Bab 6 Awal Dari Sebuah Akhir

1641 Kata
Janice mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hotel yang telah dipenuhi dengan hiasan berupa bunga mawar merah yang sangat identik dengan keromantisan. Sebagai seorang pemilik toko bunga, Janice memahami setiap arti dari warna serta jenis bunga. Namun kali ini, dia harus menilai arti dari hiasan yang sengaja dipasang di kamar pengantinnya. Yang paling menyedihkan adalah menyadari jika bunga mawar merah tidak lagi menjadi simbol dari keromantisan, karena malam ini bunga tersebut menyaksikan tangisan Janice setelah ia mendengar keputusan suaminya sendiri. Pria itu lebih memilih untuk menginap di kamar wanita lain, padahal malam ini adalah malam pengantin mereka. Berulang kali Janice meyakinkan dirinya sendiri untuk berhenti menangis, namun rasa sesak di dadanya benar-benar tidak tertahankan. Tatapan Julian yang penuh dengan kebencian terasa menusuk dadanya, membuat jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat. Rasa sakit karena kepergian pria itu semakin terasa menyiksa ketika Janice melihat sendiri bagaimana cara Julian mengetuk pintu yang berada tepat di depan kamar pengantin mereka. Lalu Janice juga melihat sendiri jika wanita yang berada di balik pintu tersebut adalah Callista, kakak kandungnya. Julian sengaja menempatkan Callista di depan kamar pengantim mereka sehingga pria itu lebih memudahkan Janice yang sejak beberapa menit lalu berdiri di balik pintu untuk melihat apakah Julian benar-benar memilih bersama dengan Callista. Dan tentu saja Janice harus menelan kekecewaan yang lebih besar karena Julian memang memilih masuk ke kamar Callista dibandingkan kamar pengantin mereka. Sepertinya meninggalkan Janice yang sedang sibuk dengan persiapan pernikahan masih belum cukup, sehingga Julian mulai melancarkan rencana balas dendamnya tepat pada malam pertama mereka. Satu minggu sebelum upacara pernikahan, Julian sempat berlibur ke Jepang bersama dengan Callista. Mereka meninggalkan Janice sendirian seakan pernikahan adalah hal main-main tidak perlu diurus dengan serius. Namun, sejak awal Janice telah mengetahui tujuan Julian menikahinya. Ia sudah tahu dan sudah menerima semua konsekuensi yang akan ia dapatkan untung menanggung setiap kesalahan yang ia pendam selama lima tahun terakhir. Kesalahan besar yang memberikan perubahan dalam kehidupan Janice. Membuatnya dikucilkan, dijauhi, dan dibenci oleh orang-orang yang selalu menatapnya penuh cinta. Jika Janice sudah mengetahui apa yang akan terjadi dengan kehidupan rumah tangganya, bukankah seharusnya Janice tidak perlu merasa terkejut? Cepat atau lambat, Julian pasti akan segera melancarkan rencana balas dendamnya. Memikirkan tentang nasib rumah tangganya hanya akan membuat Janice merasa semakin tersiksa. Hanya ada satu hal yang pasti, yaitu kehancuran nyata yang berada tepat di depan matanya. Tidak ada yang bisa menghindari kehancuran tersebut, bahkan Janice tidak memiliki hak untuk menolak. Oleh sebab itu, dibandingkan merenung sendirian di dalam kamar hotel. Janice memilih untuk keluar dan mencari udara sejuk di tengah malam. Langkah kakinya bergerak seirama dengan hembusan angin malam yang menyentuh kulitnya. Jalan raya masih cukup ramai dengan beberapa pejalan kaki, membuat rasa sepi Janice terasa sedikit memudar. Lalu tanpa sadar kakinya berjalan ke seberang jalan ketika ia melihat seorang gadis muda tampak tertunduk sambil menggenggam erat beberapa tangkai bunga mawar putih. Sebagai seorang pemilik toko bunga, ketertarikan Janice terhadap berbagai jenis bunga sudah tidak diragukan lagi. Apalagi mawar putih adalah salah satu bunga yang paling ia sukai. Bahkan ia mulai sedikit melupakan rasa sesaknya karena ditinggalkan oleh Julian di malam pengantin mereka. “Hai. Apakah kau menjual bunga ini?” Tanya Janice sambil menundukkan tubuhnya, berusaha membuat pandangannya sejajar dengan gadis muda tersebut. Tangan Janice juga mulai menyentuh tangkai bunga yang tampak mulai layu. Menurut penilaiannya, bunga tersebut telah dirangkai sejak pagi tanpa diberi semprotan air. “Kau mau membelinya?” Gadis itu segera mengangkat kepalanya, menatap Janice dengan mata berbinar. Ada banyak bunga di kamar hotelnya. Seluruh ruangan telah dipenuhi dengan mawar merah yang tampak segar, beberapa tangkai bunga mawar putih tidak akan mampu menyeimbangi d******i dari keromantisan mawar merah. “Ya, berikan satu tangkai mawar putih untukku.” Janice menjawab sambil mengeluarkan uang dari tas kecil miliknya. “Kenapa tidak semuanya? Bukankah kau membutuhkan mawar putih?” Tanya gadis itu. Janice mengeryitkan dahinya, tidak mengerti apa maksud dari kalimat gadis itu. “Mawar putih bukan hanya berarti kesucian dan ketulusan, tapi juga perpisahan..” Gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri dan memberikan seluruh tangkai bunga mawar putih yang ia miliki. Filosofi terkenal yang diketahui oleh banyak orang mengenai mawar putih adalah lambang dari kesucian dan ketulusan, namun bagi sebagian orang yang benar-benar paham, mawar putih adalah simbol dari perpisahan. Hari ini Janice juga menjalani perpisahan dengan kehidupan di masa lalunya. Setelah menikah, satu-satunya hal yang bisa Janice lakukan adalah menjalani kehidupan barunya tanpa menolehkan kepala untuk menyesali keputusannya. Mawar putih akan menjadi simbol perpisahan yang sempurna untuk mempersiapkan kehidupan barunya yang pasti akan penuh dengan rintangan. “Baiklah, berikan semuanya kepadaku.” Hanya dalam beberapa detik, kedua tangan Janice dipenuhi dengan tangkai mawar putih yang baru saja ia beli. Sepertinya dia akan langsung kembali ke kamar hotel untuk menyimpan mawar barunya. Namun, baru saja Janice melangkahkan kakinya ke penyeberangan, tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan kencang dan menghantam tepat ke tubuhnya. Untuk sesaat Janice masih bisa merasakan tubuhnya melayang lalu mendarat di atas jalan raya. Puluhan tangkai mawar yang ia bawa tersebar ke seluruh jalan, menyisakan satu tangkai yang masih Janice genggam dengan erat. Kepalanya mulai terasa sakit, ia juga merasakan darah yang mengalir dari seluruh luka di tubuhnya. Lalu yang terakhir, sebelum matanya tertutup Janice sempat menatap satu bayangan samar yang tidak asing dalam ingatannya. Pria itu.. dia datang mendekat dengan tatapan terkejut ketika melihat keadaan Janice yang begitu mengerikan. “Janice!” Panggilnya dengan suara keras. Dalam keadaan sekarat, Janice tersenyum singkat. Merasakan sentuhan tangan Julian untuk yang pertama kalinya di malam pertama pernikahan mereka. *** “Kau akan tetap berdiri di sana? Tidak ingin mengejar tubuhmu yang sedang dibawa ke rumah sakit?” Pertanyaan itu diajukan oleh seorang pria asing yang tiba-tiba hadir sesaat setelah Janice membuka matanya. Lagi-lagi Janice menatap pria itu dengan pandangan kebingungan. Setelah sadar dari rasa terkejut ketika ia pertama kali menyadari jika raganya terpisah dari tubuhnya, tiba-tiba saja seorang pria asing berdiri dengan santai di samping… entahlah, mungkin roh Janice? Pria itu membawa sebuah buku catatan kecil yang sejak tadi ia baca sambil menunggu Janice pulih dari rasa terkejutnya. “Apa yang terjadi?” Tanya Janice dengan suara terbata. Janice melihat sendiri jika tubuhnya yang berlumuran darah baru saja diangkat oleh Julian dan beberapa tim medis untuk segera dilarikan ke rumah sakit. Untuk sesaat, Janice mengira jika ia telah meninggal. Ya, mungkin dia memang sudah meninggal. “Apa lagi? Kau kecelakaan dan sekarang tubuhmu sedang berusaha diselamatkan oleh para dokter.” Pria itu menjawab sambil mengendikkan bahunya. Tampak terlalu santai untuk membahas sebuah permasalahan serius yang mengejutkan. “Apakah.. aku akan segera pergi ke surga?” Tanya Janice dengan ragu. “Surga? Kau yakin akan pergi ke surga?” Pria itu justru balik bertanya dengan tatapan mengejek. Janice merasa kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan tersebut. “Baiklah, aku sudah selesai membaca catatan hidupmu. Tampaknya tidak ada yang menarik karena semua catatan itu hanya diisi dengan tangisan dan penyesalan yang kau rasakan.” Pria itu memasukkan buku miliknya ke dalam saku celananya. “Sepertinya Dewa kembali memilih orang secara acak.” Gumamnya dengan pelan. “Apa?” “Dengarkan penjelasanku baik-baik. Aku terlalu lelah memberikan penjelasan kepada orang-orang yang akan berteriak histeris di depan wajahku. Tapi tampaknya kau terlalu tenang untuk ukuran seorang wanita muda yang baru saja menikah. Kematian tidak membuatmu takut?” Janice bergeming sambil memikirkan keadaannya yang berada di antara ketidakpastian. “Dewa memberimu waktu 49 hari untuk melanjutkan hidupmu. Menurut perintah yang Ia berikan, kau harus mengembalikan kebahagiaan orang-orang di sekitarmu yang menderita karena kesalahan yang kau buat di masa lalu. Dalam pesan itu, orang yang paling utama adalah suamimu sendiri.” Penjelasan tersebut membuat Janice semakin kebingungan. “Jalani kesempatan kedua yang Dewa berikan dengan sebaik mungkin. Kata-Nya kau tidak boleh mati dalam penyesalan karena kau salah satu orang favorit-Nya. Dia juga tidak ingin suamimu hidup dalam penderitaan karena sama seperti dirimu, Dewa juga sangat menyukai suamimu.” Setelah memberikan penjelasan, pria itu mengulurkan tangannya seakan ia ingin berjabat tangan dengan Janice. “Kau bisa memanggilku Ezra. Aku akan menjadi malaikat pendamping untukmu selama 49 hari kedepan.” Setelah berjabat tangan, pria itu mulai memperkenalkan dirinya. “Namaku adalah Janice.” Kata Janice dengan ragu. “Aku tahu. Aku sudah membaca catatan kehidupanmu..” Ezra bergumam sambil memutar bola matanya. “Jadi.. apa yang terjadi?” Janice memberanikan diri untuk bertanya. “Kau menjadi salah satu orang beruntung yang mendapatkan kesempatan kedua untuk berpamitan dengan orang-orang terdekatmu. Kau harus memperbaiki setiap kesalahan yang pernah kau lakukan dan mengembalikan kebahagiaan orang di sekitarmu. Yang terakhir, pesan ini harus kau rahasiakan. Jika ada yang mengetahui sisa waktu yang Dewa berikan kepadamu, maka secara otomatis kau akan didiskualifikasi. Aku akan langsung mengirimmu pada Dewa dan Dia pasti akan segera mengatur waktu reinkarnasimu. Kau juga tidak boleh gagal dalam menjalankan misi yang Dewa berikan. Baik tidak bisa menjaga rahasia tentang misi ini atau kau gagal melaksanakan perintah Dewa, maka kau akan terlahir kembali sebagai anjing atau babi.” Ezra tampak mengendikkan bahunya dengan santai. Janice membelakkan matanya dengan tidak percaya. Ia merasa semakin bingung setelah mendengarkan penjelasan tersebut. “Bagaimana bisa begitu?” Tanya Janice. “Bagaimana aku tahu? Tanyakan saja pada Dewa!” “Bukankah kau malaikat pendamping? Seharusnya kau tahu mengapa Dewa memberikan kesempatan kedua kepadaku.” “Aku hanya malaikat pendamping, tapi Dewa tentu bukan pengangguran yang akan menceritakan semuanya kepadaku. Dia punya alasan tersendiri mengapa kau yang dipilih untuk mendapatkan kesempatan langka ini.” Ezra menjawab dengan sengit. “Jangan membuang terlalu banyak waktu, kau hanya punya 49 hari. Lakukan saja apa yang Dewa perintahkan. Sepertinya kehidupanmu sangat menderita sehingga Dewa merasa tersentuh.” Janice menundukkan kepalanya. Benarkah Dewa mengetahui penderitaan yang selama ini ia tanggung? Benarkah Dewa memperhatikan Janice hingga Dia mengirimkan Ezra sebagai malaikat pendamping yang akan menemani Janice selama sisa hidupnya yang sangat singkat? Atau.. semua ini hanya mimpi? Hanya bagian kecil dari imajinasi yang berbentuk di kepalanya selama ia tidak sadarkan diri karena kecelakaan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN