Aku adalah seorang pangeran yang tak memiliki nama. Semua itu karena tak seorang pun juga dia atas dunia yang pernah menyerukan namaku. Memanggilku. Kalian semua boleh saja memanggil aku dengan nama Dienw. Walau mungkin aku bukan pangeran di dunia nyata yang memiliki kuasa akan hidup banyak orang juga suatu negara. Paling tidak aku adalah pangeran di dunia yang lain. Pangeran di dunia yang tak diketahui oleh banyak orang. Aku adalah Pangeran Var.
Krik krik krik.
Kalau boleh jujur. Walau selalu tampak super serius di luar dan dalam keseharian. Aku selalu saja membayangkan soal bagaimana kehidupanku di dunia yang berbeda kira-kira berjalan. Walau aku sebut khayalan. Bukan berarti aku hanya memikirkan yang enak saja, lho. Di satu sisi terselip rasa takut yang sukar dimanifestasikan menjadi rangkaian kata.
Seperti contohnya…
Apa yang terjadi sampai Pangeran Var yang selalu aku puja dari dunia ini itu ternya g****k? Tidak punya otak? Kurang cerdas? Aaargh! Yang lebih membuat aku takut… bagaimana kalau karena terlalu sibuk memerintah kerajaan. Ia tidak berteman dengan Baek Nam Dong dan Akio Morita? Atau bisa jadi juga mereka tidak berasal dari satu kasta. Atau bagaimana jika mereka jadi perempuan? Atau kakek-kakek? Penjahat yang kejam lagi mengerikan? Bayi korban aborsi? Atau… mata-mata dari kerajaan lain?
Bagaimana coba???!!!
“Ujian minggu kedua dimulai!”
…….
Baek, Akio, dan Dienw. Tiga orang anak remaja laki-laki yang bersahabat sampai dikira penyuka sesame jenis. Mereka selalu bertiga. Hanya bertiga dan entah bagaimana ya hanya tetap bertiga. Selama hampir tiga tahun. Apa pun yang terjadi. Sampai negara api menyerang. Tak peduli bagaimana kelas diacak setiap tahun. Mereka tetap bertemu lagi. Sekelas lagi. Mempertahankan kelanjutan geng gak jelas mereka.
Untuk ukuran siswa sekolah negerikelas A1. Hanya Dienw yang menonjol dari segi pelajaran dan pencapaian nilai. Baek dan Akio cenderung normal. Nilai Akio lebih tinggi dari Baek. Tapi, yang memegang kendali atas kelompok mereka adalah Baek. Baek raja. Akio penasihat kerajaan. Dienw hanya rakyat yang tidak suka mengambil keputusan untuk orang lain. Inginnya ya mengikuti apa yang diperintahkan saja. Laksana daun kering yang jatuh dari puncak pohon ke permukaan sungai yang mengalir dengan deras. Aliran itu adalah Baek Nam Dong. Sementara sungainya adalah Akio Morita.
Seperti itulah, ya. Yang ada dalam diri mereka tak selalu menempatkan di posisi yang seharusnya yang orang lain pikir.
“Gimana ujian minggu kedua kalian?” tanya Baek lesu di perjalanan pulang mereka. Biasanya yang pulang bersama naik kendaraan umum hanya Akio dan Dienw. Baek sebagai anak sultan yang level kesultanannya sudah sulit dibayangkan orang biasa selama ini biasa pergi ke mana pun naik mobil yang ia kendarai sendiri.
Ia tidak suka pakai supir atau bergantung pada orang lain masalah transportasi.
“Kenapa pelajaran-pelajaran yang paling susah harus dikasih di minggu kedua, sih? Udah hancur lebur konsentrasi gue,” jawab Akio. Ia sangat sedih karena dua soal terpaksa harus diisi cap cip cup belalang kuncup.
Dia pasti habis jawab cap cip cup 1 sampai 3 nomor soal, tebak Baek dalam hati. “Biar konsentrasi kita terjaga,” beritahunya.
“Menurutku juga begitu. Ujian minggu kedua ini pelajarannya memang lebih mengerikan ketimbang minggu kemarin. Nyaris seluruh bulu kudukku sampai berdiri kala mengerjakan berbagai macam soal ujian tadi. Berpikir, alangkah sulitnya soal-soal yang harus aku tuntaskan demi naik ke tingkat yang lebih tinggi ini. Bagaimana dengan ujian kehidupan yang harus aku lewati demi naik ke tingkat yang selanjutnya? Bbrrr bbrrr bbrrr! Ini benar-benar dingin dan di luar logika. Apa yang harus aku lakukan jika mengerjakan soal yang di dalam layar komputer saja aku tak bisa? Mampukah aku dan kita semua menghadapi ujian yang diberikan oleh semesta?” jawab Dienw panjang lebar. Ia tampak benar-benar kalut.
Walau mual mendengar ucapan sahabatnya satu itu. Baek mendadak jadi semangat. “Elo ada yang ngasal, ya? Nggak dijawab mungkin? Atau malah ragu-ragu? Salah isi atau semacamnya?” ia bertanya antusias. Ia punya firasat baik soal masa depan dompetnya. Uhuk!
Dienw tersenyum. “Tidak ada, sih,” jawabnya santai.
Taik, batin Baek emosi jiwa raga.
“Hubungan lo sama Sabrina sendiri gimana?” tanya Akio.
“Gue nggak bisa beri jawaban pasti juga. Setelah sempet bersikap aneh. Sekarang dia balik kayak dulu. Jadi lebih pengertian malah. Makin sayang deh gue sama cewek itu,” elu Baek sambil sok memeluk diri sendiri. “Kenapa lo nanya-nanyain cewek orang?” tiba-tiba ia bertanya sinis.
“Kayaknya Karen bersikap aneh akhir-akhir ini. Dengan alasan ujian dia jauhin gue habis-habisan. Perasaan tahun kemarin biasa aja,” jawab Akio malah jadi bermuram durja. Apa karena efek membantu percintaan sahabatnya. Percintaannya sendiri jadi dilanda perkara.
“Janganlah berburuk sangka, wahai sahabatku. Bisa saja ia benar-benar ingin belajar. Atau bisa jadi ia ingin memberikan dirimu kejutan. Memberi dirimu prank sebelum diberi hadiah besar. Semua mungkin dalam hati wanita yang tak berumus dan terukur itu,” nasihat Dienw.
Kaget gue dia bisa ngomong gitu, pikir Baek dan Akio bersamaan.
“Baek, gue mau belajar di rumah dia. Lo mau ikut gak?” tanya Akio saat mereka tiba di persimpangan jalan.
“Gue udah janji belajar sama temen. Lo pada duluan aja,” jawab Baek. Melambaikan tangan. “Salam ya sama emaknya!”
“Siap, bro,” jawab Akio.
Ketiganya pun berpisah menapaki jalan untuk sisa hari masing-masing. Akio dan Dienw pada tujuan mereka. Baek pada tujuannya ke rumah Tante Niydeia.
…….
Sesampai Baek di kediaman milik keluarga adik papanya itu. Maz Rian sudah sampai lebih dulu. Saat Baek sampai Maz Rian sedang asyik memberi makan ikan hias peliharaan yang akuarium berukuran besanya ditaruh di pembatas antara ruang tamu dan bagian dalam rumah.
“Heh, enak banget lu, ya. Pulang sekolah bisa-bisanya malah asyik maenan sama ikan hias. Bukannya belajar,” tegur Baek sinis.
Maz Rian langsung menoleh ke arah kakak sepupunya itu. “Eh, Sen Jo. Elu baru datang bukannya salam atau apa malah berisik ngomentarin hidup orang. Pantas aja hidup lu susah terus!” balasnya seraya menyambit tubuh anak remaja itu dengan botol berisi pakan ikan.
Tanpa menjawab apa pun Baek tetap berjalan masuk sambil mengacungkan jari tengah tangan kanannya. “Makan, nih!”
Yang mana tentu saja langsung dibalas jari yang sama oleh Maz Rian sambil tertawa cekikikan, “Khe khe khe. Kenapa saya mencium aroma kegagalan dari hidup Anda, ya?”
“Suwek sekali ya Anda,” balas Baek sinis.
“Suwek itu Bahasa mana?” tanya Maz Rian semakin asyik menggoda. Ia berkata lagi, “Saya ingin menari di atas penderitaan Anda, Sen Jo!” ucapnya ceria.
“Maz Rian…” panggil Baek berintonasi datar.
“Apa?” respon Maz Rian.
“Udah pernah nyicipin pakan ikan?”
“Eh…?”