[Satu tahun yang lalu]
.......
Kelulusan SMP adalah waktu paling berat untuk aku pribadi. Bisa jadi aku akan berpisah dari dua sahabat terbaik yang pernah aku miliki dalam hidup. Dan pasti susah untuk menemukan lagi yang seperti mereka di kemudian hari.
Mereka berdua sendiri sudah sepakat untuk memasukkan SMA Negeri A1 sebagai pilihan pertama. Aku sendiri masih bingung akan melanjutkan Pendidikan ke sekolah mana. Di satu sisi hati… aku ingin masuk SMA Negeri A1 seperti Baek dan Akio. Di sisi lain… ada suara berteriak, jangan! Aku tidak tau kenapa. Aku belum mengetahui apa yang jadi jawabannya. Mengapa aku tak memiliki keteguhan hati seperti mereka? Kenapa begitu banyak pertimbangan? Kenapa terkadang pengecut?
Lalu, suatu hari aku memutuskan. Atas banyak pertimbangan dengan mendengar suara hati yang tak pernah kupedulikan. Aku pun memutuskan.
Jang jang jang!
…….
“Iya, Pak Aron. Terima kasih ya untuk bantuannya selama ini. Kapan-kapan main lah ke rumah saya bawa keluarga,” kata ayahnya di telpon. Padahal ia masih ada di meja makan Bersama anak dan istri, lho. Sangat tidak biasa beliau bersikap seperti itu.
“Pak Rektor ini bisa saja. Justru saya yang harus banyak berterima kasih. Mengenai undangannya… akan segera saya penuhi. Sepertinya kita punya anak yang seumuran, Pak,” balas lawan bicara ayah Pare.
“Usaia bapaknya masih begitu muda. Tapi, anaknya sudah seusia anak saya. Sungguh luar biasa. Semoga nanti mereka bisa jadi penerus kita, ya,” ucap ayah Pare.
“Tentu saja, Pak Rektor. Saya sangat berterima kasih atas doa serta ridha Anda,” balas lawan bicara pria itu sopan.
“Sudah dulu kalau begitu, ya. Assalammu’alaikum.”
“Wa’alaikumusalam.”
“Wa’alaikumussalaam, Pak.”
“Itu siapa, ‘Yah?” tanya Pare penasaran. Kalau boleh jujur ia sangat tertarik pada pria muda yang bisa memiliki anak yang membuat ayahnya merasa kagum. Sampai disejajarkan dengan anaknya yang super membanggakan segala.
Menarik, bukan?
“Dekan di fakultas kedokteran universitas Ayah. Orangnya sangat hebat, nak. Padahal dia anak orang kaya. Tapi, semangatnya untuk pendidikan dan kemanusiaan sungguh luar biasa,” jawab ayahnya.
Kalau begitu saja mah apanya yang luar biasa, dah. Anak orang kaya jadi orang hebat itu kan sangat biasa. “Anaknya yang seumuran denganku itu akan melanjutkan ke SMA mana?” tanya Pare lagi.
“Kamu tertarik buat satu sekolah sama dia?” tanya Ayah.
“Dia sepintar apa?” tanya Pare balik, “Jika memang sepintar itu. Apa dia bersekolah di A1 juga?”
“Sayangnya dia menempuh Pendidikan di sekolah yang memiliki peringkat rendah. Ayah juga tidak tau kenapa,” jawab pria itu terasa kurang memuaskan.
“Namanya siapa?” tanya Pare.
“Ha ha ha. Namanya itu sangat aneh. Ayah tidak begitu ingat, nak,” jawab pria itu memasukkan potongan wortel terakhir ke dalam mulut.
“Ayah, sebenarnya aku sudah jenuh berada di lingkungan tempat aku berada sekarang. Kenapa tak pernah ada tantangan? Semua terasa berlalu dengan terlalu mudah. Aku sampai diledeki oleh sahabatku. Untuk apa masih sekolah? Aku menginginkan tantangan yang jauh lebih menarik, Yah,” ucap Pare jujur. Mengeluarkan unek-unek jiwa yang cukup lama tertahans
“Bagaimana kalau kamu masuk ke sekolah almamater Ayah saja?” tanya pria itu.
“Hah? Seumur-umur jadi anak Ayah aku baru dengar soal sekolah tempat Ayah pernah menuntut ilmu. Ada di mana itu?” tanya Pare.
“Gakushuin (sekolah untuk para anak bangsawan serta orang penting yang ada di Jepang),” jawab pria itu.
Wah, aku baru tau Ayah lulusan sekolah di luar negeri. “Maaf, Yah. Aku sangat menghargai penawaran dirimu. Namun, aku tidak ingin berada terlalu jauh dari sahabat-sahabatku.”
“Memang kalau Baek sama Akio mau masuk mana?” tanya Bunda.
“SMA Negeri A1,” jawab Pare.
“Kenapa tidak masuk sana saja? Jangan terlalu negative thinking hanya karena kelasnya sama. Antara SMP dan SMA tentu terdapat banyak perubahan yang tidak kamu ketahui, nak,” nasihat Bunda.
“Aku tidak tertarik, Ayah, Bunda. Lebih baik aku langsung masuk universitas saja kalau harus menempuh pendidikan di tempat yang membosankan seperti itu lagi. Aku ini rasanya sangat bosan sampai terasa mau mati terus saja membuang waktu yang berharga di bangku pendidikan dua belas tahun wajib belajar,” respon Pare sedikit meninggikan oktaf suara. Hal yang urung pernah ia lakukan sebelumnya.
“Sekolah bukan hanya masalah belajar, nak. Tapi, juga pendidikan mental. Ayah merasa yang lebih perlu dididik itu mentalmu. Ayah nggak mau sampai kamu berpikiran sok western. Tetap junjung adat ketimuran,” nasihat sang ayah.
Pare langsung mendirikan tubuh dengan raut sedikit menantang. “Apa orang timur harus membuang waktu untuk sekolah yang tidak mereka perlukan?! Aku bosan, Yah, sangat bosan,” tegas anak remaja itu.
Braak. Satu-satunya pria dewasa di sana berakhir menggebrak meja melihat betapa menyebalkan sikap putra tunggalnya. Anak itu memutuskan untuk kembali duduk. Takut. Sudah lama sang ayah tidak marah.
“Baru juga berhasil lulus sekolah menengah pertama dengan predikat terbaik saja sudah tidak punya sopan santun sama orang tua. Kamu mau menginjak kepala Ayah kalau sudah masuk universitas, HAH?!” tanya sang ayah berteriak.
Hal itu memang berhasil membuat mental Pare jadi semakin ciut. Namun, naluri pembangkang anak itu masih belum padam. Maafkan dia ya, Ayah. “Ayah sendiri sudah menempuh pendidikan kuliah saat masih berumur sepuluh tahun. Usia lima belas sudah jadi profesor dan doctor of philosophy. Kenapa Ayah tidak memberikan kesempatan yang sama padaku? Mbah Kung (sebutan kakek dalam bahasa Jawa) saja bisa beri Ayah kepercayaan. Kenapa Ayah nggak bisa beri hal yang sama pada aku?” tanya anak remaja itu.
“Karena Ayah bisa dipercaya dan memenuhi semua ekspektasi Mbah Kung,” jawab ayahnya mencoba bersikap jauh tenang. Ini merupakan pertama kali mereka sampai bersitegang. Rasanya aneh sekali melihat anak yang biasa penurut serta patuh jadi susah untuk diatur.
“Ekspektasi apa yang Ayah harapkan dariku demi kepercayaan itu?” tanya Pare.
“Kamu tidak akan pernah memenuhi ekspektasi Ayah jika masih bertanya, nak. Kamu itu belum bisa menyadari kewajibanmu sendiri sebagai manusia, Variya,” jawab sang ayah.
Pare, maksudnya Variya bertanya dalam hati karena tak ingin semakin memperpanas suasana, mengapa sang ayah harus membuat kompetensi hidup anak itu yang harusnya mudah jadi begitu rumit? Ia adalah seorang anak yang pintar serta mampu dari segi mana pun juga. Nyaris sempurna. Tak ada yang kurang. Namun, sang ayah malah jadi berakhir memperumit segalanya dengan berbagai kualifikasi tak masuk akal.
…….
Beberapa jam setelah itu di dalam kamar tidur Variya.
Tring!
Profesor Handsome
Assalammu’alaikum, wahai kawanku.
Honda Sei Chuu
Nggak usah pake trivia anjir, geli gue denger beragam kata pembuka lo.
Profesor Handsome
Aku ingin menanyakan sesuatu perihal SMA Swasta Spebius, wahai Akio. Menurut dirimu itu sekolah yang bagaimana?
Honda Sei Chuu
Sekolahnya holang-holang yang kayak diturunin dari surga. Super duper elit. Bukannya katanya lo nggak mau masuk situ? Terlalu… apalah.
Profesor Handsome
Aku hanya penasaran. Seragam sekolahnya bagaimana? Aku ingin mengamati perilaku pelajarnya dulu.
Honda Sei Chuu
Menurut rumor yang gue denger sih blazer merah marun terus bawahannya abu-abu gelap. Gue juga belum pernah liat, kok.
Profesor Handsome
Aku belum pernah lihat ada anak sepantaran kita yang mengenakan seragam seperti itu, bro.
Honda Sei Chuu
Itu mah teka-teki SMA Swasta Spebius yang hanya bisa dipecahkan oleh mereka sendiri. Nggak jadi masuk SMA Negeri A1, nih?
Profesor Handsome
Aku belum memutuskan.
Honda Sei Chuu
Gue sama Baek udah fix. Bye bye ya kalau gitu.
…….
“Bunda, aku sudah memutuskan akan melanjutkan ke mana,” kata Pare pada sang bunda yang sedang memasak di dapur kotor.
“Kirim brosur sekolahnya ke email Bunda!” pinta wanita itu.
“Dengarkan aku dulu, Bunda! Aku ingin melanjutkan Pendidikan ke… SMA Swasta Spebius,” beritahu Pare, maksudnya Variya.
“Katanya mau masuk SMA Negeri A1 bareng Baek dan Akio,” tanya sang bunda.
“Aku tidak akan berkembang kalau bersama mereka terus. Kelas A1 adalah wadah emas untuk anak-anak yang cerdas. Tapi, aku rasa itu juga masih belum cukup untukku,” respon Variya.
“Terus kamu apa? Berlian? Intan? Bunda nggak mau mengulangi nasihat Ayah, ya,” balas sang bunda berusaha menahan emosi.
“Kenapa Bunda bicara seperti itu?” tanyaku resah.
“Jangan kamu lihat SMA Swasta Spebius hanya dari luarnya saja, nak. Yang bisa masuk dan keluar dari sana hidup-hidup itu hanya segelintir,” beritahu sang bunda.
Horor sekali. “Lalu, Bunda tidak percaya padaku? Aku akan jadi bagian dari segelintir orang itu,” yakin Variya.
“Siswa Spebius tak sebanyak sekolah lain. Tapi, luas sekolahnya setara gabungan lima puluh sekolah biasa. Itu karena siswa di sana benar-benar disiapkan mengisi tempat teratas rantai makanan dunia. Bunda takut kamu masuk sana tidak bertahan lama,” ucap wanita itu lagi. Masih mempertanyakan keteguhan niat putra tunggalnya.
“Apa Bunda mau aku selamanya direndahkan Ayah? Aku ingin memenuhi ekspektasinya dan sekolah biasa… SMA Negeri A1 sekalipun… tak akan bisa mendidik aku untuk itu. Kurasa itulah yang Ayah maksud dengan pendidikan mental,” kekeuh Variya yakin,
…….
Singkat cerita Bunda mengizinkan Variya masuk ke SMA Swasta Spebius. Saat pendaftaran ia bertemu dengan bermacam anak dengan kilau di tubuh (serta otak mereka) dari seluruh Indonesia yang ingin mengadu nasib di ujian masuk. Tak peduli sebagus apa nilai kelulusannya. Tetap harus ikut ujian masuk. Menarik sekali.
“Waktunya satu jam. Kerjakan soal sebanyak yang kalian bisa. Berikan jawaban terbaik. Ujian dimulai!”
Soal macam apa ini. Pertama kali seorang Variya merinding disko kala melihat soal ujian. Seribu soal Geografi, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi, bahasa Indonesa dan bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Astronomi dalam satu jam. Kita lihat siapa yang akan menang.
Aku, soal, atau waktu…