SPEBIUS

1790 Kata
[Satu tahun kemudian] ....... Di masa ini seluruh sekolah negeri di Indonesia, tidak terkecuali, telah diatur dalam sistem Round of Circle. Sistem Round of Circle atau RC System mengatur sekolah-sekolah milik pemerintah dalam sistem ranking. Sekolah dengan nomor tunggal. Semakin kecil semakin baik. Semakin besar angkanya apalagi sampai dapat aksen (lihat arti sekolah beraksen di chapter “Perjuanganku”). Semakin menunjukkan kualitas sekolah. Tentu semakin tinggi tingkat sekolahnya. Semakin sulit kualifikasi dan kurikulumnya pun berbeda. Ini adalah suatu masa di mana pendidikan adalah segala-galanya. Ada satu sekolah. Bukan resmi milik pemerintah. Namun, standar yang digunakan jauh melebihi sekolah bertaraf A1 di provinsi mana pun juga. Sekolah yang hanya boleh dan bisa diisi oleh para manusia pemilik otak-otak serta jiwa pilihan Tuhan. Sekolah yang Round of Circle 10 (lihat arti Round of Circle 10 di chapter Perjuanganku) saja belum tentu mampu lulus ujian masuknya. Sekolah yang bukan hanya bagus, tapi sangat bagus dan jadi yang paling baik. Sekolah itu memiliki nama yang keagungannya telah menyebar ke sepenjuru dunia, SMA Swasta Spebius. ……. Di halte yang berjarak dua blok dari gedung SMA Swasta Spebius. Dua orang remaja yang mengenakan seragam SMA Negeri A1 baru saja turun dari angkutan bus umum. Kedua anak itu memutuskan untuk sejenak duduk di halte sebelum melanjutkan perjalanan mereka. SMA Swasta Spebius pun masih terlalu mewah untuk Round of Circle 10 seperti keduanya. Dua anak remaja laki-laki itu masih menyiapkan hati. Konon penampakan SMA Swasta Spebius mampu membuat siswa sekolah mana pun merasa hidupnya tak memiliki makna. “Udah siap belum lu bro?” tanya Baek pada anak remaja lelaki di sisinya. Akio bangkit dari posisi duduk. Ia telah menyiapkan hati, mental, serta pikiran untuk menghadapi semua pesona SMA Swasta Spebius. ……. Sampailah mereka di komplek SMA Swasta Spebius. Setiap pengunjung harus melapor dan mendapatkan izin dari front office. Di sanalah untuk pertama kalinya mereka melihat siswa-siswi SMA Swasta Spebius dalam balutan seragam resmi. Berkilau. Cemerlang. Gedung sekolah pun seolah memiliki serbut berlian hingga jadi ikut berpendaran. Baek membatin, gue harus kuat. Gue nggak boleh kalah sama pesona ini. Sekolah gue juga bagus. Semantara Akio membatin, buat apa sebenarnya gue ini masih bertahan hidup? Gue adalah manusia paling hina dina serta tidak berguna di bawah seluruh kolong langit. Ngeliat siswa SMA Swasta Spebius… gue jadi ngerasa begitu rendah lagi kotor. Gue nggak pantas menginjakkan kaki di tempat ini. Hiks hiks hiks… Plaak. Baek langsung menampar kencang bagian belakang tubuh sobat karibnya itu sembari berteriak, “AKIO MORITA BLA BLA BLA!” “Astaghfirullah, gue hampir terjebak halusinasi SMA Swasta Spebius yang telah melegenda. Ada di mana anak itu?” tanya Akio melongok ke segala bagian sekolah. Baek melongok ke layar peta-graph (peta digital berbentuk seperti karton tembus pandang kosong yang jika dinyalakan akan menampilkan gambar yang sudah diekstrak ke dalamnya) yang diberikan penjaga sekolah. Segera ia ketik nama sahabatnya. Klik kli klik. Hmm, kalau tidak salah sahabatnya bernama Pare Udin. Not found. “Kok nggak ada, bro?” tanya Baek bingung. “Iyalah nggak ada! b**o lu! Itu kan bukan nama aslinya. Udah setengah tahun sejak kita lulus SMP dan kita nggak pernah ketemu sama sekali. Ini adalah waktu untuk menyambung silaturahmi. Jangan sia-siakan!” koar Akio sambil sok mengangkat satu kepalan tangan ke udara. “Terus nama aslinya siapa, g****k?!” tanya Baek ngegas. Merasa telinganya tidak ada kepentingan untuk mendengar apa pun yang baru saja Akio utarakan. Sungguh tidak berguna punya teman satu ini juga. “Mari kita rundingkan di gazebo yang tampak nyaman itu,” ajak Akio sambil menunjuk ke suatu titik. ……. Di gazebo (yang tampak nyaman itu). “Gue sempet ngira anak SMA Swasta Spebius itu culun dan pada tampang profesor gitu, lho. Ternyata… apa ini?” tanya Akio seraya mengamati siswa-siswi SMA Swasta Spebius yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sejauh ini memang ada peraturan tak tertulis yang melarang seluruh siswa SMA Swasta Spebius untuk berkeliaran di luar lingkungan area sekolah dengan seragam. Semua itu tentu bertujuan untuk menghindari kecemburuan sosial yang telah mandarah daging di masyarakat. Tak ada satu orang pun pernah melihat siswa SMA Swasta Spebius dengan seragam di luar sana. “Cepet lu kasih tau Pare kalau kita berdua udah ada di sini!” pinta Baek sambil tiduran di gazebo yang luasnya dua kali gazebo SMA Negeri A1. Setengah jam kemudian, Deinw, maksudnya Pare Udin mengirim pesan jika ia sudah dekat. Pare sudah bisa menebak jika kedua sobatnya itu pasti sedang rebahan santai di sebuah gazebo. “Baek, bangun!” desak Akio tak percaya dengan yang dilihatnya sambil menepuk-nepuk bagian tubuh sang sobat. Baek bangun dan sama-sama menyaksikan siswa SMA Swasta Spebius yang baru datang. Rambutnya berwarna biru langit. Matanya berwarna hijau menyala. Kemeja seragamnya dikeluarkan. Bahkan ia menggunakan tindik di hidung dan telinga yang disambung seutas rantai. “Lama nungguin gue? Muka lo pada kusut banget,” tanya seorang siswa SMA Swasta Spebius itu. “Lo… siapa?” tanya Baek hati-hati. Tampilan terakhir Pare yang ia ingat adalah remaja cupu berambut hitam yang rada kamseupay alias kampungan sekali udik bin payah. Tapi, sekarang… kalau benar siswa ini Pare. Habis gabung di boyband mana dia? “Waktu SMP nggak ada yang pernah manggil nama asli gue, sih. Jadi pada lupa kan lo pada,” katanya sambil beranjak duduk di antara Baek dan Akio. “Penampilan lo kenapa jadi kayak gini?” takjub Akio. “Dari masuk sampe sekarang… gue kira lagi di Paris Fashion Week,” aku Akio nanar. “Yah, SMA Swasta Spebius memang membebaskan kreatifitas dalam berpenampilan untuk muridnya. Motto sekolah kami sendiri adalah untuk mencetak generasi brilian yang melek mode,” beritahu Pare. Motto yang sangat tidak mendidik, batin Baek dan Akio. “By the way, banyak yang udah terjadi selama setengah tahun ini. Ngobrol di rumah gue aja, yuk,” ajak Baek. “Ide bagus. Tapi, gue ke kamar mandi dulu, yah. Kamar mandinya di mana, men?” tanya Akio pada Pare. Pare pun menjawab, “Kamar mandi untuk pengunjung umum paling dekat dari sini kira-kira memiliki jarak sejauh sekitar lima ratu tiga puluh delapan meter ke arah barat daya. Dari sini jalannya lurus, belok kiri, kanan, kanan, kanan, kiri, lurus, kiri, kanan, kanan…” Akio lelah mendengar jawaban sobatnya yang seperti tukang parkir. “Gue cari sendiri aja, deh,” putusnya. “Malah pusing gue denger jawaban lu.” “Mau bawa peta?” tawar Baek. “Jangan ngeremehin gue,” jawab Akio mencolek hidungnya dengan jempol. Beberapa saat kemudian… Dan nyasarlah gue. Nggak gue sangka sekolah ini beneran gede. Gue sampai dilihatin begini sama para siswa dan siswi SMA Swasta Spebius. Segera ia tutupi lambang sekolah di blazernya. SMA Negeri A1, tolong maafkan salah satu siswamu ini! “Lo Aki, ‘kan? Muhammad Akio bla bla bla Morita. Anak dari kelas 9-7 kalau nggak salah. Hei, lama nggak jumpa,” kata seorang siswa Spebius sambil memeluk Akio yang hampir pecah kandung kemihnya. Segera ia tatap penuh harap siswa SMA Swasta Spebius yang menghampirinya. Kedengaran dari ucapannya seperti dia alumni SMP Negeri A1 juga. Ia pun berkata, “Toire (ejaan Jepang untuk toilet).” “Kebetulan gue juga lagi butuh pergi ke kamar mandi, kok. Barengan aja, yuk,” sahut siswa itu. Keluar dari kamar mandi umum. Siswa SMA Swasta Spebius yang memiliki nama Ariy itu masih setia menunggu. Tidak enak juga kan jika langsung pergi. Akio pun mengajak Ariy berbasa-basi sambil berjalan menuju gazebo tempat Pare dan Baek menanti. “Pertama kali gue liat anak yang masih normal di sini,” buka Akio. Normal: mata cokelat gelap, rambut hitam, tidak pakai tindik, tidak ada piercing, tidak tatoan, dan seragam tidak ditambahi macam-macam yang membuat SMA Swasta Spebius tampak seperti SMA di manhwa Korea. “Orang normal dalam bayangan lo bakal jadi ganyangan anak-anak popular di sini,” beritahu Ariy. “Hah? Bagaimana dengan lo sendiri, Riy?” tanya Akio. “Kalau gue mah kebetulan aja masih sayang rambut hitam dan kacamata ini. Jadi malas diubah-ubah,” jawab Ariy sambil mengelus-ngelus poni yang nyaris menutupi seluruh dahi. Kalau Pare sampai merubah penampilannya. Seharusnya ganjaran kalau gak melakukan itu akan sangat berat. Tapi, kelihatannya kok Ariy biasa aja, yah. “Lo nggak diganyang apa?” tanya Akio. “Nggak aka nada yang melakukan hal kayak gitu sama gue,” jawab Ariy percaya diri. Akio ingin bertanya kenapa. Tapi, langkah mereka sedikit lagi sampai. Saat akan berpisah di persimpangan jalan. Akio memperhatikan seragam Ariy. Sedikit berbeda dengan seragam Pare maupun siswa lain. “Hirearki kekuasaan yang ada di sekolah super elit ini sepertinya mengerikan, yah,” piker Akio. ……. Sampailah mereka di kediaman Baek yang merupakan sebuah townhouse mewah yang terletak di kawasan elit yang hanya diisi oleh orang-orang berduit. “Ya ampun, udah lama kita nggak ketemu ya, Nak Kio,” sapa Mama Baek. Pandangannya beralih ke pemuda bertampang anggota boyband di samping Akio. “Ini siapa, Baek Nam Dong?” tanya wanita itu kala melihat kea rah Pare. Ia cukup syok melihat ada siswa SMA normal yang memiliki penampilan seperti anak itu. “Sst, Ma, dia Pare, Pare, Pare! Yang itu, lho!” bisik Baek membangkitkan ingatan sang mama. Mama Baek auto kehilangan kata-kata alias speechless ria. Ke mana perginya Pare sahabat sang putra yang sangat pintar, tapi cupu dan juga maniak bahasa baku itu. “Apa yang sudah terjadi sama dia? Dia masuk ke sekolah preman macam apa penampilannya bisa jadi seperti ini?” tanyanya. “Aku juga nggak tau, Ma,” jawab Baek jujur. ……. Di kamar tidur Baek. Pare dan Akio langsung asyik memainkan konsol game terbaru keluaran salah satu perusahaan game Jepang. Baek sendiri memutuskan tidak ikut-ikutan karena masih sibuk menyiapkan jamuan. Sekedar formalitas saja. Karena kalau boleh jujur mah ia juga tak merasa Pare yang baru ia bawa pulang adalah Pare sahabatnya berbulan-bulan silam. “Lo ken, sihapa?” tanya Akio memberanikan diri. Sudah tidak kuat memendam rasa penasaran sendiri. “Kenapa apanya? Perasaan gue biasa aja, dah,” jawab Pare. Dulu mereka ngeri mendengar ucapannya yang baku serta puitis. Sekarang mereka ngeri mendengar ucapannya yang mendadak gaul. “Bukannya nggak apa-apa juga. Banyak yang udah terjadi selama setengah tahun belakangan ini. Gue bisa mati kalau nggak berubah jadi seperti sekarang, bro,” jawab Pare. Bukan hanya menawan dan mempesona. Kehororan SMA Swasta Spebius juga benar adanya. Kebahagiaan SMA Swasta Spebius hanya diberikan pada mereka para manusia terpilih. “Emang kenapa?” tanya Akio berusaha semakin memperjelas. “Benarlah kata Souljah. Tak selamanya yang berkilau itu indah. Gue akan coba bertahan setengah tahun lagi. Kalau situasi nggak berubah. Tunggu aja gue jadi anak baru di sekolah lu. Saat itu tiba kita bersahabat kayak dulu lagi, ya.” “Gak jelas lu,” balas Akio malas berbasa-basi. Ingin cepat langsung saja ke inti. “Jadi, mukashi-mukashi aru tokoro ni… (basaha Jepang untuk, dulu…)”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN