Misteri Papa

1986 Kata
Hari Jumat di minggu terakhir Ujian Semester. Usai sholat Jumat Baek meninggalkan kedua temannya dan berbelok menuju SMP Negeri N41'. “Biasanya setelah ujian usai. Kawan kita satu itu akan mengajak jalan-jalan. Ini membuatku cemas. Ada apa gerangan dengannya?” tanya Dienw. “Katanya dia mau nemuin guru privatnya. Gue juga ada acara hari ini.” Nemuin Sabrina. “Duluan, yak,” pamit Akio. Aku… tidak punya teman selain mereka. Tanpa teman. Tanpa pacar. Tanpa acara. Poor me. ……. “Ini siapa?” tanya teman-teman Maz Rian. Tertegun melihat Baek mengenakan seragam SMP Negeri A1 yang tampak sangat mewah bin elit. “Temen gue. Hari ini gue ada urusan sama dia. Lo pada duluan aja. Bye bye,” pamit Maz Rian melambaikan tangan pada teman-temannya. “Ah, elo. Punya temen anak A1 nggak ngomong-ngomong. Bye,” balas temannya. “Emang kenapa kalau gue anak A1?” tanya Baek bingung. “Pasti ada, ‘kan? Rasa kagum ketika ngeliat orang yang lebih baik dari kita. Lo belom pernah ke sekolah aksen rangkap, sih. Mereka bakal lebih norak lagi kalau liat anak Round of Circle 10. Kalian tuh keliatan shining shimmering splendid banget di mata mereka. Kayak bintang di langit tanpa polusi cahaya,” jawab Maz Rian jujur tanpa melebih-lebihkan. Memang begitulah kenyataan. “Ternyata pandangan anak sekolah lain sama Round of Circle 10 kayak gitu. Jadi sedih karena sebenarnya sama sekali nggak sebaik anggapan mereka,” respon Baek kecewa pada diri sendiri. “Lo mau ngapain ke rumah gue?” tanya Maz Rian. “Disuruh sama bokap anjir. Mungkin kita mau liburan bareng,” jawab Baek malas. “Aduh, males banget, deh. Gue sibuk,” respon Maz Rian berwajah bad mood. “Gue juga udah ada rencana sama temen-temen. Malem tahun baru gue pengen party,” balas Baek. Party akhir tahun yang sudah lama ia impi-impikan bisa auto rusak. Kalau ada acara nggak jelas papanya. Perasaan gue kok jadi nggak enak. “Sen Jo, uhmm, yang dateng ke rumah gue cuma lo sama Tante Olaf aja, ‘kan? Om Dikara nyuruh lo dateng karena nggak bakal ke rumah gue, ‘kan?” tanya Maz Rian waspada. “Kalo itu gue nggak tau. Lo kenapa? Anti banget perasaan sama bokap gue, dah,” jawab Baek. I’m allergic with stupidipity, batin Maz Rian yakin. ……. “Aduh, dua pangeranku sudah datang.” Kecup Maz Rian. Kecup Baek. “Gimana Ujian Semesternya?” tanya Tante Niydeia ramah. “Alhamdulillah, Mi. Pelajaran di sekolah Maz kan gampang. Kalau di sekolah Sen Jo nggak tau,” jawab Maz Rian mengeluarkan aura anak idamannya. “Biasa aja kok, Tante,” jawab Baek. “Iya biasa aja. Ujian Semester kali ini kan belajar,” koar mama Baek. Sepasang mata Baek melirik ke ruang makan. Tidak seperti Tante Niydeia yang memperlakukannya bak putra raja. Mamanya melihatnya seperti... entahlah. Wanita sulit dipahami. Apalagi kalau wanita itu ibumu. “Kita mau ada acara apa sih, Mi? pakai undang Tante Olaf segala,” tanya Maz Rian seraya menyalimi tangan mama Baek. “Kamu ini bagaimana? Masa ngundang saudara sendiri harus pakai acara-acaraan dulu,” jawab Niydeia. Tersenyum lembut. Fiuuh. Berarti cuma pertemuan biasa. Semoga Om Dikara nggak dateng. Aamiin aamiin aamiin ya rabbal allamin. “Papi sudah sampai di mana, Mi?” tanya Maz Rian. “Lagi on the way dari bandara. Sekarang tolong kamu siapin meja makan buat Tante Olaf sama Baek. Makan malamnya sudah jadi. Mami pengen mereka nyicipin dulu biar perut nggak keram waktu makan malam,” pinta Tante Niydeia. Makan malam? Sekarang baru jam setengah tiga sore a***y. “Yang masak Bi Laksmi kan, Mi?” Ada Tante Olaf. Kasihan Mami kalau denger re taste-nya. “Selama ada Mami. Haram pembantu yang masak,” kukuh Niydeia. “Kata Baek makanan yang Mami kasih kemarin Tante Olaf bilang rasanya enak.” Kebohongan yang bodoh. Pasrah saja sudah. “Tante Olaf sama Sen Jo silahkan tunggu di ruang makan untuk pembuka santapan malamnya,” pinta Maz Rian. “Oho ho ho ho, Maz Rian bener-bener sopan, ya. Tapi, nggak usah kaku sama tante sendiri. Contohlah itu, Baek!” titah Olaf pada putranya yang berwajah pucat seketika. Baek mengajak Maz Rian ke halaman belakang. “Mami lo pengen nyokap gue makan masakannya? Jangan, bro, jangan. Nyokap gue mulutnya pedes banget kayak samyang mala,” beritahu Baek. “Tenanglah. Mami orangnya kuat,” jawab Maz Rian teguh. “Gue yang sakit! Bayangin lo sangat suka sama sesuatu. Lo bakal terluka kan ngeliat itu disakiti walau bukan punya lo?” tanya Baek. “Baek, Maz Rian, sedang apa kalian berdua di belakang? Itu makanannya sudah Tante siapkan di atas meja makan,” beritahu Niydeia lembut. “Mama udah makan, Tante?” gidik Baek. “Udah, dong,” jawab Niydeia. “Bagaimana dengan reaksinya?” tanya Baek dan Maz Rian. “Dia bakal nulis kekurangan masakan Tante buat Tante pelajari. Mamamu tuh baik banget, ya. Nggak nyesel Mami menikah sama papimu,” ucap Niydeia pada Maz Rian. Maksudnya apa? But, okey, masalah terselesaikan. Mama nggak berlaku kasar yang menyakiti Tante Niydeia. Tapi, kenapa kelihatannya masih ada yang mengganggu Maz Rian? Tak lama kemudian Aron alias nama papi Maz Rian datang. Sebenarnya hari ini keluarga Baek diundang untuk menyambut kedatangan Aron. Seusai menuntaskan kunjungan ke Korea Selatan dan Kanada. “Ada Mbak Olaf dan Sen Jo ternyata. Senangnya disambut sama banyak orang. Ini oleh-olehnya,” kata Aron ceria. Menyerahkan beberapa bingkisan mahal yang dibungkus estetis pada keluar tercinta. Menerima oleh-oleh pamannya Baek langsung membatin, Om Aron itu masih muda, ganteng, pinter, baik banget lagi. Keren. Gue harus jadi seperti dia suatu saat nanti, tekadnya. Walaupun papa gue sendiri bukannya nggak mengagumkan, sih. ……. Tepat pukul tujuh malam. Seusai sholat Isya’ berjamaah. Kendaraan yang tak asing masuk ke salah satu garasi rumah Maz Rian. Pengemudinya langsung turun dari mobil. Berlari memasuki rumah dengan langkah tak sabar. Sikapnya mengingatkan kita pada satu kata: norak. Dan semua kata turunannya. “Assalammu’alaikum,” teriaknya ceria di ruang keluarga. Tak seorang pun dari mereka menyadari kedatangannya. “Wa’alaikumsalam, Mas,” jawab Aron paling cepat. Didirikan tubuhnya dan dihampiri kakak satu-satunya itu. Putranya juga langsung berdiri. Melangkah menuju beranda belakang. “Adekku tersayang, gimana kabar kamu? Aku kangen banget tau,” tanya papa Baek tanpa canggung. Langsung dipeluk. Dicubiti pipi. Dan diciumi adik laki-laki kesayangannya itu. Suara hati Maz Rian be like, hoooeek!!! Baek sudah bisa menebak apa yang sepupunya rasakan hanya dari ekspresinya. Membatin, hehe, gue malah kagum ngeliat Papa sama Om Aron masih bisa bersikap gitu walau udah berumur. Jujur. Jijik. Tapi, inilah cinta sejati. Andai gue juga punya sodara. Ah, sodara gue kan mereka berdua. Papaku yang konyol dan terkesan bodoh ini nyatanya menyimpan banyak misteri yang sama sekali tak terbayangkan. Jika melihat kesehariannya. Hmm... - MOTIF DI BALIK NAMA - Papa Baek Nam Dong yang terkenal dengan nama Dikara Halayuda itu lahir dari sebuah keluarga konglomerat yang luar biasa membosankan. Beragam aturan serta norma dan dogma menghantui sepanjang hidupnya. Sikap kakuan. Kegaringan. Serta kehidupan ketat yang super disiplin. Dari yang aku dengar berdasar cerita para pelayan dan supir senior. Tidak ada kesenangan manusia normal yang pernah ia rasakan saat kecil. Hatinya sudah menjadi batu. Perasaannya sudah hilang. Tapi, wajahnya harus tetap tersenyum cerah nan ceria. Ya iya lah. Mana boleh ada orang di dunia ini yang tau kalau anak seorang pria super sukses serta terkenal seperti kakekku menderita. Itu sudah jadi seperti suatu tabu. Saat Papa Baek berusia tujuh tahun. Tuhan menghadiahi dirinya dengan seorang adik laki-laki yang lucu. Adik yang sangat mirip dengannya. Hidup Dikara Halayuda setelah itu bisa ia bilang sudah nyaris sempurna. Namun, semua hal yang mendapat predikat sempurna di atas dunia itu tidak akan bertahan dalam waktu lama. Tentu saja karena hanya sempurna sampai adiknya yaitu Om Aron memutuskan untuk masuk ke fakultas kedokteran. Padahal Kakek ingin Papa dan Om Aron jadi pengusaha atau yang semacam itu, lah. Meleburkan diri ke dalam dunia industri serta ekonomi. Menghasilkan produk-produk untuk membantu perkembangan peradaban serta zaman. Tapi, ya sudahlah. Sampai kejadian yang gue ceritakan di bab sebelumnya. Kakek benar-benar marah pada Om Aron. Harga diri Kakek itu entah kenapa tinggi sekali. Yah, bisa jadi karena status sosialnya pun sangat, sangat, sangat tinggi sekali di dalam masyarakat. Ia merasa dipermalukan di hadapan seluruh keluarga. Anak penyelenggara acara kok malah nggak ada. Walhasil, dihapuslah nama Om Aron dari daftar ahli waris Kakek. Kedengeran kayak sinetron hidup mereka, asli. Om Aron lulus fakultas kedokteran dengan hasil yang sangat memuaskan. Papa Baek memanggil Om Aron ke kantornya as soon as possible. Kebetulan waktu itu Baek Nam Dong yang masih bocah kecil sedang berada di sana. Sedang mempelajari bagaimana tugas dan pekerjaan sang papa di kantor. Kalau gue tidak salah ingat percakapan mereka saat itu seperti ini… “Ada apa, Mas?” tanya Om Aron. “Kamu mau kerja di mana?” tanya Papa dari mejanya. Gue duduk di sofa tamu. Membaca beberapa buku anak-anak. “Aku mau masuk ke rumah sakit tempatku magang dulu. Nggak sia-sia sekolah sebaik mungkin. Lulus langsung ditawari kerja. Andai Papi bisa ikut merasakan kebahagiaanku,” jawab Om Aron. “Luar negeri kamu bilang? Maksudnya di Swiss? Kamu mau kerja di Swiss??!!!” tanya Papa hiperbol sambil mencengkram kedua pundak Om Aron. Kedua matanya terbelalak bak Leily Sagita. “Iya, Mas Dikara. Ada apa ya memangnya?” jawab Om Aron balik tanya. “Nggak boleh, nggak boleh, nggak boleh! Pokoknya tidak boleh! Kamu nggak boleh jauh dari Mas Dikara. Enak aja,” jawab Papa. Ia putar tubuh membelakangi Om Aron. Sebenarnya waktu itu gue pengen kabur aja. Tapi, keliatannya masih seru. Jadi, gue memutuskan untuk tetap bertahan. “Tenagaku lebih dibutuhkan di sana, Mas Dikara. Bukan masalah luar negerinya , sih. Tapi, yang membutuhkan aku. Di Indonesia juga kan ada Papi. Aku nggak enak sama beliau, Mas Dikara,” ucap Om Aron memberi alasan. “Tetep nggak boleh,” acuh Papa tak peduli. Ia kembali duduk. “Ayolah, Mas Dikara. Aku sudah besar. Bisa mengurus diri sendiri. Jangan bikin aku pusing dengan perlakuan Mas Dikara,” ucap Om Aron memohon belas kasihan. “Nih,” kata Papa sambil menunjukkan layar tabletnya. “Mas sudah be… li… kan rumah sakit untukmu dan Baek. Kamu di negara ini saja,” putus Papa dengan aura tidak bisa diganggu gugat. Om Aron keliatan merinding dengan sikap Papa yang super over. Baru juga beberapa hari lulus kedokteran umum udah dikasih rumah sakit. Yah, waktu itu gue belum ngerti apa-apa, sih. “Aku nggak mau, Mas Dikara. Kalau begini caranya aku anggap Mas Dikara meremehkan aku, ya. Aku nggak butuh uang Mas Dikara. Aku bisa cari kerja sendiri untuk biaya ambil spesialis,” tolak Om Aron. Sama teguhnya. Sama tak bisa diganggu gugatnya. Papa berusaha berkata, “Hei, kamu itu ada orang tua bicara dengerin du…” “Udahlah! Mungkin Mas sama aja kayak Papi. Meremehkan kemampuan yang aku punya untuk jadi seorang dokter,” kata Om Aron emosi. Kelihatannya konflik udah semakin panas. Kalau disuruh keluar aslinya gue bakal keluar, lho. Karena kelihatannya Papa juga enggak begitu peduli sama keberadaan gue… “Kamu ini ngomong apa, sih?” tanya Papa. “Itu buat kamu belajar. Kamu akan kerja dan digaji secara professional di sana. Mas Dikara juga gak bakal umumin ke pegawainya kalau kamu adik Mas Dikara, kok,” lanjutnya, “Ini untuk kebaikan Baek juga.” Waktu itu gue mikir rumah sakit yang Papa maksud adalah semacam barang murah yang dijual di kaki lima. Entahlah. Gue nggak peduli sama barang murah. “Apa Mas Dikara serius?” tanya Om Aron was was. “Iyalah. Mas Dikara itu orang yang paling mendukung impian kamu di bawah kolong langit ini,” jawab Papa percaya diri. Itulah pertama kali gue liat ada dua orang cowok dewasa pelukan dengan begitu intim. Om Aron membalas, “Nggak rugi aku namai anakku Maz.” Sejak saat itu gue jadi merasa curiga. Apa ada motif terselubung di balik nama yang dianugrahkan ke gue ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN