Di SMP Negeri A1 tak akan ada yang namanya remedial. Terkadang anak-anak yang bersekolah di sana merasa iri dengan anak-anak yang bersekolah di SMP Negeri tingkat J10 ke bawah. Dari peringkat A1 sampai J10 memang tak diadakan sistem remedial atau pengulangan ujian bagi yang mendapat nilai kurang. Lalu, yang nilai ulangannya di bawah standar bagaimana? Jika baru satu kali maka akan diberi Surat Peringatan. Jika sudah dua kali harus menerima jika diskors. Jika sampai tiga kali masih dapat di bawah ketentuan rata-rata minimal juga… yah, siswa tersebut mau tidak mau suka tidak suka siap tidak siap harus siap pada konsekuensi paling buruk sekaligus memalukan untuk siswa yang menempuh pendidikan di level tertinggi negara ini untuk tidak naik kelas.
Semakin tinggi dahan semakin kencang juga anginnya, kawan…
*
“Buset, dah. Tau-tau udah mau Ujian Semester aja, yah. Nggak kerasa bagaimana waktu dan hari berlalu membawa kita pada momen-momen menyebalkan. Kalau boleh jujur aslinya gue belum siap mental, lho,” keluh Akio. Sok mencengkram kepala dengan wajah cemas plus efek dramatisasi tingkat tinggi.
“Belom siap mental kenapa? Lo kan pinter, njay,” tanya Baek sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang diberi oleh Sang Mahaguru Profesor Maz Rian. Uhuk.
“Ujian Semester kan nggak bakal segampang ulangan harian, cuy. Gue jadi ngerasa terlalu menyepelekan pelajaran selama ini,” ia menjawab sambil mendesahkan nafas dalam-dalam, HAAAAAHHH. Ia letakkan pulpen di atas permukaan meja. Pluk.
“Harusnya lo omongin itu sama dia,” kata Baek sambil menjuruskan dagu ke kursi satu orang sahabat mereka.
Dia ke toilet lama. “Lo tumbenan ngajak kita belajar di perpus,” komentar Akio, “Biasanya belajar di kantin. Itu juga gak pernah beneran belajar. Paling sok aja bawa buku biar keliatan kutu buku dan anak rajin. Aslinya mah ngobrol ke mana tau.”
Cih, banyak bacot banget ini orang satu. Manusia berotak encer bin kencer kayak dia mana mungkin bisa memahami beban yang saat ini sedang gue hadapi? “Jadi, gini ya Kio… gue itu harus dapet…” Eh bentar dulu, a***y! Kira-kira gue harus omongin ini ke Kio kagak, ya. Nanti kalau gue cerita pasti diledekin, ‘kan? k*****t bener, dah. s**l, padahal kalau dia tau masalah yang sedang nimpa gue, mungkin gue bisa belajar sama dia kalau lagi di sekolah.
Anak-anak yang super pinter kayak Kio, Maz Rian, sama anak itu tuh kok nyebelin banget, sih. Bisa nggak sih mereka tuh nggak usah pinter pinter otaknya biar nggak bikin anak yang gak suka belajar kayak gue ini gak tertekan jiwa raga?
Haah? Bisa gak sih?
“Maksud lu dapet apa?” tanya Akio memotong drama kekesalan Baek Nam Dong dalam otak.
Tarik nafas, Baek. Haaaahh. Hembuskan perlahan, Baek. Huuuufff. “Pokoknya gue harus dapet nilai lebih bagus dari Ujian Tengah Semester kemarin. Biar bisa masuk SMA negeri A1. Lo sendiri mau masuk mana?” tanya anak remaja itu berusaha mengalihkan topik. Agar kepercayaan dirinya sebagai manusia tidak semakin menciut.
“Insya Allah sih SMA Negeri A1 juga. Soalnya kan punya pemerintah. Apalagi kalau dapet beasiswa dari negara. Di A1 juga kan punya kualifikasi yang berat. Tapi, kalau udah lulus nanti bakal enak hidup,” jawab Akio. Memainkan pulpen yang ia taruh di atas bibir.
“Mending anak kayak lu mah masuk SMA Swasta Spebius aja, njir. Lebih bagus juga bahkan sepuluh kali lebih bagus dari standar SMA negeri A1. Lo sama dia tuh nggak level lah masuk SMA negeri walau levelnya A1 juga. Ntar gue bakal sering main, deh,” saran Baek, “Semua demi kebaikan kalian sendiri.”
Jyaah, ini orang kenapa dah tiba-tiba. “Gini ya Baek, gue itu nggak punya minat. Gak ada ketrtarikan sedikit pun,” respon Akio.
“Kenapa?” tanya Baek.
“sMa Swasta Spebius itu… gimana ya nyebutnya? Sekolah yang terasa hanya diperuntukan untuk mereka anak-anak yang naif? Ah, bener, seperti itulah, bro,” jawab Akio lagi. Melihat ke arah luar dari jendela perpustakaan.
Drap drap drap. “Teman-teman, sudah sampai mana kalian belajar? Apa ada yang bisa aku bantu?” tanya anak itu, sahabat Akio dan Baek, yang baru kembali dari toilet.
“Eh, bro, lo tau pemenang Olimpiade Sains Nasional mata pelajaran Astronomi yang lo ikutin kemaren nggak?” tanya Akio tiba-tiba. Mengalihkan atensi percakapan dari Baek.
Kenapa tiba-tiba dia nanyain itu, pikir Baek terdiam sendiri.
“Tentu saja aku mengetahui hal itu, wahai Akio. Siswa itu memiliki nama lengkap Maz Archerian Gala Gilga Mesha (siapa lagi gitu). Pemenang Olimpiade Sains Nasional mata pelajaran Astronomi tingkat sekolah menengah pertama tahun ini. Ada apa gerangan kamu menanyakannya?” tanya anak itu balik.
“Apa kalian tau? Dia itu siswa pertama di luar Round of Circle 10 yang bisa dapetin itu. Kenapa dia nggak masuk sekolah ini aja, ya?” tanya Akio heran, “Kan berarti dia pinter banget, bro. Bingung gak sih kalian?” Round of Circle 10 sendiri merupakan julukan lazim yang digunakan untuk menyebut mereka para siswa berbakat yang bersekolah di SMP Negeri dan SMA Negeri level A1 sampai dengan SMP Negeri dan SMA Negeri level J10
“Memang kenapa tiba-tiba kau membicarakan soal hal ini, wahai Akio?” tanya anak itu.
“Gue rasa dia bakal jadi saingan terberat lo, bro,” kata Akio. Menunjuk wajah sahabatnya dan Baek menggunakan bagian belakang pulpen.
Anak itu langsung mengibas-ibaskan telapak tangan. “Untuk diriku sendiri semua pelajar yang ada di bawah kolong langit ini adalah kawan. Tempat belajar dan berbagi pengalaman. Aku lebih berharap bisa menjadi sahabat anak itu disbanding jadi lawan seperti yang kau katakan. Aku tak ingin menjadi musuh bagi siapa pun di muka bumi ini,” jawabnya tegas.
“Pemenang Olimpiade Sains Nasional kan bukan dia doang. Kenapa yang lo omongin dia doang?” tanya Baek kemudian.
“Pemenang Olimpiade Sains Nasional dari sekolah dengan aksen kan cuma dia. Berarti dia pintar sekali, dong. Lebih menarik juga buat diomongin timbang pemenang dari sekolah yang udah jelas punya peringkat tinggi kayak temen kita satu ini,” jawab Akio. Aksen (') sendiri memiliki makna lambang kalkulus yang berarti turunan dari. “Iya, ‘kan?” tanyanya.
“Kalau emang pinter kenapa nggak jadi Round of Circle 10, ya?” tanya Baek ikut-ikutan.
“Kenapa ada anak sepandai itu bersekolah di sekolah yang peringkatnya rendah? Karena ia seperti berlian. Keindahan yang ia miliki dalam diri ia sembunyikan jauh di dalam perut bumi,” jawab anak itu, sahabat Akio dan Baek.
Sebagai sepupunya sendiri gue juga belum ngerti. Cewek macam apa yang bisa bikin seorang Maz Rian menggadaikan jalan menuju masa depannya.
Ada dua cewek yang bakal gue benci di dunia ini: pertama, cewek yang nyakitin Maz Rian. Kedua, cewek yang nyakitin mereka: dia dan Akio, batin Baek.
“Kenapa dah muka lu jadi sok serius gitu?” tanya Akio heran.
“Udah jam segini, men. Gue duluan aja, deh. Ada janji sama temen,” pamit Baek seraya mendirikan tubuh.
…….
Di rumah Maz Rian beberapa saat kemudian.
Terpaksa gue batalin janji sama temen-temen yang udah gue bikin seminggu lalu buat sepupu yang baru bikin janji tadi malem. Inilah kekuatan bound of blood. Mantap, batin Maz Rian.
“Maz bro, gue udah ikutin saran lo buat menguji perasaan Sabrina. Kenapa hati gue jadi tercampur aduk kacau balau tak menentu begini, ya? Mau belajar jadi butek pikiran gue,” curhat Baek sambil memainkan pulpen di atas bibir.
“Gue malah mau terima kasih. Karena saran lo gue jadi bisa PDKT habis-habisan ke gebetan gue dan keluarganya,” curhat Maz Rian balik.
Keluarganya? Njir, ni anak pendewasaan dini. “Mau lo ajak pernikahan dini gitu apa gimana, dah?” tanya Baek.
“Kalo bisa sih gitu aja kali, ya. Dia kayaknya tipe yang nggak suka pacaran. Sama persis kan kayak gue >_6. Mantap jiwa, lah,” jawab Maz Rian cerah ceria.
Ayah kita lahir dari rahim yang sama. Tapi, anak-anaknya sangat berbeda. Ini yang gue sebut “bawaan gen ibu”. “Cewek sepinter apa sih yang bisa bikin lo sampai tergila-gila? Sampai mengalahkan kecintaan sama idealisme lo sendiri,” tanya Baek.
“Hukum tarik menarik, bro. Kutub X nggak akan tertarik sama kutub X juga,” jawab Maz Rian sok bermetafora.
“Terus kalau kutub Y lo itu masuk sekolah jelek lagi. Lo mau ngikutin juga?” tanya Baek.
Maz Rian mengangkat wajah sambil memegang dagu dengan ujung jari telunjuk. Bertanya sendiri, “Kira-kira gimana, ya…?”
“Bakal gue laporin Dokter Niydeia sama Profesor Aron beneran sampai lo iyain. Gue bisa bayangin betapa kecewanya mereka saat lo masuk sekolah lu sekarang,” ancam Baek.
“Itu kenapa gue harus dapetin dia sebelum lulus. Doain gue, ya. Doa orang susah kan lebih diijabah,” pinta Maz Rian menggelayuti pundak Baek.
“Anjing lu,” umpat Baek seraya meninju lengan Maz Rian. BHUG!
“AHA HA HA HA!!!” tawa Maz Rian puas.
Ini... adalah perjuanganku. Atau lebih tepat jika dibilang... perjuangan kita mungkin. Sebagai manusia. Yang senantiasa harus selalu berusaha selama menjalani hidup di atas dunia yang tidak akan pernah terduga. Tidak akan pernah bisa kita nyana-nyana.
Jadi, selamat berjuang, semuanya...