Langlang terbangun di sebuah ruangan yang gelap. Di sampingnya Savira tidak sadarkan diri.
Pandangannya mengedar ke penjuru ruangan. Memastikan ada di mana mereka saat ini.
Nihil.
Langlang hanya meyakini satu hal kalau mereka sedang berada di dalam sebuah gudang yang tidak terpakai.
Ia dan Savira diikat masing-masing di sebuah kursi. Posisi tangan Savira diikat ke belakang sementara tangan Langlang tidak karena salah satunya masih mengenakan gip dan penyangga lengan.
Langlang berusaha bangun dan menggeser kursinya agar lebih dekat pada Savira lalu membangungkannya.
“Vira! Savira! Bangun!”
Savira tersentak lalu mengerjapkan kelopak matanya berulang kali sebelum menoleh ke samping.
“Bangun, Vira! Kita harus bisa kabur dari sini.”
Suara dan kalimat itu membuat sakit di kepala Savira perlahan menghilang.
“Kita di mana?”
“Aku juga tidak tahu. Tapi yang pasti kita disekap di gudang tua.”
Savira mengedarkan pandangannya ke segala arah. Memastikan apa yang dikatakan Langlang.
“Lalu bagaimana caranya kita kabur kalau tangan dan kaki kita saja diikat sepert ini?”
Langlang kembali menggeser kursi yang terikat ke tubuh hingga posisinya tepat saling membelakangi dengan Savira.
Satu tangannya yang bebas mencoba membuka ikatan pada tangan Savira dengan susah payah.
“Bagaimana kalau mereka datang?”
“Karena itu jangan membuat suara. Saya sedang berusaha melepaskan ikatan kamu supaya kamu nanti bisa melepaskan ikatan saya.”
Savira bergumam lirih lalu berusaha tenang meski jantungnya tidak bisa diajak kompromi.
Pasalnya yang mereka hadapai saat ini sudah pasti adalah gerombolan penjahat yang berbahaya.
Hanya saja Savira tidak tahu siapa yang dalang dari penculikannya saat ini. Mungkinkah Kagawashi?
Tapi kenapa?
Savira teringat percakapan terakhir kalinya dengan sang mertua tentang kemungkinan bertemu dengan orang jahat yang tak terduga. Dan apa yang dikatakan mama mertuanya saat itu kini benar-benar terjadi.
Padahal Savira bersama pengawal tapi pengawal pun tak cukup. Bahkan salah satu dari mereka terluka karena melindunginya.
“Kamu sedang memikirkan apa?” Savira masih terdiam.
“Savira!” Langlang menariknya dari lamunan dengan cara menarik tangan Savira dengan kencang.
“Sudah?”
“Saya tanya kamu sedang melamun apa?”
Meski tak bisa melihat, Langlang bisa merasakan kalau Savira tengah melamun ketika ia bertanya sebelumnya.
“Shindu.”
“Hm?” gumam Langlang sambil terus melepaskan ikatan di tangan Savira.
“Saya sedang memikirkan Shindu.”
“Shindu pasti aman bersama Pahlewa. Untung saja mereka tadi berjalan lebih cepat. Kalau tidak–“
“Stop!”
“Kenapa?”
“Jangan diteruskan. Pikiran saya sedang kacau. Saya tidak ingin memikirkan hal yang mungkin terjadi.”
Langlang terdengar membuang napas kasar. “Kalau kacau ya bereskan.”
“Maksudnya?”
Langlang terkekeh kecil. “Pikirkan kalau kita pasti bisa keluar dari sini. Bagaimana caranya? Biar itu jadi rahasia ke depan. Tenang lah. Saya nggak akan membiarkan kamu terluka.”
Entah kenapa, kalimat terakhir yang Langlang ucapkan membuat hati Savira terasa mulai berdesir.
Terakhir kali mereka bertemu Langlang tampak terluka dengan ucapannya. Namun lihatlah sekarang, pria itu malah berusaha menenangkannya di tengah situasi yang tidak pasti.
“Asahhh!” Langlang berseru senang meski suaranya tetap pelan.
Sekecil mungkin mereka tidak membuat suara yang bisa memancing penjahat-penjahat yang keberadaannya entah di mana datang dan menghampiri keduanya sekarang.
“Coba kamu lepaskan!”
“Hm.”
Langlang menggeser posisi duduknya lebih jauh dan membiarkan Savira melepakskan ikatannya.
Meski awalnya sulit, namun Savira akhirnya bisa melepaskan satu persatu ikatan yang melilit pada kedua tangan, kaki dan juga tubuhnya.
Langlang tersenyum puas. Tidak sia-sia saat sekolah dulu ia rajin mengikuti ekstra kulikuler pramuka dan kini berhasil melepaskan simpul ikatan yang ia kenali hanya dengan satu tangan yang meraba.
Savira semakin bergegas melepaskan semua ikatan yang sudah melonggar lalu membantu Langlang melepaskan ikatannya.
“Selanjutnya bagaimana?”
“Tunggu di sini!”
Namun Savira tidak menurut. Ia malah meraih jemari Langlang dan mengikutinya ke arah pintu.
Langlang tersenyum kecil. Batinnya tertawa malas. Kenapa harus dalam situasi seperti ini hanya untuk bisa berdekatan dengan Savira bahkan sampai sedekat ini. Batin Langlang.
Namun ia tak punya waktu memikirkan hal-hal itu ketika telinganya bergerak spontan dan menempel ke sebuah pintu, mencoba menguping suara di luar.
Senyap. Tidak ada pergerakan apapun hingga akhirnya Langlang mencoba mengintip dari celah pintu bawah.
Tampak bayangan sepatu yang ia perkirakan berjumlah tiga orang di luar sana.
“Gimana?” bisik Savira lirih sekali.
“Ada penjaga.”
“Terus?”
Langlang tampak berpikir. Mencari ide sekaligus membuat rencana agar mereka bisa keluar dari gudang tersebut tanpa perlawanan pasti.
“Tunggu di sini!”
Savira sudah akan beranjak ketika Langlang memperingatkannya dengan pelototan.
“Diam dan tunggu saya di sini atau kamu akan menyesal.”
Savira terhenyak. Namun tak lama karena Langlang sudah beranjak untuk mengambil sesuatu.
Savira hanya memperhatikan apa yang dilakukan Langlang. Baru setelah itu Langlang menghampirinya lagi kemudian menyerahkan semacam batu dan benda berat pada Savira salah satunya.
“Pegang ini baik-baik.”
Savira mengangguk patuh. Tanpa pikir ia bahkan kembali mendekatkan diri pada Langlang menggandeng lengannya dengan erat.
Tidak ada hal penting lainnya yang bisa Savira pikirkan kecuali keluar dari sana hidup-hidup dan menemui Shindu.
Ya. Hanya Shindu satu-satunya harapan Savira bertahan dan pulang dalam keadaan selamat.
Savira lantas mengerjap ketika merasakan pipinya di sentuh oleh Langlang.
“Tangan kamu kenapa bisa–“
“Jangan melamun!”
Keterkejutan Savira tak bertahan lama kala mendapati tangan Langlang yang semua diberi kain penyang dibebaskan dan kini memegang benda yang Langlang pegang dengan tangan yang lain sebelumnya.
Sementara tangan yang satunya kini kembali menggenggam erat jemari Savira meski pandangan Langlang telihat mengawasi tajam ke arah pintu.
“Maaf. Aku memikirkan Shindu,” kilahnya.
“Aku tahu. Karena itu kita harus fokus lebih dahulu supaya bisa kabur.”
Savira mengangguk sementara Langlang tersenyum samar padanya.
“Setelah ini saya janji kamu bisa bertemu dan berkumpul lagi dengan Shindu.”
Savira menganggukkan kepalanya lagi. Tatapannya lantas beralih pada kedua jemari mereka yang saling menaut erat.
Langlang bahkan tanpa sadar menggenggamnya begitu erat. Membuat Savira bisa merasakan kegugupan yang dirasakan Langlang.
“Siap?” tanya Langlang diangguki Savira.
Baru setelahnya Langlang melempar benda yang dipegangnya ke sebuah arah hingga tumpukkan kayu yang ia susun sebelumnya jatuh dan membuat suara kegaduhan.
Suara itu pun membuat orang-orang di luar bergegas masuk dan kaget begitu mendapati bangku yang semula dipakai mengikat Savira dan Langlang kini kosong.
“Ke mana mereka?”
“Sepertinya kabur lewat jendela itu,” unjuk salah satu dari mereka.
“Bagaimana bisa?”
Ketiganya lantas menghampiri jendela yang kacanya pecah dan kayunya patah sebagian namun tidak terbuka sama sekali.
Kesempatan lengah itu digunakan Savira dan langlang dengan langkah pasti berjalan mengendap-endap dari pesembunyiannya hingga sampai di pintu dan keluar.
Lalu ketika mereka akhirnya sampai di pintu, Langlang melempar sesuatu dengan benda yang savira pegang pada tumpukkan kayu di dekat ketiga penjaga tadi ambruk.
Ketiganya langsung menoleh ke arah tumpukkan kayu yang berjatuhan dan berserakan di lantai tersebut.
Suara tumpukkan kayu yang jatuh itu menyamarkan suara pintu yang ditutup oleh Langlang sehingga mereka tidak menyadari kalau keduanya sudah pergi dan mengunci pintu dari luar saat ketiga penjahat itu mengobrak abrik benda-benda di ruangan tersebut untuk menemukan keberadaan Langlang dan Savira.
Namun karena tak menemukan tawanan mereka, salah satu dari ketiganya berseru dan langsung berinisiatif untuk melapor pada rekan mereka yang lain ketika mendapati pintu ternyata dikunci dari luar.
Sementara itu, Langlang dan Savira yang berhasil kabur kembali bersembunyi ketika tema-teman dari penjahat tadi hampir berpapasan dengan mereka.
Begitu ada kesempatan pergi, keduanya berhasil keluar meski akhirnya mereka terkejut karena ternyata Savira dan Langlang berada di sebuah kawasan pelabuhan peti kemas tua.
Di sekeliling mereka hanya terlihat tumpukkan peti kemas yang jumlahnya banyak dan saling bertumpuk seperti membuat bangunan yang tinggi.
“Bagaimana ini? Kita harus pergi ke mana?”
“Hey kalian! Jangan kabur!”
Belum sempat Langlang menjawab pertanyaan Savira, teriakan dari para penjahat itu membuat keduanya terpaksa berlari ke sembarang arah.
“Ayo lari Savira!”
Orang-orang yang mengejar Savira dan Langlang jumlahnya jelas jauh lebih banyak dari pada mereka.
Langlang yang sudah kepalang mengajak Savira kabur hanya terus berlari ke dalam area tumpukan peti kemas.
Ia mengajak Savira belok ke segala arah untuk menghindari kejaran para gerombolan penjahat itu.
Suara tembakan ke udara yang memekkan telinga membuat Langlang dan Savira sesekali menjenggit dalam pelarian mereka, membuat degup jantung mereka pun semakin dilanda kegugupan.
Namun menyerah bukan lah pilihan yang mereka punya saat ini. Lebih baik mati karena menyelamatkan diri daripada harus mati tanpa melakukan perlawanan. Pikir keduanya.
Seketika Savira ingat mimpinya bersama Satya kala itu. Di mana Savira meminta Satya membawa dirinya ikut bersama Satya.
Mungkinkah hari ini hal itu akan terwujud?
Savira benar-benar takut sekaligus pasrah ketika akhirnya pelarian mereka terhenti karena keberadaaan keduanya yang berhasil dikepung.
“Mau lari ke mana kalian?”
Savira dan Langlang tak bisa berkutik karena dari depan dan belakang mereka terdapat gerombolan para penjahat itu.
Sementara di sebelah kiri dan kanan mereka adalah gang sempit yang gelap di mana celah antara peti kemas yang tersusun lebih dempet berdiri dibanding area di mana mereka berada kini.
Savira mengamati orang-orang yang ada di belakang dan depan mereka. Ia mengenali dua dari kawanan penjahat itu sebagai anak buah Kagawashi.
“Aku mengenalinya,” ucap Savira dengan napas terengah namun suara yang keras dalam bahasa Indonesia agar tak dimengerti para penjahat itu.
“Siapa mereka?”
“Anak buah Tuan Kagawashi.” Kali ini Savira menyebutkan nama Tuan Kagawashi dengan cara berbisik di dekat wajah Langlang.
Tapi untuk apa Kagawashi menculiknya sampai seperti ini? Apa karena ia ikut campur urusan adik iparnya terakhir kali?
Jika benar begitu, Savira sungguh menyesali sikapnya yang berusaha menyelamatkan adik ipar Kagawashi saat itu karena kini ia dan Langlang justru berada dalam bahaya yang tidak pasti.
Genggaman tangan mereka semakin mengerat. Langlang berusaha melindungi Savira dengan menariknya ke belakang dan mundur ke arah kiri.
Para penjahat itu semakin mengepung hingga keberadaan mereka disibak oleh kedatangan seseorang.
Savira langsung membelalakkan kedua bola matanya begitu melihat siapa yang datang sambil memberikan senyum miring yang mematikan.
“Kamu?”
Pria itu semakin menyibak kerumunan penjahat yang mengepung mereka hingga berdiri paling depan dan berhadapan langsung dengan Langlang.
Dwuarrr…
Letusan peluru berhasil dihempaskan dan mengenai bahu Langlang yang langsung ambruk berlutut di lantai.
“Ahhhh!”
Savira ikut memekik ngilu dan mencoba menahan tubuh Langlang yang ambruk ke tanah.
“Hentikan!”
“Kau yang memulai. Maka aku tidak akan berhenti sebelum semuanya selesai. Wanita jalang.”
Napas Savira menderu hebat. Jantungnya berdentam-dentam semakin menggila mana kala senjata yang dipegang pria itu kembali mengarah pada mereka berdua.
“Ucapkan selamat tinggal pada kekasihmu itu.”
Lalu gelak tawa terdengar menggema. Saviar pasrah. Memeluk tubuh Langlang dengan erat sambil menggumamkan maaf.
“Maaf, aku jadi ikut membawamu ke dalam masalah ini.”
Langlang terkekeh dengan luka yang semakin terasa panas dan membuat bahunya kesakitan.
“Setidaknya aku bisa mati bersamamu. Itu lebih baik bukan?”
Dalam keadaan seperti ini Langlang masih bisa mencandainya. Savira menatap pria itu tak percaya.
Namun senyum di wajah Langlang cukup menjelaskan kalau pria itu masih berusaha membuatnya tenang di tengah kepastian nyawa yang sudah berada di ujung tanduk.
Sebelah tangan Langlang yang berlumurah darah menangkup sebelah pipi Savira sebelum ia mendekatkan wajahnya.
Savira seketika langsung memejamkan matanya erat-erat ketika sebuah letusan timah panah kembali terdengar seiring dengan rasa hangat dan kenyal yang menyentuh bibirnya.