan tak banyak bicara ketika Langlang ikut masuk ke dalam mobil.
“Kita antar dulu teman saya,” ucap Savira lalu menoleh ke samping. “Rumah kamu di mana?”
Langlang lantas menyebutkan lokasi apartemen tempatnya tinggal. Tak jauh dari tempat mereka bertemu.
Pengawal Savira juga membantu Langlang membawakan barang-barangnya hingga ke apartemen.
“Mas Lewa ke mana?”
“Masih di kampus. Kamu mau minum apa Vira?”
Savira menggelengkan kepalanya. “Aku langsung pamit saja kalau begitu.”
Langlang menarik tangan Savira. “Bisa kamu bantu saya sebentar?”
Savira menatap pergelangan tangannya yang sedang dipegang Langlang sebelum menatap pria itu.
“Bantu apa?”
“Saya ada tugas. Tapi seperti kamu lihat sendiri, tangan saya tidak bisa digunakan untuk mengetik.”
“Jadi?”
“Karena ini ulah pengawal kamu–“
“Anda yang salah. Saya hanya mengerjakan tugas untuk melindungi Nyonya Savira,” sela pengawal Savira.
“Tapi ‘kan tidak perlu–“
Savira mengangkat tangan seraya menghentikan perdebatan pengawalnya dan Langlang.
“Okay. Tapi aku nggak bisa lama-lama. Aku bawa pesanan untuk makan malam di rumah.”
“Bagaimana kalau kamu suruh pengawal kamu antar pesanannya dulu baru dia kembali menjemput kamu. Jadinya tidak buang-buang waktu ‘kan?”
“Tidak bisa. Nyonya Savira tidak boleh–“
“Dia benar. Saya aman di sini. Kamu lebih baik pulang dan antarkan belanjaan saya dulu. Setelah itu kamu kembali ke sini. Jadi, sambil menunggu kamu datang, saya bisa mengerjakan tugasnya. Tidak banyak ‘kan?”
Langlang mengangguk. “Hanya tiga puluh halaman. Tapi aku sudah mengerjakan dua pertiganya sebelum tanganku yang malang ini terluka,” cicitnya dengan ekspresi penuh drama. Membuat pengawal Savira mengangkat sebelah alisnya jengah.
“Ya sudah. Kamu pergi saja. Saya kenal orang di rumah ini. Mas Zaki juga. Katakan saja.”
Pengawal Savira tidak bisa membantah lagi. Ia lantas pergi dan meninggalkan keduanya di apartemen.
“Aku buatkan kamu minum dulu. Mau minum apa?” tawar Langlangn mengulang. Namun kali ini dengan wajah yang berbinar bahagia.
Tidak sia-sia ia pergi ke kafe kalau ternyata setelah itu malah dipertemukan dengan Savira.
“Air putih hangat saja.”
Langlang mengangguk lalu pergi ke dapur kecilnya untuk menyiapkan air panas dan cemilan lain.
Langlang lantas menyalakan laptop dan menyerahkannya pada Savira sementara ia sendiri membuka buku-buku yang diperlukannya.
Mereka duduk berdekatan karena Langlang harus mengarahkan Savira untuk mengetik apa yang diperlukan.
Hingga waktu bergulir satu jam, Savira merasa lehernya pegal-pegal lalu minta berhenti.
“Aku ke kamar mandi dulu,” ucapnya diangguki Langlang.
Namun saat ia keluar dilihatnya kepala Langlang sudah tertunduk di atas meja. Langlang tampak tertidur pulas di sana.
Ponsel di saku baju Savira kemudian bergetar. Pesan dari pengawalnya yang sudah tiba di parkiran.
[Tunggu sebentar. Saya siap-siap dulu] balasnya.
Savira lalu menghampiri Langlang. Mencoba membangunkan pria itu namun sepertinya sulit karena Langlang tampak pulas.
Savira lantas mengambil kertas dan pulpen lalu menuliskan sebuah pesan sebagai tanda berpamitan.
Posisi Savira mengukung tubuh Langlang di bawahnya ketika ia meletakkan kertas itu di dekat laptop. Tepat ketika pria itu bangun dan kepalanya membentur d**a Savira.
Savira langsung mundur dan menyentuh dadanya yang bersentuhan dengan kepala Langlang.
“Kamu mau ke mana?” tanya Langlang tak menyadari situasi mereka.
Savira sendiri hanya menatap Langlang dengan seraut panik lalu menunjuk kertas yang ia letakkan di atas laptop Langlang.
“Pengawal kamu sudah datang?”
Savira hanya mengangguk. Jantungnya berdebar aneh tiba-tiba saja. Membuat Savira bingung sendiri.
“Kenapa? Kamu baik-baik saja?”
Savira membeku begitu telapak tangan Langlang menangkup keningnya.
“Kamu nggak sakit ‘kan?”
Savira menepis telapak tangan Langlang lalu menggeleng cepat sebelum mengambil jaket dan tas yang ia letakkan di kursi.
“Aku pulang.”
Langkah Savira begitu tergesa-gesa. Namun tangan Langlang sudah lebih dulu menahannya kembali.
“Ada apa?”
Langlang hanya tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Namun senyum dan tatapan pria itu sejenak membuat Savira beku.
“Hati-hati.”
Savira mengangguk pelan lalu berbalik dan meninggalkan apartemen Langlang dengan perasaan rumit.
Langlang kemudian berjalan ke arah balkon. Memperhatikan lokasi di mana mobil Savira terpakir.
Dari sana, ia menatap Savira yang masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan parkiran apartemennya.
Diam-diam Langlang menyunggingkan senyum misterius sebelum membuka penyangga lengannya dan berjalan ke arah meja tadi.