Suara riuh di sekitarnya membuat Janice mulai membuka mata dengan perlahan. Hal pertama yang Janice lihat ketika matanya terbuka adalah ruangan putih yang dipenuhi aroma obat.
Dua orang suster tampak berdiri di sisinya, mereka sedang melakukan pemeriksaan, dan tampaknya mereka terkejut ketika mendengar suara Janice yang memanggil dengan suara pelan.
“Nona, Anda sudah sadar? Tenanglah, dokter akan segera datang.” Salah satu dari suster tersebut berusaha menenangkan Janice.
Untuk sesaat, Janice kembali diam dan mengikuti intruksi dari suster tersebut.
Kurang dari 5 menit kemudian, seorang dokter datang untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh kepada Janice. Mulai dari memeriksa detak jantung, tekanan darah, hingga pergerakan organ matanya.
“Apakah terjadi sesuatu?”
Janice menolehkan kepalanya ketika ia mendengar suara Julian. Tanpa Janice ketahui, Julian sudah berdiri di sisi ranjangnya.
“Dokter sedang melakukan pemeriksaan. Sebaiknya Anda menunggu di luar.”
Tatapan Janice tidak bisa luput dari setiap pergerakan yang dilakukan oleh Julian. Semuanya, Janice memperhatikan bagaimana cara Julian berbicara kepada para suster, dia juga melihat pergerakan mata Julian yang sesekali menatapnya lalu mulai membuang muka seakan pria itu merasa tidak peduli. Tapi pria itu kembali mengulangi semuanya dari awal. Mulai dari berbicara dengan suster, melirik Janice, lalu kembali membuang muka.
“Bagaimana perasaanmu, Nona? Apakah ada bagian tubuh yang terasa sakit?” Dokter tersebut duduk di depan Janice dan menanyakan sebuah pertanyaan dasar untuk memastikan bagaimana keadaannya.
“Tidak ada yang sakit.” Jawab Janice dengan tenang.
“Tidak ada yang sakit? Bagaimana dengan kepalamu?” Tanya dokter tersebut.
Janice menggelengkan kepalanya, sama sekali tidak merasa sakit padahal ia ingat dengan jelas jika...
Janice mengerjapkan matanya sesaat. Sebuah bayangan mengerikan tentang kecelakaannya kembali terputar di dalam kepala. Bukan hanya itu saja, namun Janice juga mengingat kejadian saat seorang pria misterius yang memperkenalkan diri bernama Ezra datang menemuinya dan memberikan penjelasan konyol mengenai kematian dan kesempatan kedua.
Untuk sesaat Janice menarik napasnya dengan lega. Ternyata semua itu hanyalah khayalan yang terbentuk ketika ia tidak sadarkan diri.
“Kepalamu terluka cukup parah, tapi tampaknya kau akan segera pulih. Kami akan memantau perkembanganmu setiap tiga atau empat jam sekali. Perban di kepala akan diganti dua kali sehari.” Dokter tersebut mulai membereskan beberapa peralatan yang sempat ia gunakan untuk memeriksa keadaan Janice. “Sepertinya kami sama sekali tidak perlu merasa khawatir karena kau menunjukkan perkembangan yang baik. Sampai jumpa pada pemeriksaan selanjutnya.”
Janice tersenyum singkat sambil menganggukkan kepalanya sejenak.
“Dokter, kapan aku boleh pulang?” Tanya Janice ketika langkah dokter tersebut sudah berada di ambang pintu.
“Secepat mungkin. Namun, untuk saat ini sebaiknya kau tetap berada di rumah sakit. Luka di kepala dan punggungmu sangat parah, meskipun saat ini kau terlihat baik-baik saja, kita tetap harus menjadwalkan pemeriksaan lanjutan besok pagi. Apakah kau setuju?” Dokter tersebut mengulas senyuman ramah sembari memberikan penjelasan mengenai keadaannya.
“Tentu saja.”
“Baiklah, sekarang kami harus membiarkanmu beristirahat.”
Janice memberikan senyuman sambil menganggukkan kepalanya.
Samar-samar dia mendengar suara Julian yang tampak berdiskusi dengan dokter yang baru saja keluar dari ruangan Janice.
“Hasilnya cukup menakjubkan untuk seseorang yang baru saja mengalami kecelakaan serius. Tulang punggungnya retak, tapi dia sama sekali tidak merasakan sakit.”
“Bagaimana bisa?”
“Entahlah, mungkin sebuah keajaiban. Bisakah kau datang ke ruanganku? Ada beberapa hal yang harus kujelaskan.”
Setelah itu suara mereka menghilang.
Mendengar percakapan antara Julian dan dokter tersebut membuat Janice bertanya-tanya di dalam kepalanya. Mereka terdengar cukup akrab, apakah Julian mengenal dokter yang merawatnya?
***
Sejak pertama kali membuka mata, Janice selalu melihat Julian duduk di dalam ruangan perawatannya. Janice sangat tahu jika keadaannya pasti membuat Julian kerepotan. Berita kecelakaan Janice di malam pernikahannya jelas menimbulkan pertanyaan dari beberapa pihak yang mengenal mereka berdua. Sebagai keluarga yang mendapatkan sorotan dari masyarakat karena status sosial mereka, kecelakaan Janice tentu langsung menjadi topik pembicaraan yang cukup ramai, apalagi ia mengalami kecelakaan di depan hotel mewah tempat ia melakukan resepsi pernikahan.
“Kau boleh pulang jika memang ada banyak hal yang harus diurus.” Janice mencoba membuka pembicaraan dengan Julian.
Pria itu bergeming, tetap sibuk dengan laptop yang ada di atas pangkuannya.
“Malam ini aku akan tetap berada di rumah sakit, bahkan mungkin hingga beberapa hari ke depan. Jadi kau tidak perlu selalu menungguku di ruangan ini.” Janice kembali berbicara.
“Kau terlalu banyak bicara untuk ukuran seorang wanita yang baru saja kecelakaan.”
Janice menundukkan kepalanya. Merasa menyesal karena telah merepotkan suaminya di hari pertama pernikahan mereka.
“Maaf.”
“Berhentilah membuat masalah, Janice. Tidakkah selama ini kau sudah cukup memberikan masalah pada kami semua?” Julian menatapnya dengan raut datar.
Sesekali Janice ingin memahami apa yang sedang Julian rasakan. Apakah pria itu senang ketika melihatnya terluka atau justru ia merasa marah karena keadaan Janice membuatnya kerepotan. Namun, hanya tatapan datar yang selalu ditampilkan oleh Julian.
“Ya, maafkan aku.”
“Tidak ada yang berubah sekalipun kau meminta maaf, bukan?” Julian tersenyum sinis.
Janice menganggukkan kepalanya. Selama ini memang tidak ada yang berubah sekalipun ia sudah mengucapkan kata maaf berulang kali.
“Jika kau baik-baik saja, aku akan pulang untuk membersihkan diri.” Julian bangkit berdiri dan membereskan beberapa laporan serta laptop miliknya yang berserakan di atas meja.
Janice menggigit bibir bawahnya, merasa ragu untuk memanggil suaminya sendiri.
“Kau.. kau akan kembali ke sini?” Tanya Janice.
Julian mengangkat sebelah alisnya. Pria itu menatapnya sejenak sebelum menarik napas dengan perlahan. “Kau sendiri yang memintaku pulang.”
Janice menautkan kedua tangannya, merasa bodoh karena telah mengajukan pertanyaan yang tidak masuk akal.
“Ya, aku akan kembali setelah mandi dan berganti pakaian.” Julian bangkit berdiri dan berjalan mendekati Janice. “Ada sesuatu yang kau butuhkan?” Tanyanya.
“Bisakah.. bisakah kau mengambilkan buku catatanku? Aku meletakkan buku itu di dalam koperku.”
“Apa yang akan kau lakukan dengan catatan itu? Menulis n****+ dengan tema penyiksaan suamimu?” Lagi-lagi Julian memberikan senyuman sinis.
“Aku.. hanya ingin menuliskan pengalaman selama berada di rumah sakit. Kupikir akan menarik..”
“Menarik?” Tanya Julian dengan pandangan tidak percaya. “Baiklah, lakukan apapun yang ingin kau lakukan.”
Setelah itu Julian menghilang dari pandangannya. Suara langkah kaki itu terdengar samar lalu benar-benar menghilang beberapa detik kemudian.
Untuk sesaat, Janice menarik napasnya dengan perlahan. Merasa cukup sedih ketika ia ditinggalkan oleh suaminya. Padahal Janice sendiri yang meminta Julian pulang, tapi begitu pria itu pergi, ia jadi merasa kesepian.
“Jadi bagaimana? Kau sudah menyiapkan cara untuk menjalankan misi dari Dewa?”
Janice berjengkit kaget ketika ia melihat Ezra yang muncul secara tiba-tiba. Napasnya tertahan ketika melihat Ezra berdiri di sisinya.
Oh tidak, jadi semua yang ia alami setelah kecelakaan adalah hal yang nyata? Pertemuannya dengan Ezra, kesempatan kedua dari Dewa, dan misi untuk mengembalikan kebahagiaan orang di sekitarnya, semua itu nyata?
“Kenapa kau terkejut?” Tanya Ezra sambil menaikkan sebelah alisnya. Persis seperti yang dilakukan Julian beberapa saat yang lalu.
“Kau.. Ada di sini?” Tanya Janice sambil mengulurkan tangannya, berusaha menyentuh bagian tubuh Ezra yang tampak sangat nyata.
Tangan Janice berhasil menyentuhnya. Tidak seperti dugaannya sebelumnya, ternyata Ezra memiliki tubuh yang bisa disentuh layaknya manusia pada umumnya.
“Kau pikir kau bermimpi?” Ezra tertawa mengejek.
“Jadi semuanya nyata?”
“Tentang 49 hari kesempatan dari Dewa?” Tanya Ezra. “Tentu saja nyata! Kau tidak bisa bermain-main dengan misi dari Dewa. Jadi kuharap kau tidak membutuhkan terlalu banyak waktu untuk memikirkan apa yang harus kau lakukan. Jika kulihat, sepertinya suamimu memang sangat membencimu.” Ezra mengendikkan bahunya.
Janice mulai menundukkan kepala. Merasakan sesak di dalam d**a ketika ia menyadari jika waktunya hanya tersisa 49 hari.
“Apakah sekarang aku sudah meninggal?”
“Belum, kau berada di ambang batas kematian. Jadi—”
“Janice?”
Secara tiba-tiba, Julian kembali masuk ke dalam ruangan Janice. Pria itu mengernyitkan dahi dan menatap Janice dengan kebingungan.
“Kau bicara dengan siapa?” Tanyanya sambil menatap ke seluruh ruangan dengan teliti.
Janice menatap ke sisi kirinya, mencari keberadaan Ezra yang menghilang secara tiba-tiba. Kemana pria itu pergi? Ia datang tanpa suara dan pergi begitu saja.
“Ak—aku.. tidak bicara dengan siapapun.” Jawab Janice dengan gelagapan. “Kenapa kau kembali?”
“Kunci mobilku tertinggal di sini.” Jawab Julian sambil mencari kunci mobil miliknya.
“Julian—”
“Apa lagi yang kau butuhkan?” Tanya pria itu dengan sengit.
Janice menggelengkan kepalanya dengan pelan.
“Jangan kau pikir aku mau menuruti apapun yang kau inginkan, Janice. Kau sudah cukup membuatku repot!”
“Baiklah, maafkan aku.”
“Dan berhentilah meminta maaf. Aku muak mendengar permintaan maafmu.”
Janice menahan kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya. Untuk sesaat Janice meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua kalimat menyakitkan itu hanya akan ia dengarkan selama 49 hari ke depan.
Menurut Ezra, waktu Janice hanya tersisa 49 hari. Setelah itu dia akan segera meninggalkan dunia dan bersiap untuk kelahiran barunya di masa depan. Jika Ezra memang benar-benar malaikat yang diperintahkan Dewa untuk mendampingi Janice, maka semua penjelasan yang diberikan oleh pria itu akan benar-benar terjadi.
Hanya ada dua pilihan yang dimiliki oleh Janice, menjalankan misi dari Dewa atau menjalani hidupnya seperti biasanya dan menikmati sisa waktu yang ia miliki. Pilihan pertama terdengar tepat untuk dilakukan sebab kata Ezra, Janice kemungkinan besar akan dilahirkan kembali sebagai anjing atau babi jika ia tidak memenuhi misi dari Dewa.
Namun semua itu hanya akan terjadi selama 49 hari terakhir.
49 hari sebelum ia meninggal..