Bab 8 Kebohongan Pertama

2278 Kata
Hari pertama… Janice menggerakkan jarinya di atas buku catatan yang baru saja dibawa oleh Julian. Seperti yang sudah dikatakan oleh pria itu, ia akhirnya kembali setelah mandi dan berganti pakaian. Julian kembali kurang dari satu jam sejak sejak ia meninggalkan Janice. Jujur saja ada rasa bahagia ketika mengetahui jika Julian bersedia menemaninya di rumah sakit. Kebohongan pertama: Aku tidak ingin Julian pergi meninggalkanku di rumah sakit. Aku ingin dia tetap bersamaku. Janice menulis kalimat singkat tersebut di dalam buku catatan yang biasanya ia gunakan untuk mencatat beberapa hal penting mengenai toko bunganya. Namun… sepertinya Janice harus mulai mengurangi kegiatannya di toko bunga karena sekarang ia memiliki tugas yang lebih penting. Dalam 49 hari, Janice harus berhasil mendapatkan maaf dari Julian. Entah bagaimana caranya mengingat betapa beci dan marahnya Julian kepada Janice. Namun tentu saja Janice tidak ingin bereinkarnasi menjadi babi atau anjing, jika bisa.. Janice ingin kembali menjadi dirinya di kehidupan yang akan datang. Mungkin jika beruntung, Janice bisa mendapatkan hidup yang jauh lebih baik dari sekarang. Kehidupan bahagia yang tidak hanya diisi dengan tangisan penyesalan. “Kau akan menjalani pemeriksaan besok pagi. Jadi segeralah tidur, jangan membuatku semakin kerepotan.” Janice mendongak, menatap Julian yang baru saja keluar dari toilet. Pria itu baru saja membasuh wajahnya sehingga ada butiran air yang menetes dari ujung rambutnya. Julian mengusap wajahnya dengan pelan, membuat kesan dramatis yang semakin menarik perhatian Janice. “Julian..” Janice susah payah menyebutkan nama Julian. Julian tidak memberikan respon, memilih duduk di ujung ruangan sambil kembali sibuk dengan laptopnya. Sekitar lima menit berlalu dengan keheningan, Janice juga tidak berani memanggil Julian karena melihat kesibukan pria itu. Tapi secara tiba-tiba Julian mengangkat pandangannya sehingga sekarang mereka saling menatap. “Ada apa?” Tanya Julian. Janice menelan ludahnya dengan gugup. “Berapa lama aku tidak sadarkan diri?” Julian mengangkat sebelah alisnya. Namun akhirnya ia menjawab pertanyaan Janice. “20 jam.” Janice menganggukkan kepalanya dengan pelan. Ternyata ia sudah membuang waktu cukup lama. Kira-kira, apakah Janice berhasil menyelesaikan misinya dalam 49 hari? Melihat bagaimana perlakuan Julian saat ini membuat Janice merasa pesimis. Sepertinya dia akan kesulitan untuk mendapatkan pengampunan dari Julian. Dari ekspresinya, sepertinya semua orang tahu jika Julian sangat membanci Janice. “Kapan aku akan pulang?” Lagi-lagi Julian mengangkat kepalanya dengan enggan. “Aku tidak tahu. Ikuti saja prosedur kesehatan yang harus kau lakukan.” Dan Janice juga kembali mengangguk dengan pelan. “Apakah kecelakaan ini membuatmu kerepotan?” “Kau menanyakan hal yang sudah kau ketahui jawabannya?” Julian menatapnya dengan sinis, tampak tidak berusaha menutupi senyuman mengejek yang sengaja pria itu tunjukkan kepadanya. “Aku sempat berharap kau mati dalam kecelakaan tersebut.” Janice menahan napasnya. Kalimat Julian menusuk tepat ke jantungnya, membuatnya kesulitan bernapas untuk sesaat. Aku memang sudah mati… Janice mengulum senyuman. Berusaha untuk terlihat tidak terpengaruh dengan kalimat tersebut. Namun nyatanya, air mata Janice tidak bisa diajak berkompromi. Ia selalu cengeng di saat yang tidak tepat. “Kau menangis?” Dan seperti biasanya, Julian selalu menegaskan apa yang ia lihat seakan sengaja memperburuk keadaan emosi Janice. “Kau peduli padaku?” Entah kenapa kalimat tersebut meluncur begitu saja dari bibirnya. Janice juga tidak sadar bahwa kalimatnya tentu mengundang tanda tanya dari Julian, mengingat jika selama ini ia tidak pernah berani mengajukan pertanyaan macam-macam kepada pria itu. Namun Janice hanya berusaha untuk mencoba peruntungannya. Berusaha menggunakan kesempatan yang hanya tersisa kurang dari 49 hari lagi. “Kau bergurau?” Janice menggelengkan kepalanya dengan kaku. “Tidak.” Sebuah senyuman mengejek terbit di sudut bibir Julian, membuat Janice semakin cemas menunggu respo pria itu. “Ya, kita memang tidak pernah bergurau.” Julian tampak mendengus dengan jijik. “Tapi aku menghargai kepercayaan dirimu yang entah sejak kapan bisa meningkat dengan drastis.” Janice menundukkan kepala. Merasa menyesal karena mengajukan pertanyaan konyol yang mengundang tatapan jijik Julian. Oh sungguh, apa yang sedang Janice lakukan? Haruskah ia diam saja dan membuang waktunya dengan percuma? Lalu ia akan dilahirkan sebagai babi dan anjing? Janice suka anjing, tapi sepertinya dia tidak akan tahan jika harus hidup sebagai anjing, apalagi babi. Inilah satu-satunya kesempatan yang Janice miliki. Selain menjaga dirinya agar tidak bereinkarnasi menjadi hewan, Janice juga bisa memanfaatkan kesempatannya untuk mendapatkan pengampunan dari Julian. Sekalipun kesalahannya tidak termaafkan… “Kau hidup dengan nyaman selama lima tahun ini tanpa peduli jika aku tidak pernah bisa tersenyum bahagia sejak hari itu.” Julian berbicara sambil menatap dengan sinis. Janice menggigit bibir bawahnya sendiri. Ia menahan isakan yang mungkin saja akan terdengar cukup menyedihkan karena saat ini dia tidak bisa menahan laju air matanya. Julian selalu berhasil mencabik hati Janice hingga semua rasa sakit yang ia terima tidak cukup membuatnya terbiasa. Rasanya Janice ingin berteriak dan mengatakan jika sejak hari itu, ia juga tidak pernah benar-benar tersenyum. Bahkan satu-satunya hal yang bisa dia lakukan dengan bebas adalah menangis sendirian di apartemennya. “Sudahlah, ini terlalu awal untuk membuatmu terluka. Kurasa kau bisa menikmati hari tenang selagi kau berada di rumah sakit.” Julian kembali fokus menatap laptopnya. Janice berpikir keras, jika ia tidak segera bertindak maka waktunya akan habis dengan sia-sia. Dewa memberikan kesempatan kedua kepadanya, artinya Janice diminta untuk kembali berjuang dan mendapatkan pengampunan dari Julian. Jadi… Janice tidak boleh menyerah. Lagipula Janice memang sudah menghancurkan kehidupan Julian. Membuatnya menderita karena kesalahan yang ia lakukan lima tahun yang lalu lewat sebuah pengakuan yang pasti menghancurkan hati Julian hingga membuatnya tersiksa setiap waktu. Ya, semua ini pantas diterima oleh Janice. Dan bukankah Janice sudah terbiasa dengan luka? Ia bersahabat dengan tangisan dan kekecewaan sehingga seharusnya Janice tidak perlu terlalu berlebihan ketika mendengarkan caci maki Julian. Janice sudah terbiasa… dia hanya perlu sedikit menguatkan hatinya untuk kembali mendengarkan kalimat menyakitkan lainnya. Hanya selama 49 hari… dan Janice harus berusaha untuk mengembalikan kebahagiaan Julian, setidaknya menghapuskan rasa sakit yang selama ini ditanggung sendirian oleh Julian. “Julian?” Janice kembali memberanikan diri untuk memanggil pria itu. Tanpa menunggu Julian menanggapi, Janice kembali melanjutkan, “Apakah boleh jika aku memintamu menjadi suamiku yang sesungguhnya?” Tanya Janice dengan suara bergetar. Julian mengangkat sebelah alisnya. Tampak cukup terkejut dengan pertanyaan aneh yang baru saja diajukan kepadanya. Namun saat melihat tatapan serius yang Janice berikan, Julian langsung berdeham dan menegakkan punggungnya. Sedetik kemudian, pria itu kembali menatap Janice dengan tajam. “Apakah kecelakaan itu membuatmu gila?” Janice menggelengkan kepalanya dengan cepat. Bibirnya bergetar karena merasa ragu, tapi akhirnya ia memejamkan mata dan mengucapkan penjelasan secepat mungkin. “Kita sudah menikah, bukan? Wajar jika aku ingin kau menjadi—” “Hentikan, Janice. Sebelum aku semakin jijik kepadamu.” Kalimat tersebut menohok hati Janice. Membuatnya kehilangan kata-kata untuk kembali melanjutkan usahanya, sesuai dengan perintah Dewa yang disampaikan oleh Ezra. Astaga, bahkan Janice baru berusaha selama lima menit, tapi kalimat Julian telah berhasil mematahkan semangatnya. *** Pemeriksaan yang dijadwalkan untuk Janice adalah rangkaian rontgen tulang belakang, kepala serta pemeriksaan organ dalam. Janice tidak mengerti kenapa ia harus menjalani banyak sekali pemeriksaan, namun ia tidak bertanya apapun dan mengikuti semuanya dengan tenang. Sejak pagi Julian selalu menemaninya sekalipun pria itu juga tidak banyak bicara padanya. Hanya sesekali menanyakan apakah posisi duduknya di kursi roda nyaman atau tidak. Selain pertanyaan itu, Julian lebih sering berbicara dengan dokter untuk mengetahui bagaimana keadaan Janice. Pria itu berlaku seolah ia benar-benar peduli dengan istrinya, padahal Janice tahu jika Julian enggan mendengarkan penjelasan mengenai keadaannya. Masih teringat dengan jelas kalimat yang dikatakan Julian kemarin malam, bahwa pria itu berharap Janice mati karena kecelakaan tersebut. Namun, meskipun tahu jika Julian tidak peduli padanya, Janice tetap merasa senang karena pria itu menemaninya. Dokter juga tampak antusias memberikan penjelasan karena Julian selalu memahami setiap istilah kedokteran yang gunakan untuk menggambarkan keadaan Janice. Kata dokter, tidak banyak orang yang bisa langsung paham dengan penjelasan dalam bahasa kedokteran karena orang merasa asing dengan istilah-istilah yang digunakan. Namun Julian tidak demikian. Sebenarnya Janice tidak merasa terkejut, Julian adalah pria yang pandai. Sejak dulu, pengetahui Julian selalu lebih luas dari pada pemuda seusianya. Dan sekarang ia telah tumbuh menjadi seorang pria dewasa yang tentu saja pengetahuannya semakin bertambah luas. Kembali lagi pada penjelasan tentang keadaan Janice, ajaibnya dokter mengatakan jika tidak ada kerusakan apapun baik di tulang maupun organ dalam Janice padahal kecelakaan yang ia alami cukup parah. Penjelasan tersebut membuat Janice teringat pada Ezra. Entah kenapa Janice semakin percaya jika sebenarnya ia sudah meninggal, sehingga Janice sama sekali tidak merasakan sakit di tubuhnya, bahkan juga tidak ada satupun luka serius di tubuhnya. “Kau diizinkan pulang besok pagi. Tapi masih ada beberapa pemeriksaan yang harus kau lakukan.” Julian menyisipkan lengannya di antara punggung Janice dan mengangkatnya dari kursi roda, lalu membaringkan Janice dengan lembut setelah ia mengatur letak bantal dan posisi ranjang. Janice menatap pria itu tanpa berkedip. Di luar kalimat sinisnya yang selalu berhasil membuat napas Janice tercekat, Julian memperlakukannya sangat baik selama dua hari mereka berada di rumah sakit. Entah pria itu memang sengaja tidak menyakitinya secara fisik atau memang dia berlaku baik karena ingin Janice segera sembuh agar mereka bisa pulang dengan cepat dan dia bisa segera melancarkan rencana pembalasannya. Janice sangat jarang berpikiran buruk, tapi setelah semua yang terjadi belakangan ini, sulit rasanya menjaga hatinya untuk tidak memikirkan hal negatif. Nalurinya membentuk sebuah pertahanan yang akan selalu memperingatkan Janice untuk lebih hati-hati dalam berpikir maupun berbicara. Namun tentu saja Janice lebih banyak mengabaikan naluri tersebut. Ia sudah tahu kemana semua ini akan mengarah. Pembalasan dendam… Dan sayangnya Janice hanya memiliki waktu selama 49 hari. Yang mana dua hari dari waktu tersebut telah ia habiskan di rumah sakit tanpa mencoba melakukan usaha apapun untuk menebus kesalahannya. “Terima kasih karena sudah membantuku.” Janice menundukkan kepala, menatap kedua kakinya yang sebenarnya sudah bisa digunakan untuk berjalan. Julian meliriknya sekilas, lalu kembali membuang muka. Tidak menanggapi ataupun memberikan respon atas ucapan terima kasih yang Janice berikan. Awalnya Janice tidak keberatan jika Julian mengabaikannya, tapi begitu ia ingat dengan misi yang Dewa berikan, seketika Janice memutar otak. Mencari cara untuk bisa mendapatkan perhatian Julian agar dia bisa melakukan tugasnya lalu… lalu apa? Lalu pergi dengan tenang? Janice mengernyitkan dahinya ketika memikirkan hal tersebut. Otaknya terlalu terbatas untuk memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan Dewa. Mungkin itulah alasan mengapa manusia tidak bisa menyelami isi pikiran Dewa, juga tidak bisa memperkirakan takdir yang sudah Dia berikan. “Julian, apakah setelah ini kita akan pulang ke rumahmu?” Janice menatap Julian penuh harap. “Kau ingin mengunjungi orang tuamu?” Julian menaikkan alis. Janice menggeleng. “Kalau begitu kita akan pulang ke rumahku.” Sekalipun jawaban Julian sudah sangat jelas sehingga Janice tidak memiliki kesempatan untuk bertanya lagi, kali ini Janice pantang menyerah. Baginya, salah satu langkah utama yang paling penting adalah membuat Julian lebih sering berbicara dengannya. “Apakah kau selalu berangkat bekerja dari rumahmu lalu kembali pulang di malam hari?” Julian mengangkat kepalanya dengan enggan. Sebenarnya Janice tidak keberatan jika Julian menjawab pertanyannya tanpa perlu menatapnya, tapi tatapan yang Julian berikan juga memberikan sensasi kesenangan tersendiri di hati Janice. Janice terlalu munafik untuk menilai tatapan tersebut sehingga ia bisa merasa senang dengan tidak tahu diri padahal Julian menatapnya dengan tajam dan kesal. “Apakah itu penting?” Janice mengerjapkan mata. Sejujurnya, Janice memiliki banyak bayangan romantis tentang pasangan yang baru saja menikah. Namun melihat bagaimana keadaan mereka, dimana Julian memiliki hubungan asmara dengan Callista ketika pria itu menikahinya, rasanya semua bayangan romantis Janice menghilang begitu saja. Apalagi setelah ia mengetahui fakta di balik alasan Julian menikahinya. Janice tidak memiliki banyak kesempatan, ia juga tidak tahu kalimat macam apa yang biasanya dibicarakan oleh pasangan suami istri. Oleh sebab itu, Janice hanya sedang mencoba perutungannya. “Kata Papa kau memiliki rumah di pinggir kota. Bahkan cenderung lebih dekat ke hutan dibandingkan ke tempat kerjamu. Aku bertanya karena aku ingin tahu apakah nanti…” Janice mengernyitkan dahinya dengan kebingungan. “Apakah nanti aku bisa menggunakan kendaraan umum untuk pergi ke toko bungaku.” Lanjut Janice dengan lega. Rencana untuk akrab dengan Julian sepertinya harus dipersiapkan dengan lebih matang agar dia tidak kehilangan topik di tengah percakapan yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai percakapan sepihak. “Kau tidak akan bekerja setelah menikah.” Kernyitan di dahi Janice semakin dalam. “Aku tidak bekerja, aku hanya—” “Tidak, Janice.” Tekan Julian. Janice merasa ada yang salah dengan kalimat Julian, sehingga dia bangun dari posisi berbaring dan mencoba menyusun kata yang lebih tepat untuk menanyakan apa maksud kalimat pria itu. “Kau tahu jika aku memiliki toko bunga, bukan? Aku tetap harus datang ke sana untuk memeriksa beberapa hal sekalipun sudah banyak karyawan yang—” “Apakah aku sudah pernah mengatakan jika kau terlalu banyak bicara?” Janice merasa ada sesuatu yang menahan tenggorokannya ketika Julian bangkit berdiri dan mendekatinya dengan tatapan kesal. “Kau tidak akan bekerja. Lupakan rencanamu tentang toko bunga atau cita-citamu yang lain.” “Julian… aku hanya… hanya ingin kembali ke kehidupan normalku.” Cicit Janice dengan suara pelan. Ia merasa menjadi wanita paling tidak tahu diri karena meminta sesuatu yang sudah jelas tidak pantas untuk ia terima. Julian menyipitkan matanya lalu tertawa sinis. “Kehidupan normal?” Gumamnya. “Bagaimana dengan hidupku yang sudah kau hancurkan? Apakah bisa kembali normal?” Janice menundukkan kepalanya. Ia juga bertanya-tanya dalam hati, apakah dia bisa mengembalikan kehidupan Julian? Membuat pria itu kembali tertawa seperti dulu? Apakah dia bisa? Pandangan Janice kembali terangkat sekitar 15 menit setelah perdebatannya dengan Julian. Pria itu sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya, terlalu fokus dan larut di dalam layar laptop sehingga tidak menyadari jika kini Janice sedang menatapnya. Lalu Janice meraih buku catatan miliknya yang tergeletak di atas meja. Kebohongan kedua: Beberapa tahun lalu aku mengatakan jika aku ingin memiliki kakak seperti Julian. Aku berbohong, aku tidak ingin memiliki kakak lagi. Aku berharap Julian tidak menjadi kakakku, tapi pasanganku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN