Maaf, Sabi

1040 Kata
Gadis yang masih duduk di bangku SMP itu memiliki nama Sabrina. Dan malam ini ia sedang sangat semangat karena Baek pacarnya akan mengajak jalan-jalan. Untuk itu ia telah berusaha menghias diri secantik mungkin menggunakan peralatan make up mahal yang Baek belikan. Ia berpenampilan semenawan mungkin dengan gaun, tas, dan sepatu branded yang Baek berikan. Tidak lupa parfum mahal yang pacarnya belikan asli dari Perancis. Semua barang bermerek di kamarnya adalah pemberian Baek. Memang Baek kekasih idaman. Relationship goals. Apakah kenyataannya memang benar seperti itu? Apakah sesuatu yang Bernama relationship goals ala para selebriti serta influencer itu sungguhan ada dalam perjalanan hidup anak remaja biasa bin jelata seperti mereka? “Kenapa aku nggak denger klakson mobil, ya?” tanya Sabrina pada sang pacar sambil melongok ke luar. Memeriksa ke tempat di mana Baek biasa memarkirkan mobil saat mengapeli dirinya. “Ah, kalau bend aitu sebenarnya udah aku jual, Bi,” jawab Baek seraya tersenyum santai dan mengangkat kedua tangan serta pundak dengan wajah tanpa dosa, “Secara kurang tidak beruntung ternyata kenyataan harus membuat kedua orang tuaku bangkrut. Gulung tikar sudah usaha mereka. Keluargaku saat ini sudah nggak sekaya dulu lagi,” beritahunya enteng. Wajah Sabrina langsung pucat pasi. “Te, Terus… kalau begitu kita hari ini jalannya naik apa, dong?” tanyanya. Kekalutan tak bisa disembunyikan dari seluruh raut wajah gadis itu. “Itungannya kita ini kan masih anak yang kecil banget, Bi. Sama sekali belum dewasa maupun pantas untuk hal seperti itu. Belum punya penghasilan sendiri juga. Mari kita lakukan sesuatu yang sesuai sama usia kita aja,” ajak Baek. Tersenyum ramah, “Gimana menurut kamu?” tanyanya. “Menurut kamu hal yang sesuai dengan umur kita aja itu yang seperti apa, Baek nam Dong?” tanya Sabrina seraya mengakhiri pertanyaannya dengan memanggil nama “lengkap” anak remaja lelaki di depannya. Nada suara gadis itu sangat jelas menunjukkan bahwa ia tengah berusaha tegar hadapi kenyataan. Tapi, perasaan yang bercampur aduk tentu tak bisa ditutupi semudah itu. Baek mengangkat wajah. Ia sentuh bagian bawah dagu dengan ujung jari telunjuk tangan kanan. “Bagaimana dengan naik sepeda bareng keliling komplek? Habis itu kita bisa makan nasi goreng di depan komplek, ‘kan? Terus belajar bareng materi yang belum dikuasai dan yang lain. Nonton film Netflix di kamar berdua. Jalan-jalan lihat pemandangan kota naik bis umum. Sama sekali nggak berlebihan. Dan aku rasa sangat sesuai dengan usia kita,” jawab Baek lembut. “Bagaimana menurut kamu dengan semua pemikiran itu?” tanyanya lirih, "Terasa jauh lebih dewasa serta intimate, bukan?" Sabrina melihat sebuah sepeda ontel super sederhana… bahkan tidak berlebihan jika dibilang jelek. Tengah terparkir dengan sombongnya di depan pagar rumah. Rasanya luntur semua riasan yang sudah capai-capai ia kenakan. Ingin ia cabik-cabiknya gaun seharga jutaan rupiah yang menempel di tubuh. Lalu, dijadikan kain pel atau keset saja sekalian. Ada apa dengan kekasih idamannya? Ada apa dengan Baek Nam Dong yang selalu bisa membuat ia jatuh cinta? Ada apa dengannya? Kekasih yang sempurna… Bangkrut dia kata? “Kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya Sabrina memastikan. “Baik-baik aja, kok. Kehilangan mobil aja nggak akan memberi pengaruh besar buat aku,” jawab Baek santai, “Aku juga udah mulai terbiasa hidup sederhana,” lanjutnya, “Ini saja sama sekali bukan hal aneh yang harus disikapi secara berlebihan, Sayang.” “Gimana, ya? Kayaknya malam ini aku mau belajar aja, deh,” ucap Sabrina usai mendengar jawaban pacarnya. Yang untuknya, itu sangat tidak sempurna! Sangat tidak ideal! Hah? Hidup biasa? Untuk apa ia pacarana kalau hanya untuk hidup seperti orang biasa? Oh, tidak semudah itu, Baek Nam Dong. Semua dalam hidup ini harus ada hitungan untung dan ruginya. Enak saja! “Ide bagus. Aku temenin,” respon Baek. Baek kan cita-citanya jadi dokter. Dan otak dia emang super duper pinter banget (kalau dibandingin sama gue tentunya). Buat siswi SMP Negeri J37’ kayak gue… dia terlalu sempurna, lah. Terlalu baik. Kita nggak bisa cocok. “Sebenarnya aku udah bisa sih… kalau materinya aja. Cuma mau diulang biar makin paham. Mending sekarang kamu pulang aja, deh. Kamu kan naik sepeda ontel begitu. Bahaya angin malam. Jangan lewat jalan yang rame, lho,” balas Sabrina dengan wajah (sok) berlagak cemas. Ia langsung tersenyum tipis. “Aha ha ha ha, iya juga. Ya udah, deh. Aku mau beli makanan dulu buat nemenin kamu belajar. Tadi kan aku janjinya mau ngajak makan malam. Kamu mau apa?” tanya Baek lembut. “Terserah kamu aja. Daa daa!” jawab gadis itu sembari melambaikan tangan. Sabrina menutup pintu dengan perasaan sesak memenuhi d**a. Tak bisa ia percaya hal yang baru saja terjadi. Hubungan sempurna, relationship goal, yang mereka jalani selama ini hancur berkeping-keping hanya karena Baek kehilangan mobilnya. Menjadi sangat sederhana. Turun kasta dalam kualifikasinya. Hanya karena sepeda. Tak ia sangka perasaannya pada Baek bisa berubah hanya karena itu. Mulai ia pertanyakan kesungguhan perasaannya selama ini. “Maafin gue… Baek.” Apakah yang sesungguhnya itu sungguhan ada di atas dunia? Atau jangan-jangan tak ubahnya hanya fatamorgana di tengah padang gurun sahara saja? Yah, siapa tau. Hanya hati kamu yang bisa jawab. ……. “Bang, nasi goreng super duper extra really spicy, ya. Dua bungkus. Nggak pakai lama!” pintanya pada abang penjual nasi goreng gerobakan. Ia lihat sekeliling. Hanya dirinya pelanggan di sana. Bagus, deh. Paling ini bukan jam rame abangnya aja. Semoga habis ini dagangannya rame dan habis, doanya dalam hati. Apa gue bawain juga buat Mama, ya? “Tambah dua bungkus lagi, Bang! Sama-sama super duper extra really spicy. Tapi, mie goreng,” pintanya lagi. Abangnya mengacungkan jempol semangat. “Siap, Bos.” Sambil menunggu abang penjual nasi goreng memasak pesanannya. Berulang kali Baek memutar video kebersamaan dengan Sabrina saat ulang tahunnya. Gadis itu terlihat bahagia dan tulus. Tapi, malam ini. Hanya karena ia datang dengan sepeda. Mengaku kehilangan mobil dan harta benda. Apa kata cinta memang terlalu berlebihan buat anak seumuran gue, ya? Mungkin yang lebih tepat itu sayang kali, ya. Kagum. Duh, gue jadi kagum gini sama idealisme dia. Seumur gue kayaknya mungkin emang belum waktunya mikirin cewek, deh. Tolong maafin pikiranku ya, Sabi. Apa yang akan kita jalani setelah ini. Bisa jadi tak akan sama lagi. Seperti hari-hari yang pernah kita jalani bersama. Dengan dunia yang kita rasa miliki sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN