Kalau boleh jujur, berhasil lulus dari jenjanng Pendidikan sekolah pertama benar-benar di luar ekspektasi. Yang ia yakini sendiri ia akan lulus ala kadarnya bersama deretan nilai yang saking rendahnya sampai tak berguna. Masuk sekolah swasta pinggiran jelek seperti SMA Nusantara Senja (dari n****+ Scenery Out the Window). Hidup jadi manusia tak berguna yang tak punya manfaat untuk masyarakat. Namun, semua anggapan akan betapa suram masa depan itu segera dipatahkan oleh keberadaan seseorang… Archer. Selama waktu yang berat itu Archer selalu setia temani Raki belajar. Tanpa lelah Archer terus memotivasi dirinya dengan kata, ayo, kammu harus lulus dengan nilai bagus. Masuk ke sekolah yang punya level tinggi. SMA barengan lagi.
Archer yang tak peduli bagaimana ia menolak dan berusaha abaikan… semakin lama hanya buat ia semakin mau berusaha.
Tapi, anehnya, seorang Raki sedikit pun tetap tak terpikat. Tidak ada rasa terpukau. Tertarik untuk melirik saja tidak boro-boro palingkan wajah. Di matanya sendiri Archer hanya seorang anak laki-laki menyebalkan. Semua yang ia ucapkan adalah penghinaan. Semua yang ia lakukan adalah gaya keangkuhan. Ia sendiri tak begitu paham kenapa bisa seperti itu. Archer bilang ia akan masuk SMA Spebius. Sebelum mengajari Raki pun Archer telah membuat perjanjian. Jika lulus dengan nilai bagus. Ia harus mendaftar ke SMA Spebius juga.
Mendaftarlah ke SMA Spebius. Pasti gagal, pikirnya saat ujian masuk. Di hadapannya terhidang soal-soal yang luar biasa sulit. Tapi, ia lulus. Setengah tidak percaya. Ia siap memulai kenyataan baru sebagai siswi Spebius. Archer menemuinya. Mengungkapkan congratulation beserta t***k bengek kepercayaan bisa merubah kenyataan. Tapi, wajahnya tak sesumringah Archer. Entah kenapa. Masuk SMA sebagus Spebius memang mampu buat ia bahagia. Tapi, entah kenapa, lagi-lagi, keberadaan Archer merusak semua kebahagiaan yang harusnya meluap itu. Mmengetahui hal itu buat hati Archer sakit, tapi pada akhirnya ia putuskan untuk mengalah. Ia batalkan semua niatan hati untuk satu sekolah lagi dengan Raki sang pujaan hati.
“Walau akhirnya jadi seperti ini… kita harus tetep jadi temen, ya?” tanya Archer sebelum pergi.
Raki tak menjawab. Malah palingkan wajah. Ia hanya ingin Archer segera enyah dari hadapannya. Pandangannya. Hidupnya.
*
Ia bukan orang kaya. Tapi, mengajukan beasiswa dengan persyaratan sebanyak dan segila itu juga rasanya tak akan mungkin. Maka demi dirinya. Ayahnya mengambil lowongan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Kakak laki-lakinya akan bekerja sebagai pencuci piring di kapal pesiar. Ibunya pun tak mau menyerah dan putuskan bekerja di rumah makan milik tetangga sebagai buruh cuci apa saja, piring kah, baju kah, atau yang lainnya, lah. Sementara ia cukup belajar dengan benar, rajin, dan lulus dengan hasil seperti ekspektasi.
Sejak awal kedua pundak Raki telah memikul banyak tanggung jawab dan kepercayaan banyak orang.
Tapi, SMA Spebius berada di luar jangkauan nalar. Ia pikir untuk jadi siswa baik hanya perlu belajar dengan benar. Tapi, di SMA Spebius menekankan kepekaan mode di tingkat yang sama dengan nilai. Tidak gaya. Rundung. Tidak modis. Rundung. Nilai jelek. Rundung. Bisa-bisa kehidupan tanpa teman-nya akan terulang di jenjang di mana ia harap semua sudah baik-baik saja ini.
“Baru juga satu minggu sekolah di sini kenapa rasanya udah mau keluar aja, ya,” ucapnya di pohon beringin belakang sekolah. Seorang diri. Ia bisa lulus dengan nilai bagus karena ada Archer. Ia tak punya siapa pun di sini. Ditambah beban berat kepercayaan keluarga. Rasanya ingin menangis, berteriak, dan meraung bagaimanapun caranya.
“Huwaaa!!! Gue nggak bisa kalau begini terus. Tolong, Ya Allah, tolong aku!” ratapnya ke angkasa, berharap Tuhan melihatnya dari sana. Beri kesediaan untuk beri bantuan. Walau rasanya memang sulit untuk dibayangkan.
“Eh, kirain ada sundel bolong,” kata suara yang baru ia dengar. Ia bahkan tak mengenal siswa jahil yang ucapkan hal itu. Tapi, sukses buat tangisannya berhenti seketika.
“Lo ngapain di sini?” tanya Raki.
“Nyari elo,” jawab si siswa misterius. Dengan jawaban yang sama misteriusnya. Apa pula yang bisa buat siswa yang terlihat… hmm… lumayan ganteng itu mencari siswi biasa tidak menarik seperti dirinya.
“Lo ngikutin gue?” tanya Raki sambil mencengkram kedua lengan siswa misterius itu.
“Benar sekali. Gue duduk di sebelah sana,” tunjuk si siswa ke sisi lain pohon.
“Lo mau apa? Kita kan nggak kenal juga. Tolong jangan cari masalah sama gue. Seperti lo lihat. Gue ini menyedihkan. Miskin, nggak gitu pinter, gak gitu cantik pula, dan cuma modal hoki doang bisa masuk sini. Tolong jangan ancam gue dengan mempertaruhkan harga diri atau martabat. Keliatannya lo orang tajir. Lo nggak butuh uang rakyat jelata kayak gue, ‘kan? Dan, oh my God, ternyata lo seorang SUP. Tolong gue. Nggak ngelanggar peraturan kan nangis di bawah pohon sendirian. Gue nggak punya temen. Tolong… bla bla bla.”
Telinga Ariy nyaris sakaratul maut mendengar ocehan Raki. Hmm. “Gue ngikutin lo karena itu?” tunjuknya ke d**a sebelah kanan Raki. Di sana menempel sebuah pin bertuliskan, I LOVE ANIME © © ©.
“Lo mau minta pin ini? Please, jangan, ini harta karun gue,” respon Raki nyaris histeris. Unik juga ada orang yang membuntuti sudah seperti tukang begal hanya karena hal “sederhana” seperti itu
“Pertama-tama, gue pengen memperkenalkan diri dulu kalau gue ini juga seorang otaku,” beritahunya sambil membuka kemeja seragamnya. Di bagian dalam tengah bersinggahsana kaos dengan gambar sebuah anime terkenal berjudul Akame ga Kill.
Bertemu sesama otaku di sekolah minoritas otaku bagai menemukan sup hangat di Antartika.
Sejak itu ingatan akan Archer perlahan memudar dari kepala Raki. Sudah ada pengganti yang tak kalah baik. Malah lebih baik. Di dunia dingin berkilau. Ariy satu-satunya tungku penghangat. Yang mampu buatnya terus bertahan.
*
Ariy adalah aether utama untuk seorang gadis biasa cenderung minus bernama Raki. Ariy telah melakukan banyak hal sampai tak bisa dihitung untuknya. Dan kini… ia tau sahabatnya ternyata tengah sangat menderita. Karena masalah yang tak pernah bisa ia katakan. Masalah yang bahkan mungkin tak ada wujudnya. Apakah ia harus bersikap membiarkan dengan keyakinan bahwa Ariy pasti akan mampu atasi masalah itu. Atau melakukan sesuatu… tapi ternyata malah bertentangan dengan apa yang ia inginka.
“Mungkin lo nggak percaya,” katanya sambil menusuk-nusuk batagor, “Gue nggak tau ini rasanya gimana. Gue udah mati rasa, Ki”
Ariy telah kehilangan seluruh kepekaan inderanya. Ia tak mengatakan bagaimana itu bisa terjadi. Ia hanya berpesan untuk tak mengatakannya pada siapa pun. Yang jelas apa pun penyebab hal mengenaskan itu pasti melewati suatu proses panjang. Dengan kontribusi banyak hal serta orang-orang yang ada di dalamnya.