Anissa dapat merasakan deru napas lelaki berwajah itu dari dekat. Seketika, hatinya yang sudah mati kini entah mengapa mendapat siraman kembali seakan-akan untuk menguatkan signal-signal kehidupan kembali.
Aura-aura ketajaman mata yang biasanya menebarkan kedinginan, kejutekan, kini entah mengapa Anissa melihat matanya begitu cerah. Bau parfumnya sampai menembus ke dalam dirinya.
“Ekhem!” Seorang gadis mendeham saat tidak sengaja melihat keduanya sedang beradu pandang.
Perempuan berwajah oval itu pun segera mengangkat tubuhnya setelah diintai oleh sahabatnya sendiri.
Refal bertanya. “Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu menggeleng dengan mengelus kedua lengannya yang saling bertolak belakang. “Tidak.”
“Maaf ya, sa-saya mau izin ke kamar mandi,” ucap Imel yang merasa tidak enak dengan bosnya.
“Silakan,” sahut mereka secara kompak yang membuat Imel hendak menahan tawanya.
“Pak Refal, kenapa ke sini? Bukannya, tanda tangan kontraknya kurang 3 hari lagi?”
Refal sudah berjanji untuk tidak menemui Anissa, hingga masa iddahnya selesai yang tinggal menghitung hari.
Masa iddah Anissa, jika dia mengalami cerai hidup maka perhitungannya 3 kali setelah menstruasi selesai.
“Ya, sebenarnya saya ingin berbicara denganmu. Tapi, di sini ada Imel ya?”
“Iya. Hari ini, Imel main sampai sore. Memangnya, mau ngomong apa Pak?”
“Ya sudah, nanti saja kalau di kantor. Sekarang, saya mau pergi dulu. Kamu bisa melanjutkan hangout-nya sama Imel.”
Refal sudah mengetahui semua dari Imel, tentang masa lalunya jika Anissa pernah dekat sama sekretaris pribadinya sendiri.
Akhirnya, lelaki itu pun melajukan mobilnya dengan kencang sampai ke apartemen miliknya. Di sana lah sosok Refal tidak sama bedanya dengan penghuni apartemen. Dia tidak seperti bos besar sebab dia bisa duduk santai dengan bebas tanpa ada dorongan tekanan baik dari pekerjaan maupun ayahnya.
Tangannya membuka layar 14 inch, rasanya dia sudah lama tidak menonton film yang membuat mood-nya membalik.
Ternyata menonton film saja tidak cukup, dia pun tidak sengaja membuka laporan pendapatan yang sudah naik secara signifikan.
“Anissa memang hebat. Aku ternyata salah menilai dia perempuan bodoh. Tapi, mungkin dia sangat bodoh di dalam hal percintaan. Tapi, tanpa aku sadari ternyata dia sangat brilian,” puji Refal saat melihat total omset bulanan.
Setelah Anissa menjadi host saat live streaming di e-commerce, Refal sudah mendapatkan seseorang yang menaikkan omset, bahkan dia pun sudah mendapatkan kartu hijau dari Andro untuk memegang seluruh kekuasaan bisnisnya. Namun, dia masih memiliki tantangan yang terkendali jika tidak menikah dalam waktu yang sudah diberi oleh ayahnya.
“Argh…!”
“Kenapa sih, dulu aja Papah sering bilang kapan bisnisku maju. Sekarang, bisnisku sudah maju malah meminta untuk menikah. Kalau kayak begini, hidupku tidak akan pernah tenang selalu dikekang seperti boneka saja!”
Saat dia melamun, tidak sengaja jemarinya menggeser kursor sampai mengklik sebuah dokumen pemasaran. Di sana banyak sekali foto Anissa yang memakai produk-produk buatannya.
“Senyum dia seperti memancarkan energi positif,” puji Refal saat melihat Anissa mengenakan rok plisket, dibalut blazer putih ditambah hijab berwarna kuning terang sama seperti warna brand tasnya.
Bibir itu terukir tipis dengan senyuman yang seketika merekah, jemarinya mengelus laptop, bahkan dia pun memperbesar wajah perempuan itu.
“Perfect! Dia seperti perempuan mahal. Aris benar-benar bodoh melepaskan istri secantik, mandiri, terkenal, dan tidak manja.”
Wajahnya begitu adem, teduh, bahkan dari banyaknya wanita yang Refal pandang dan berusaha mendekati hanya Anissa lah yang jual mahal dengan alasan masih masa iddah.
Tiba-tiba hati lelaki itu pun tertarik dari rasa kagum selama Anissa bekerja dengannya. Dia sudah lupa rasanya mengagumi seseorang dengan mencintainya sebab cinta itu telah hilang setelah seorang kekasih yang tak direstui itu meninggal kecelakaan.
Jemarinya membuka laci dari meja kerjanya. Di sana ada foto kecil yang ditempatkan di bingkai lalu kedua matanya memandang dengan puas.
“Jika, aku mengagumimu. Apa kau juga akan menerima pujian dariku?” Jemarinya mengelus wajah dari bingkai tersebut.
“Duh, aku ngomong apaan sih? Kenapa, aku jadi seperti CEO bucin begini. Tidak mungkin, aku mengaguminya lebih dari sekadar bisnis!”
Refal membuang bingkai itu ke sembarang arah sampai pecahan kaca itu bertebaran ke mana-mana. Dia membenci perasaan cinta untuk berasumsi memiliki perempuan yang sudah diolok-olok.
“Tapi. Apa tidak ada salahnya, aku mencoba menawarkan diri lagi? Tapi … apa harga diriku serendah itu di hadapan perempuan?”
Refal berperang batin dengan pikirannya sendiri. sesungguhnya, dia tidak ingin menikah dalam waktu dekat. Rasa cinta dengan kekasihnya masih begitu tinggi, dia trauma dengan cinta yang tidak akan abadi.
Mengapa ada cinta, jika perpisahan itu ada?
Ah, sungguh menyesakkan hati sampai membuat hidungnya tidak tenang, bahkan tidak jarang seseorang yang putus dari cintanya sampai nekat bunuh diri.
Sementara Anissa masih menikmati kebersamaan dengan Imel, dengan menikmati hari liburnya. Rasanya, perasaan suntuk itu telah hilang setelah dia bertemu dengan Imel.
“Anissa, kamu suka gak sama Pak Refal?” tanya Imel dengan tiba-tiba, hingga membuat perempuan itu lebih fokus menatap temannya itu.
“Maksudmu? Suka dalam hal apa?”
“Perasaan suka. Aku rasa, Pak Refal suka deh sama kamu.”
Anissa mengerutkan dahi. “Hah, maksudnya?”
“Dari gerak-gerik dia saat mendekati kamu tuh beda antara karyawan dengan bos. Coba deh, adegan yang tadi pagi itu dia sampai gemetar loh ketahuan aku.”
“Masa sih? Perasaan biasa aja deh.”
Imel menghela napas, tangannya menepuk pundak Anissa. “Aku tuh sudah lama kerja sama dia. 4 tahun, bukan waktu yang sebentar untuk memahami bagaimana karakter bos dingin, jutek, mungkin angkuh. Dan, selama dia denganmu rasa arogan itu hilang seketika. Berarti, kamu sudah masuk di dalam hatinya Pak Refal.”
Anissa terdiam sebentar. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya.
Kedua tangan Imel meraih tangan Anissa yang masih berpangku di atas pahanya. “Anissa, masa iddah kamu itu tinggal 3 hari lagi. Apa kamu tidak ingin membuka luka itu dengan balutan cinta? Aku sebagai sahabatmu, sangat peduli denganmu. Kamu bisa menikah lagi setelah luka itu sembuh.”
Kedua mata itu bertatapan dengan sempurna. “Mel. Menata hati untuk mencintai itu tidak mudah. Aku sama Pak Refal ya sama seperti kamu sebagai karyawan. Tidak ada lebih perasaan aku untuk mencintainya. Aku akan lebih fokus untuk belajar hidup sendiri lagi. Udah, kamu gak usah merasa kasihan denganku. Justru, aku sangat bahagia dengan memiliki sahabat sepertimu saat aku sedang terpuruk.”
“Tapi, Anissa ….”
“Imela Indria, aku tidak apa-apa. Lagian, dia juga bukan lelaki tipe aku kok.”
Imel mengangkat kedua alisnya. “Yakin, bukan lelaki tipemu? Kok, rasanya aku tidak percaya ya dengan ucapanmu.”
“Kebanyak nonton drakor sih kamu, jadi semua hal kedekatan dijadikan bucin. Udah ah, udah sore mau pulang gak?” Anissa menjadi salah tingkah saat dirinya dijodohkan dengan bosnya sendiri.
“Dih, ngusir?”
“Iyalah. Besok kerja, jangan kemalaman. Aku gak mau sahabatku ini kecapean.”
Gadis itu pun mencubit pipi Anissa yang semakin melebar. “Uh, aku jadi baper diperhatiin. Ya sudah, aku pulang ya.”
Malam harinya, tiba-tiba kedua mata Anissa tidak bisa memejam dengan sempurna. Entah mengapa, apa yang dikatakan Imel memenuhi pikirannya.
“Kenapa, aku sampai memikirkan dia terus ya? Aku rasa hal seperti itu sering orang rasakan. Tapi, aku rasa sifat arogan dia entah mengapa jadi hilang begitu ya? Ah, mungkin perasaanku sama Imel saja deh.”
3 hari kemudian ….
Di mana masa iddah seorang perempuan akan melepas jandanya dengan sah. Itu artinya, perempuan yang sudah mengenakan hijab cokelat s**u itu sudah bisa keluar dari rumah.
Kedua bola matanya melihat plang Perusahaan Anggara itu dengan intens. Ternyata, apa yang dikatakan oleh Imel itu benar sungguh indah, sejuk, bahkan dapat dilihat dari jauh Anissa merasakan kenyamanan.
“Bagus banget perusahaannya, bahkan ini jauh lebih bagus dari tempat kerjaku dulu dengan Mas Aris,” puji Anissa.
Tiba-tiba ada sebuah mobil yang mengklakson dari belakang. “Anissa, ayo masuk. Lobinya jauh dari pintu gerbang!” seru Imel.
Anissa pun melangkahkan kakinya, hingga masuk ke dalam mobil milik Imel.
“Gimana, lo betah gak lihat perusahaannya?”
“Ini sih beda banget sama yang digambar. Aku merasakan ketenangan dan kenyamanan, padahal baru aja lihat gerbangnya.”
“Ya sudah, kita masuk ya. Oh iya, nanti kamu langsung ke ruangan Pak Refal aja ya. Nanti, kamu bisa tanya satpam yang bertugas di masing-masing lorong.” Anissa pun mengangguknya.
Anissa pun diantar oleh satpam sampai ke depan ruangan Refal. di mana ruangan itu paling atas ketimbang ruangan lainnya.
Keluh keringat itu tiba-tiba muncul dari dahi Anissa yang terbalut dalaman hijab. Padahal, setiap penjuru ruangan ada air conditioner yang pasti akan menyejukkan badannya. Tetapi, hal itu justru tidak berguna bagi Anissa yang sedang merasakan senam jantung.
“Neng, saya hanya bisa mengantar sampai sini. Silakan, kamu bisa memencet bel. Nanti, pasti Pak Refal akan membuka pintu ruangannya.”
“Baik, terima kasih ya, Pak.”
“Sama-sama.”
Duh, kenapa aku jadi deg-degan begini ya? Kemarin kan sudah bertemu. Jantungku kenapa berdebar banget ya.
Anissa memegang dadanya. Dia merasa tidak percaya diri yang hendak memencet bel. Namun, saat tangannya hendak memencet bel tiba-tiba pintu ruangan itu sudah terbuka dengan lebar hanya hitungan detik saja.
“Lho, kok sudah terbuka sih?” Anissa mencoba melongok yang ternyata Refal sedang berfokus pada komputernya.
“Masuk. Kenapa, masih diam di situ?” Refal seperti mengabaikan Anissa yang baru saja datang.
Perempuan itu pun melangkahkan kakinya yang sebelumnya sudah mengambil napas dalam-dalam seakan mempersiapkan diri dengan bekerja di Perusahaan Anggara.
Namun, justru fokus Refal dari komputer segera menyingkir saat melihat langkah perempuan brilian itu dengan tenang dan elegan menghadapnya.
“Silakan, duduk.”
Imel salah, katanya jutek, dingin, angkuhnya sudah hilang. Tapi, hari ini aja masih melekat tuh kawan-kawan arogannya.
“Di surat kontrak kerja itu ada satu yang harus kamu lakukan.”
“Memangnya, apa yang harus saya lakukan, Pak?”
Refal memberikan surat kontrak kerja yang sudah diketik rapi oleh Imel.
“Maaf, saya kurang setuju dengan poin 5 di mana saya harus menuruti kemauan Pak Refal, bahkan di luar jam kerja saya.”
“Iya, memangnya kenapa? Bukannya, kamu sudah setuju dengan semua syarat kontrak kerja?”
“Memangnya, Pak Refal mau menyuruh saya dalam hal apa?”
“Nanti malam, saya akan ada kedatangan tamu bisnis dari teman Papah saya. Jadi, saya harap kamu mau menemani saya di sana.”
Anissa menghela napas dengan pelan. “Maaf, Pak. Di luar masalah pekerjaan, saya tidak bersedia dengan hal itu.”
“Gajimu akan saya naikkan 3 kali lipat. Jika, kamu mau menikah dengan saya, Anissa!”
Kedua bola mata Anissa terbuka dengan lebar, mulutnya ternganga saat lidahnya Refal dengan mudah mengatakan hal itu. “Apa? Saya tetap tidak mau! Jadi, Pak Refal tidak perlu memaksa saya dengan ambisi itu!”