Gadis Tak Berhati

1821 Kata
“Hari ini ada pembagian raport di sekolah Baek. Aku mau pergi dulu, ya,” pamit Olaf pada Aron. Niydeia dan Dikara sudah berangkat ke rumah sakit sejak pagi buta karena ada keperluan penting di sana. “Iya, Mbak Olaf. Kalau Maz Rian ambil raportnya besok,” respon Aron lembut. Hari itu ia memang sedang lebih memiliki waktu luang dibanding dengan sang istri. Baek menunggu di mobil. Cukup keringat dingin membayangkan jika ia gagal mendapat ranking yang dikehendaki sam mama. Maz Rian sendiri bicara seperti ini saat ia minta mengoreksi soal Ujian Semester SMP Negeri A1, “Mending lo liat aja sendiri nanti. Kalau gue kasih tau sekarang kayaknya bakal jadi nggak seru.” Sungguh BGST. “Kalau Maz Rian sih pasti dapat ranking satu lagi. Memang benar-benar cucunya Kakek. Anak yang sangat hebat serta bertalenta. Andai saja Baek bisa sedikit saja mencontoh dia,” ucap Olaf dengan pandangan kecewa pada Aron yang hanya tersenyum getir. “Tapi Mbak Olaf, setiap anak di dunia ini itu kan berbeda. Baek sendiri juga pasti punya sangat banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh Maz Rian,” balas Aron, “Aku sangat percaya hal itu, Mbak. Rasanya aku pun jadi kurang nyaman kalau Maz Rian harus dianggap setinggi itu.” Om Aron memang sobat sejatiku. Papa belum pernah belain gue di depan Mama. Dasar suami-suami takut istri, batin Baek mendengar pembelaan Om Aron untuk dirinya. “Alaah, kelebihan apa,” balas Olaf tampak acuh tak acuh sambil beranjak masuk ke dalam mobil. Gue jadi semakin terpuruk. Kalau begini lebih baik sejak awal gue masuk ke sekolah berperingkat rendah aja. Rasanya jadi nggak ada arti semua usaha keras gue sebagai cucu pertama dari anak pertama Kakek, batin Baek merasakan kepahitan menyeruak mengisi relung dadanya. “Kenapa kamu diam saja? Cepat pintunya ditutup!” perintah Olaf yang duduk di kursi kemudi pada putranya yang ada di jok belakang. “Ma, sepertinya aku nunggu di rumah aja, deh,” ucap Baek sambil beranjak turun dari mobil. Ia juga ingin menghabiskan waktu yang lebih intim hanya dengan Om Aron. “Ya sudah, terserah kamu,” respon Olaf tampak tidak peduli. ……. Di rumah hanya ada Baek dan omnya Aron. Mereka membersihkan rumah bersama. Om Aron dengan vacuum cleaner. Baek dengan pembersih kaca. Selesai bersih-bersih rumah. Mereka berbincang-bincang di ruang keluarga. Baek menanyakan berbagai macam hal tentang kegiatan Om Aron sebagai dokter sekaligus dosen di salah satu universitas negeri. Baek tidak pernah bosan bicara dengan omnya. Ia jadi melupakan niat untuk curhat masalah pribadi yang tengah pikirannya alami. Baek berwajah ceria mendengar cerita Om Aron tentang kegiatan yang ia jalani sebagai seorang dokter spesialis bedah. “Keren banget, ya. Aku nggak sabar untuk bisa jadi dokter yang hebat seperti Om Aron,” pujinya. “Kenapa kamu nggak jadi ikut ambil raport?” tanya Om Aron tiba-tiba. Memotong cerita Baek. “Aku kan udah besar, Om Aron. Males lah kalau sampai keliatan lagi pergi sama Mama,” jawab Baek “jujur”. “Om udah denger. Kata mamamu kamu harus dapat ranking satu kalau mau dikembalikan semua fasilitasnya,” kata Om Aron. Baek menggaruk wajah yang tak gatal dengan raut tidak enak. “Iya, Om Aron. Jadi malu aku. Padahal Om Aron aja nggak pernah ngasih itu semua ke Maz Rian. Dan Maz Rian tetap jadi anak pintar serta berprestasi. Sementara aku ini yang sudah dimanja oleh banyak kebahagiaan oleh Mama dan Papa… kenapa malah jadi seperti ini, ya?” tanya Baek tertunduk malu. “Rasanya sangat tidak ideal sekali jika dibanding dengan bagaimana aku harus menjadi sebenarnya. Seorang cucu laki-laki yang sempurna.” Karena memang. Sebagai satu-satunya anak Dikara Halayuda. Ia seperti tak merasakan sedikit pun gen sang papa yang sangat berbakat serta jenius itu mengalir di dalam nadinya. “Terkadang Om Aron kasian sekali lho sama papa kamu,” kata Om Aron tiba-tiba. “Memangnya kenapa, Om? Apa yang jadi alasannya?” tanya Baek terkejut. Om Aron pun memulai kisah yang belum Baek ketahui tentang Dikara, “Papamu itu waktu kecil cita-citanya jadi pilot. Waktu remaja nonton Habibi & Ainun pengen jadi ahli konstruksi pesawat. Waktu kuliah pengen banget masuk RWTH Aachen. Tapi, nggak boleh sama Kakek. Kakek bilang gini, kamu baru boleh melakukan apa pun yang kamu mau kalau Aron sudah siap jadi penerus Papi. Eh, Om malah jadi dokter. Kayak sengaja banget ingin buat papamu nggak bisa menggapai impiannya. “Orang kayak Om Aron ini jangan kamu ikutin, ya.” “Tapi… kan Om Aron melakukan itu untuk kebaikan orang lain. Karena Om Aron memiliki jiwa yang besar,” ucap Baek. Sedikit gamang. “Siapa bilang?” Om Aron mendekatkan bibir ke telinga Baek. “Om Aron jadi dokter cuma untuk menghindari warisan kakek kamu yang merepotkan itu. Entah kenapa bayangan jadi pemimpin dari korporasi sebesar CCG hanya buat Om Aron merasa terkekang dan gak nyaman. Nggak ada orang yang suka hidupnya diatur-atur, ‘kan? Rasanya… pasti begitu juga dengan Mas Dikara. “Sejak awal Om Aron memang berniat menumbalkan papamu.” Mustahil! Om Aron yang selama ini gue kagumi setengah mati… “Papa kamu itu orang yang sangat hebat serta luar biasa, Sen Jo. Memiliki jiwa besar. Baik hati. Memiliki tanggung jawab. Berdedikasi. Walau terkadang memang nyeleneh, sih. Itu kenapa kamu belajar yang benar. Jangan sampai jadi seperti Om Aron. Pria pengecut yang sama sekali tidak gentleman,” nasihat Om Aron. Mulai buka-bukaan di depan sang keponakan. “Aku bener-bener udah salah sangka…” ucap Baek seraya menundukkan wajah. Om Aron membalas, “Memang. Jangan sampai ada perasaan kagum sama Om Aron jauh melebihi kekaguman sama papamu.” Dikepalkan tangannya ke udara. “He is the best.” Shit! Dia ngomong begini pasti karena sangat mencintai Papa. Gue jadi terharu. Makin kagum dah gue. Hiks hiks hiks. “Sekarang aku mengagumi Om dengan cara yang berbeda.” “Hah?” Anak ini nangkep apa dari pembicaraanku. ……. Dua jam kemudian Mama Baek pulang. Ia berbasa-basi pada Aron menyadari rumah sudah bersih. Ia menyesal karena sebagai perempuan malah keluar rumah sebelum membersihkannya. Kayaknya Mbak Olaf lagi nyindir Niydeia, batin Om Aron. “Peringkatku bagaimana, Ma?” tanya Baek tak bersemangat. “Kita lihat barengan aja sama raportnya Maz Rian besok,” jawab Mama. Ekspresinya sukar dibaca. Cenderung biasa. Tak teraba. Baek mengambil jalan pintas dengan langsung menghubungi Deinw. Tapi, Deinw kalau habis ambil raport pasti tak bisa dihubungi. Lebih baik cari tahu ke Akio. Tilililit tilililit tilililit. “Kio, Kio, Kio, lo ranking berapa?” tanya Baek cepat. “Biasa. Gue emang menyedihkan. Dapet ranking dua mulu. Tapi, ranking sekolah gue naik,” jawab Akio. Keparat lo. “Terus dia ranking berapa?” tanya Baek lagi. “Tadi Tante Olaf nyamperin gue bilang jangan kasih tau siapa yang dapet ranking satu sama lo,” jawab Akio. Ya Allah Mama kurang kerjaan banget. Tapi, gue jadi yakin. Gue pasti gagal. Ranking kelas kan nggak diumumin. “Ya udah, men. Makasih banyak untuk selama ini.” “Emang kenapa? Lo mau bunuh diri? Tinggalin warisan yang banyak buat gue, yak! WAKA KA KA KA!!!” balas Akio riang. Baek mendenguskan nafas kesal. Warisan utang iya. “Kira-kira ada yang bakal benci ama gue nggak ya kalau gue jadi miskin?” tanya Baek dramatis sambil memandang ke langit-langit. “Paling gue. Selama ini kan semua akomodasi hura-hura gue yang nanggung elo,” jawab Akio. “Lu minta dibunuh, Ki,” balas Baek. “Bunuh aja. Tapi, lo baru boleh bunuh gue kalau bisa lebih pinter dari gue, huh!” balas Akio balik. Tiiit tiit tiit. Taik. Tapi yah, jelaslah sudah, batin Baek percaya diri pada kegagalannya. ……. Malam hari di kamar Maz Rian. Baek sedang berbaring menatap langit-langit di atas sofa panjang. Maz Rian masuk dengan wajah kusut. “Napa lo?” tanya keduanya berbarengan. “Gue gagal,” jawab Baek. “Kata Papi belum dikasih tau,” kata Maz Rian. “Nggak usah dikasih tau juga gue udah paham kali,” jawab Baek. “Jangan berburuk sangka sama usaha lo sendiri,” kata Maz Rian berbaring di atas kasur. “Papa udah pulang, ya?” longoknya ke jendela. “Akhir-akhir ini dia banyak banget waktu luang.” “Papi juga. Kenapa sih dia selalu belain papa lo?” tanya Maz Rian julid. Lo punya masalah apa dah sama papa gue. “Tahun baru rencana lo apa?” tanya Baek. “PDKT ama calon istri. Emangnya elo. Dasar jomblo ngenes,” jawab Maz Rian percaya diri. Eh, nggak sadar diri dia, batin Baek malah kasihan pada Maz Rian. ……. Esok harinya. Om Aron sendiri yang mengabil raport Maz Rian. Sorenya semua sudah siap untuk sebuah penyingkapan. “Maz Rian kok nilainya turun jauh ya dari biasanya? Kok bisa dapat ranking dua, sih?” keluh Om Aron. Di sisi lain ia merasa malu, tidak enak hati pada kakak iparnya yang habis memuji sang putra setinggi langit kemarin. “Kalau boleh jujur sudah bosan aku ranking 1 terus, Pi,” jawab Maz Rian enteng. “Kalau aku ranking berapa, Ma?” tanya Baek hati-hati. “Ranking empat,” jawab Olaf dengan intonasi suara datar. Anak remaja itu tersenyum getir. Berpikir, sangat jauh dari harapan. Bisa-bisanya gue yang biasa ranking 5 cuma naik satu tingkat setelah perjuangan berdarah yang udah gue lakuin. Anak remaja itu pandangi lembar demi lembar buku raportnya dengan baik. Nilai paling tinggi yang berhasil ia peroleh hanya sembilan koma tujuh puluh lima. Sementara nilai paling rendah berhenti di bilangan bulat sembilan. Yang dapat hasil sempurna hanya dua puluh mata pelajaran dari dua puluh tujuh pelajaran. Me… ma… lu… KAN! Ampas lah ini mah, batin Baek sedih. ……. Mama pulang mengambil raportnya dengan wajah datar seperti biasa. Ia tidak peduli dengan wajah wanita itu. Langsung saja ia sambar raportnya. Dibuka halaman paling belakang. Dan… “Ha… ha ha ha… ha… ha,” ia tertawa lirih sambil meneteskan air mata. Yang remedial hanya tujuh mata pelajaran (dari tiga belas mata pelajaran). Terasa seperti keajaiban. Waktu kenaikan kelas nilai yang tidak remedial hanya satu. “Aku cuma pengen lulus, Gusti Allah. Masuk sekolah paling jelek juga nggak apa-apa. Aku cuma pengen lulus!” Tring! Tiba-tiba gawainya berbunyi menyampaikan kedatangan chat di aplikasi bertukar pesan popular. Hero of Gilgamesh Hei, gimana raport lu? Queen of Asterope Ada peningkatan sih daripada sebelumnya. Hero of Gilgamesh Untung aja, deh. Gimana belajar lo sama cowok itu? “Cowok itu. Maksudnya Kak Ramadhan? Kakak gue sendiri?” tanya Raki bersuara pelan. Queen of Asterope Sejauh ini baik-baik aja, sih. Hero of Gilgamesh Emm… menurut lo enakan belajar sama dia apa sama gue? Queen of Asterope Enakan sama dia. Soalnya udah biasa. Hero of Gilgamesh Broken heart story of me. Queen of Asterope Napa dah lu? Hero of Gilgamesh Selamat malam ya kalau gitu… *sob sob sob* Raki di rumahnya hanya bisa berpikir, "Ini orang kenapa, dah? Apa dia habis dapat nilai jelek? Kok rasanya nggak masuk akal, ya?" "Ah, bodo amat. Nonton anima lagi, ah. Yuhuuyy!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN