Beberapa hari sejak turunnya nilai ujian tengah semester. Seperti ada gerhana matahari total yang melingkupi diriku tidak peduli ke mana pun juga aku menuju. Tugas sekolah yang sangat banyak menghalangi aku untuk menyambung silaturahmi dengan Baek maupun Akio. Aku tidak tahu ya bagaimana kondisi belajar mereka di SMA Negeri A1. Walau kelihatannya pasti “jauh” lebih mudah timbang di tempat ini. Sepertinya mereka juga pasti sedang sibuk. Membuat aku jadi tidak berani jika harus menghubungi lebih dulu.
Suatu malam Ayah memanggilku ke ruangan kerjanya. Aku sangat malas jika disuruh ke sana. Entah karena apa, tapi Ayah menyembunyikan pintu ruangan itu di dalam lemari pajangan. Ada tangga menuju bawah tanah. Tangga itu sangat gelap. Panjang. Seperti labirin. Di ujung tangga ada lift katrol yang menuju ke loteng. Di loteng aku harus dikenali oleh sistem jika ingin melanjutkan perjalanan. Barulah bisa ketemu dengan pintu masuknya.
…….
Cklek.
“Sebutkan password-nya!” perintah mesin otomatis yang terdapat di pintu masuk.
Alamak, pengamanannya sudah nambah ternyata. “Aku tidak tahu,” jawab Var tidak begitu peduli.
“Anda benar, Tuan Muda Var. kalau begitu silahkan Anda masuk,” ucap mesin aneh itu lagi.
Huuh, menyebalkan sekali. Ia pun beranjak masuk ke dalam ruang kerja sang ayah. Tap tap tap. “Ada apa, Yah?” tanya Var di hadapan meja kerja pria itu.
“Sejauh ini bagaimana keseharian kamu saat sedang di sekolah?” tanya pria itu. Tersenyum ramah.
“Biasa saja,” jawab Var dengan intonasi datar.
“Apa mata pelajaran yang diajarkan di sana masih mudah seperti yang kamu pikirkan dahulu, nak?” tanya pria itu lagi. Seolah sedang menginspeksi.
Glek. “Seperti biasa saja,” jawab Var. belum punya niat membongkar kehidupan bobroknya di sekolah yang ia pilih sendiri. Mau taruh di mana coba wajahnya? Harga dirinya? Jika sampai pria Bernama Val di hadapannya tau. Semua bisa kacau balau. Boro-boro mendapat penghargaan seperti yang di awal ia rencanakan. Yang ada malah akan diganyang habis-habisan.
“Kata teman Ayah SMA Swasta Spebius baru saja mengadakan ujian tenga semester. Mana hasilnya? Tumben tidak ditunjukkan ke Ayah,” pinta pria itu sambil menengadahkan tangan seperti beri tuntutan.
“Saat ini aku sudah duduk di bangku sekolah menengah atas, Ayah. Tidak jaman lagi lah kalau harus selalu menunjukkan hasil ulangan pada orang tua. Sudah seperti anak kemarin sore saja,” jawab Var.
“Oh, mulai membangkang ya kamu. Apa sih yang diajarkan di sana?” tanya pria itu.
“Tidak ada apa-apa, Ayah. Semua sangat normal. Sekolahnya bagus. Gurunya baik. Semua temannya juga sangat baik. Pelajarannya pun sangat sesuai dengan yang selama ini selalu aku harap. Semua sangat, sangat, sangat sempurna,” jawab Var.
Pria itu mengeluarkan gawai dari laci bagian atas meja kerja. Siap menghubungi seseorang.
“Apa yang mau Ayah lakukan?” tanya Var gelagapan. Khawatir ayahnya yang cukup eksentrik ini akan melakukan hal tidak terduga. Sungguh bahaya!
“Akan Ayah kirim orang untuk menyelidiki sekolah itu,” jawab Val tegas.
“Ayah, dengarkan aku dulu! Aku punya permintaan,” ucap Var tiba-tiba sambil berusaha merebut gawai ayahnya.
“Apa?” tanya pria itu datar.
“Aku boleh mengecat rambut tidak?” tanya Var. Berusaha mengalihkan fokusnya.
“Tidak,” jawab pria itu.
“Tapi, semua anak yang bersekolah di SMA Swasta Spebius itu rambutnya diwarnai, Yah. Aku bisa dirundung kalau tidak mewarnai rambut,” ucap Var coba memberi alasan.
“Sekolah macam apa itu? Sekolah tidak benar. Akan Ayah hubungi Nadiem Makarim. Bapaknya itu teman saya,” ucap pria itu lagi. Belum menyerah.
“Bukannya gitu juga, Yah. SMA Swasta Spebius adalah sekolah yang sudah aku dambakan sejak dulu. Peraturannya memang berbeda. Visi misi sekolah itu sendiri adalah menyelaraskan kepintaran akademis dan kemampuan mix and match fashion. Kecerdasan harus selaras dengan penampilan. Study tour kami saja ke Milan Fashion Week,” jelas Var berusaha menghentikan niatan sang ayah. Jangan bercanda! Ia tidak mau dapat masalah yang jauh lebih rumit lagi dari ini.
“Semester depan sepertinya akan Ayah pindahkan saja kamu untuk menjalani pendidikan di Gakushuin. Agar sekalian sealmamater dengan Pangeran Hisahito si calon putra mahkota Jepang itu,” putus Val seenak jidatnya.
“Tolong beri aku kepercayaan paling tidak sampai setengah tahun ke depan, Ayah! Kalau aku gagal, aku berjanji, terserah Ayah sudah mau pindahkan aku ke Gakushuin agar satu almamater dengan Pangeran Hisahito. Atau ke Eton agar satu almamater sama Pangeran George. Semua terserah Ayah! Aku serahkan pada Ayah! Yang jelas satu saja… Tolong beri aku waktu selama satu semester lagi,” pinta Var berkeras dengan segenap jiwa raga. Agar bisa melunakkan perasaan pria di hadapan sekalian.
Sayangnya Val hanya diam saja sambil memandang rendah wajah sang putra. “…”
“Dan yang terakhir, tolong jangan hubungi Nadiem Makarim apalagi Jokowi!” pinta anak remaja itu lagi dengan raut wajah penuh pengharapan.
“Baiklah. Kalau begitu tolong kosongkan jadwal kamu malam Minggu ini. Ayah ingin ajak kamu sama Bunda makan malam sama keluarga Pak Aron,” beritahu Ayah. Tiba-tiba merubah fokus pembicaraan mereka.
Hah? What? Malam Minggu kan aku ada jadwal kelas tambahan. Tapi, di saat sama tidak mungkin juga aku mengatakannya pada pria tidak terduga ini, batin Var galau to the bone. “Anaknya Pak Aron yang seumuran denganku itu akhirnya masuk mana, Yah?” tanya Var berusaha mengalihkan kecemasan dari wajahnya.
“Kamu itu sedang disuruh apa bukannya menjawab malah mengatakan hal lain lagi. Kamu bisa dengar atau tidak orang tua kamu habis ngomong apa?” tanya pria itu balik. Tampak sedikit kesal.
Haahh. “Aku mendengar apa yang Ayah ucapkan dengan baik, kok. Tapi, malam Minggu aku ada acara dengan teman-temanku,” respon Var pada akhirnya. Berusaha beli alasan atas ketidaturutsertaan.
“Ya batalkan, lah!” balik respon sang ayah tak ada beri toleransi.
Sungguh Ayah yang tidak mengenal toleransi, batin Var sedih. “Kami mau belajar bersama guru, Yah,” ucapnya lagi. Belum menyerah. Jauh dari kata menyerah.
“Siapa gurunya?” tanya Val.
“Ayah, tolong jangan campuri kehidupanku lagi1 Aku lelah jadi munafik hanya demi menyenangkan Ayah dan Bunda. Aku itu selalu ingin lho punya hidupku sendiri yang mandiri dan apa apa bisa sendiri,” balas Var sok mengoarkan idealismenya. Padahal kenyataannya mah ya tidak juga. Ia hanya tidak ingin pria itu tau kemerosotannya dalam pilihannya sendiri. Itu saja.
“Ap aitu berarti kamu sudah tidak butuh Ayah dan Bunda lagi, Variya Alkander?” tanya pria itu dengan sorot mata tajam.
Alamaaak. “Bukannya seperti itu juga dong, Yah. Pokoknya aku tidak bisa ikut. Tolong pahami dan jangan caritahu kenapa. Selamat malam,” balas Var dengan cepat. Secepat mungkin meninggalkan sang ayah bersama perdebatan yang tampaknya tak akan pernah selesai walau sampai matahari besok terbit juga.
Aku tinggalkan Ayah bersama malam yang semakin gelap. Keputusanku sudah bulat. Tidak pernah terbayang aku sampai bicara seperti itu padanya. Tapi, inilah kehidupan. Aku harus bermanuver untuk terus hidup.
Seperginya sang putra dari ruangannya. Val mengeluarkan satu gawai yang lain.
“Ini Val, Pak. Apa di sekolah Bapak apa ada kegiatan bersama murid yang dilaksanakan malam Minggu?” tanya pria itu tenang.
“Mungkin kegiatan kelas tambahan,” jawab salah satu guru di SMA Swasta Spebius itu.
“Kelas tambahan? Var ikut kelas tambahan? Var-ku?” tanya Val tak nyaris tidak percaya. Tepatnya… sangat tidak percaya. Seperti gennya yang super jenius sudah tercemar dan tak murni lagi.
“Oh iya, anakmu kan sekolah di sini, ya. Namanya siapa?” tanya guru itu balik tanya.
“Tolong batalkan kelas tambahan itu!” pinta Val.
“Wah, maaf ya Pak Val, tapi saya tidak bisa seenaknya melakukan hal tersebut. Bukan kewenangan saya juga,” jawab guru tersebut.
Hmm. Val menghela nafas tanpa suara. Ia berkata lagi, “Kalau begitu murid dengan nama Variya A. B. G. B. C minta tolong agar diizinkan tidak datang,” pintanya. Kalau boleh jujur ia sendiri malas sekali menyebut nama lengkap sang anak. Rasanya inisial saja sudah lebih dari cukup.
“Si, Siapa Anda bilang?” tanya guru tersebut
“Sudahlah. Biar saya urus sendiri. Selamat malam, Pak,” tutup Val karena merasa tak ada arti ia lanjutkan percakapan ini.
“Baiklah kalau begitu,” balas guru tersebut.
Val pun mengakhiri hubungan. Memikirkan cara lain untuk bermanuver dalam menjalani hidup.