Yes, Sir

1638 Kata
Ayahku adalah seorang rektor universitas negeri ternama di Indonesia. Masih cukup muda. Memiliki karir yang cemerlang. Memiliki istri yang cantik pula. Sekilas Ayah memang terlihat tanpa cacat. Bukan hanya rektor. Ayah juga memiliki beberapa perusahaan yang bergerak di berbagai bidang berbeda. Ada peralatan medis, onderdil kendaraan bermotor, sampai penerbitan buku. Ya, ayahku adalah seorang jenius yang tak berasal dari keluarga terpandang. Tapi, bisa membuat keluarganya sendiri berpendar. Kadang hal itu buat aku jadi bertanya-tanya: apa gerangan yang kiranya bisa aku lakukan untuk sebuah peningkatan jika sejak awal sudah berada di atas? Atau bahkan... puncak? Yang tertinggi? Huuufft, andai saja aku lahir ke atas dunia nista ini jadi orang susah, ya. Jalan yang harus aku tempuh untuk menjadi orang hebat tentu lebih mudah. Lebih besar. Eh, ya nggak juga, sih. SMA Swasta Spebius. Sekolah yang sangat luar biasa dan hanya dipenuhi oleh para anak cemerlang. Untuk suatu alasan yang tidak aku ketahui apa itu. Hanya mereka keturunan Indonesia, Jerman, dan Perancis darah murni yang akan diterima bersekolah di sini. Mungkin orang berpikir SMA Swasta Spebius cuma diisi oleh anak-anak pintar dari keluarga kaya raya sejahtera serta terpandang. Yang bisanya hanya menengadahkan tangan pada orang tua. Anak-anak yang disebut Fallobst Paradies. Yang lahir dengan seribu satu keberuntungan, kekayaan, kerupawanan, kecerdasan, dan semua yang dijatuhkan surga pada dunia. Namun, kenyataan tak akan pernahh sebegitu indahnya, Ferguso. Aku sendiri baru mengetahui fakta ini beberapa waktu belakangan karena tidak begitu dekat dengan para siswa lain. Tujuh puluh tujuh siswa SMA Swasta Spebius yang sehari-hari terlihat bak selebritis Hollywood itu sudah bekerja. Dari sana lah mereka memiliki uang untuk memenuhi tuntutan motto sekolah yang menurutku tak masuk akal. Dan juga ada peraturan tak tertulis di SMA Swasta Spebius yang mengatakan untuk sebisa mungkin tidak menggunakan uang orang tua demi kebutuhan apa pun juga. Harus super independen. Super mandiri. Super tidak bergantung pada orang dewasa. Mentalitas seperti itu yang tampaknya hendak ditanamkan dalam kepala kami semua para pelajar yang sudah susah payah bergabung dengan komunitas elit SMA Spebius. Fallobst Paradies sangat mengagumkan. Aku merasa rendah sekali jika dihadapkan pada mereka. Walau sama-sama siswa SMA Swasta Spebius. Aku tak pantas menyebut diri Fallobst Paradies. Suara hati berteriak, ngaca lu! Punya kerjaan kagak, keren kagak, pinter juga kagak, mimpi lu pengen jadi kayak mereka! Suara hatiku sungguh kejam sekali. Tapi, bagaimana pun juga sayangnya itu benar. * “Lu kerja?” tanya Var pada Sien suatu waktu. “Setelah lewat masa percobaan (masuk dari jam enam tiga puluh sampai pukul delapan malam itu hanya pada masa percobaan. Penyesuaian transisi dari kehidupan SMP ke kehidupan SMA Swasta Spebius) gue bakal jadi asisten manajer plasma," jawab Sien. "Jadi manajer plasma, ya," komentar Var lirih dengan tatapan kosong. "Mending lu buruan cari kerja, anjir. Anak yang nggak punya kerjaan, rambut nggak diwarnain, dan langganan kelas tambahan pula itu paling sering jadi sasaran perundungan lho di sekolah ini,” nasihat teman dekatnya satu itu. “A, A, Akan gue usahakan,” jawab Var, sedikit gugup, berusaha agar tak terlihat sangat menyedihkan di hadapan temannya yang tampak seperti salah satu Falobt Paradies ideal itu. Status murid SMA Swasta Spebius kira-kira setara dengan lulusan D3 sampai S1. Tergantung dengan nilai yang ia berhasil dapat. Sien bagus di biologi dan penjuruannya pertanian (walau sekelas, siswa SMA Swasta Spebius bisa saja beda penjuruan. Penjuruan adalah proses bimbingan awal peminatan untuk melanjutkan ke S1 resmi. Masih bisa diganti saat naik ke kelas sebelas). Tak heran dia bisa dapat pekerjaan seperti itu. Sementara aku… penjuruan belum jelas. Pekerjaan tidak punya juga. Memang… tak peduli bagaimana bintang bercahaya di langit. Jika sudah jatuh ke muka bumi ia hanya akan jadi batu biasa yang tak lagi bercahaya. “Sebenernya gue nggak tau harus cari kerja ke mana. Atau bagaimana cara melakukan hal semacam itu. Gue belum pernah mikirin itu semua sama sekali,” curhat Var berusaha jujur bukan hanya pada Sien, tapi pada dirinya sendiri juga. Bagaimanapun ia tak ingin semua hal terasa makin menyiksa. “Mm, biar gue kasih sedikit saran. Coba lu lihat ke arah sana!” tunjuk Sien ke kejauhan. Seperti menunjuk ke sebuah ruangan di lantai 5 salah satu gedung di sekolah mereka. “Apa sih yang lu tunjuk?” tanya Var dengan pandangan mencari-cari berusaha mendeteksi fokus yang ingin Sien beritahu. “Itu ruangan para SUP. Cuma dua anak angkatan kita jadi SUP. Mereka adalah siswa terbaik yang punya pekerjaan dan tentunya super fashionable. Mereka adalah orang-orang pilihan yang bisa menyelaraskan antara kerja, belajar, dan gaya,” jawab Sien dengan wajah seolah berkata, asoy. Karena terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru SMA Swasta Spebius yang super aneh... maksudku unik ini. Aku sama sekali tak menyadari keberadaan mereka. Termasuk bagaimana mereka dipilih, batin Var berusaha mengingat-ingat. “Lu bisa deketin mereka buat cari ilmu. Banyak anak yang minta bantuan dan saran nasihat dari mereka,” beritahu Sien, “Mereka tuh kayak one man show yang selalu bisa dijadikan tempat bersandar oleh seluruh siswa sekolah. Seperti sebuah pohon di mana ada banyak makhluk hidup bisa melanjutkan nafas mereka darinya. Asoy.” “Lu juga melakukan itu, kah?” tanya Var. “Hmm, kagak, sih. Jujur aja gue cukup punya gengsi kalau harus berhadapan sama dua anak kelas sepuluh yang dipilih masuk SUP,” jawab Sien. “SUP itu sebenarnya apa?” tanya Var ingin menyamakan persepsi. Habis sebenarnya ia sendiri tidak begitu mengerti pada arti SUP yang sejak tadi Sien koar-koarkan. SUP makanan? SUP singkatan? SUP apa? Sien yang mafhum pun menjawab, “Jadi…” SMA Swasta Spebius memiliki empat gedung pembelajaran utama. Nama dari beberapa gedung itu adalah: gedung Wirasana Digdaya, gedung Archibald Theodore, gedung Musidora Durand, dan gedung Valentina Pierrepont. Setiap gedung diperuntukan untuk jurusan yang berbeda: ilmu pengetahuan alam, bahasa, ilmu pengetahuan sosial juga internasional. Setiap gedung memiliki penanggung jawab atau pengawas yang berasal dari kalangan murid. Semacam OSIS jika di sekolah biasa. Atau prefek jika di sekolah asrama. Merekalah yang memiliki tanggung jawab penuh atas semua yang terjadi di gedung masing-masing. Entah kondisi gedung, keadaan para murid, bahkan keluhan juga request pengajar mulai dari guru sampai ahli di bidangnya masing-masing seperti pengurus labolatorium sains. Dan para siswa yang dimaksud itu akan tergabung dalam sebuh organisasi inti sekolah bernama SUP. Berisi anak kelas sebelas dan dua belas. Serta anak kelas sepuluh yang diundang. Karena dibebani tanggung jawab sangat besar. Konon kekuasaan SUP lebih tinggi ketimbang dewan guru. SUP adalah organisasi sekolah paling misterius dan rahasia di dunia. Anggota SUP menggunakan desain seragam yang berbeda dengan siswa lain. Mereka semua masuk lewat jalur beasiswa tanpa tes. “Seperti itulah 'singkatnya',” ucap Sien menutup penjelasan yang ia tuturkan. Aku tak mampu berkata-kata mendengar penjelasan Sien. Dua anak itu siapa, sih. Rasanya aku harus sungkem di kaki mereka karena keangkuhanku selama ini, batin Var nestapa. Sangat sedih jika mengingat bagaimana ia pernah merasa cukup pintar hingga tak perlu melanjutkan ke jenjang pendidikan SMA. Padahal jika dibandingkan dengan para anggota SUP ia jadi terasa hanya seperti lumut atau ganggang saja. Tak ada artinya dan tak selevel sama sekali. “Kalau nggak salah lo itu anak SMP Negeri A1 Jakarta, ‘kan? Gue denger ada alumnus sekolah itu yang dapet undangan masuk SUP, lho. Lo datengin aja dia. Berusaha bermanis-manis muka membawa embel-embel teman satu angkatan,” beritahu Sien, "Harusnya bisa lebih gampang luluh, sih." Bukannya merasa dapat pencerahan. Mendengar fakta itu yang ada Var malah blingsatan. HAH??!!! Aku sama sekali tidak tahu. Kan teman SMP yang aku kenal hanya Baek dan Akio. Dan lagi… aku kan anak paling pintar yang mendapat nilai paling baik selama SMP. Siapa sih orangnya??? UUUUKKKHH!!! Kucluk kucluk kucluk. Aku langsung ke toilet untuk menghubungi Baek. “Wahai temanku, apakah kamu tahu siapa lagi anak seangkatan kita yang masuk SMA Swasta Spebius?” tanya Var super kalut. “Ada banyak anjir. Ada enam kalau nggak salah. Dari kelas kita aja ada dua,” jawab Baek super santai di seberang sambungan. “Berkenankah engkau beri tahu temanmu yang nestapa ini siapa saja mereka?” tanya Var. “Dikin, Didin, Syamsul, Rika. Itu aja yang gue inget,” jawab Baek. “Terima kasih banyak, wahai Baek Nam Dong,” ucap Var. Kalau begini aku harus caritahu sendiri. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Rela tidak rela, tekad Var sepenuh hati. Saat kembali ke kantin aku lihat Sien tengah berbincang dengan seorang siswa, batin Var. “Eh, lo baru dateng. Baru aja tadi gue disapa sama satu orang anggota SUP,” beritahu Sien dengan wajah cerah ceria. Hmm, dalam bayanganku sendiri aku kira SUP itu anggotanya super elit seperti BBF atau kelompok elit sekolah lain yang biasa ada dalam drama-drama atau anime. Tidak bicara dengan rakyat jelata. Tak berteman dengan mereka. Seperti itulah bayanganku soal mereka. “Umumnya emang gitu, tapi kalau dia enggak. Gue denger dia emang sering ditegur SUPer’s senior karena nyapa rakyat jelata kayak kita,” beritahu Sien. “Segitunya,” respon Var datar. ……. Di ruang para SUP. “Barusan lu nyapa anak biasa ya di kantin?” tanya Tonio, SUP yang berasal dari kelas sebelas. “Emang keliatan ya dari sini?” jawab Ariy sedikit melongok ke luar jendela dengan pemandangan menuju kantin. Cengengesan. “Ada keperluan apa?” tanya Tonio tajam. “Sebenernya saya nyari temennya, Kak. Temennya itu temen sekolah saya saat masih SMP,” jawab Ariy dengan senyum rendah hati. “Enam orang anak SMP Negeri A1 daftar ke SMA Swasta Spebius. Yang diterima cuma dua. Mau apa ketemu dia?” tanya Tonio. “Tegur sapa aja. Menyambung silaturahmi. Namanya juga teman alumni,” jawab Ariy santai seperti di pantai. Tonio memegang kedua pundak Ariy. Greph. “Inget peraturan ini, Ariyant! SUP adalah organisasi elit SMA Swasta Spebius yang harus membatasi interaksi dengan murid biasa. Kamu nggak boleh terlalu membaur atau berteman sama SIAPA PUN!” peringatnya keras. Ariy menaruh tangan kanan di bagian atas d**a. “Speerspitze.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN