Hari ini pagi tidak begitu cerah seperti yang diharap kebanyakan orang. Namun, walau begitu masalah cuaca saja sama sekali tak menyurutkan semangat gadis itu untuk berangkat ke sekolah. Bangun, mandi, sholat Subuh, makan pagi, setelah itu cap go berangkat dengan kendaraan umum adalah rutinitas yang tak pernah berubah selama hampir tiga tahun kehidupan ia lalui di sekolah menengah pertama.
“Ya Gusti Allah, sekarang aku sudah kelas tiga SMP, dong. Sebentar lagi akan lulus,” ucapnya dengan binar mata bercahaya dan semangat empat lima. “Ha ha ha, maksudku kalau lulus, sih,” koreksinya segera. Tak ingin terlalu takabur membayangkan sesuatu yang sulit diprediksi seperti itu.
*
Tak lama kemudian. Gerbang SMP N41' sudah terlihat di kejauhan. Para anak remaja berseragam atasan putih dan bawahan berwarna putih tengah berbondong-bondong memasukinya. Di dalam gerbang telah menunggu barisan guru bersahaja yang siap disalami untuk membuka hari.
Setelah melakukan t***k bengek itu ia segera bergegas menuju lantai 3 tepatnya gedung A tempat di mana kelasnya berada. Di kelas itu, kelas 9 - 7, ia duduk seorang diri di barisan paling depan. Tak seorang pun menyapanya.
Dekapan nafas dalam d**a hanya berkata: hah, hal seperti ini saja sih sudah biasa.
Okey, let’s check out apa aja pelajaran hari ini. Baru memeriksa pelajaran saat sudah ada di kelas merupakan contoh tidak baik. Fisika, Biologi, Kimia, Matematika, Bahasa Inggris,… Mulai pusing. Njiiir. Ampas. Kenapa makanan hewan semua ini gue bawa. Semoga nggak ada yang kasih ulangan mendadak, Ya Gusti.
Bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama adalah Matematika. Cukup dengerin aja deh gurunya mau ngomong apa pun yang beliau suka. Ia menoleh ke kelas bagian belakang. Anak-anak lain sibuk mengobrol dengan teman sebangku mereka atau yang lainnya. Terbesit tanya dalam hati, kenapa nilai mereka semua bagus, ya. Sementara gue yang sampai jarang kedip dengerin penjelasan… satu ilmu aja nyantol di otak juga kagak.
Kenapa, ya? Apa yang jadi penyebabnya?
Inilah realita yang tak semulus drama Korea. Lebih banyak meninggalkan trauma.
Jam pelajaran keempat adalah Kimia. Guru honorer yang sudah cukup berumur itu memulai penjelasan pada bab Senyawa dan Rumus Kimia Senyawa Sederhana. Suasana kelas masih sama seperti pelajaran sebelumnya. Ia mulai menyadari sesuatu. Ia mendengarkan dengan cermat setiap bait kalimat yang keluar dari mulut gurunya. Tapi, ia tak memahami apa pun. Sementara teman-teman sekelasnya sebaliknya. Mereka tak harus memperhatikan untuk menguasai suatu materi. Cukup tahu saja, syalala, bisa seketika. Itulah bedanya.
Karena ia bodoh. Dan mereka tidak.
Kalau bisa lulus nanti pilihan gue cuma dua: sekolah negeri yang standarnya rendah. Atau sekolah swasta berstandar ekonomi, namun tingkat tinggi. Karena gue gembel. Harus pilihan pertama.
“Anak-anak, kaseklau begitu arang kita ulangan, ya,” kata guru mata pelajaran (makanan hewan) terkait.
Demiiit… Gue nggak ada satu pun yang ngerti. Biar nilainya nggak nol. Soalnya gue salin lagi aja. Sadap jiwa.
Mantap. Jangan diikuti ya, bestie!
…….
Saat lagi ulangan. Kebiasaan gue adalah baca segala macam doa dan surat-surat Al Quran yang gue hapal. Soalnya gue udah tau. Kalau mengandalkan kemampuan. Hasilnya pasti zonk bin ngenes abis. Rahmat dan karunia Yang Kuasa adalah satu-satunya yang bisa gue andalkan dan pertaruhkan. Walau jarang berhasil juga, sih, ha ha ha. Hasilnya pasti remedial. Nggak pernah gue ulangan pelajaran ilmu pengetahuan alam nggak remed.
Itu… semacam kebanggaan.
Bel istirahat berbunyi. Kalau tidak lapar biasanya ia akan diam saja di dalam kelas. Karena tadi pagi belum sarapan. Ia terpaksa pergi ke kantin. Gerombolan anak populer melirik sinis ke arahnya. Sebagian tertawa entah mengapa. Ia diam saja sampai keluar dari salah satu warung sambil membawa mangkok berisi nasi plus soto yang masih berasap.
Buritan sekolah yang sepi adalah tempat favoritnya. Tak akan ada anak yang mau pergi ke tempat sepi itu saat istirahat. Ya, kecuali dia. Si penggemar kediaman dan penyuka kesunyian.
Ia melupakan satu hal.
“Njir! Bawahan gue putih lagi. Kalau duduk di sini bisa kotor dong, ya.”
Tengok kiri. Tengok kanan. Tak ada yang bisa dipakai duduk. Ia pun memutuskan makan sambil berjongkok ria. Yang penting halal, pikirnya. Simple.
“Makan sambil jongkok entar langsung keluar, lho,” goda suara ghaib entah dari mana.
“Ngapain lo di sini?” tanyanya pada seorang siswa yang sok asik ikutan jongkok di sisinya.
“Lagi males di kantin. Ada kakak kelas berantem dramatis banget sampai melototin para adek kelas yang putih lagi suci ini,” akunya.
Heehh, orang ini bener-bener, deh. “Kakak kelas, kakak kelas, kakak klas lo kata. Lo kan udah yang paling sepuh di sini,” balasnya sinis.
“Kalo gue paling sepuh... Berarti elo nenek lampir dong, ya. He he he,” balas siswa itu tersenyum manis.
“Terserah situ, lah,” balas si anak remaja perempuan tidak peduli.
“Nanti lu mau masuk SMA mana?” tanya siswa itu kemudian.
“Pengen masuk sekolah teknik menengah aja kali, yah,” jawabnya.
“Iya, ya. Mana ada juga sekolah menengah atas yang mau nerima lo. HWA HA HA HA!!!” tawa anak remaja laki-laki itu puas. PUAS SEKALI.
Ajg bener ini orang. Astaghfirullah. “Lo sendiri mau masuk mana?” tanyanya balik. Malas aslinya.
“Gue dapet beasiswa di SMA Negeri A1. Tapi, SMA Negeri A1 bukan sekolah terbaik di negara ini. Gue disuruh ikhtiar lagi ama orang tua untuk menemukan yang terbaik,” jawab siswa resek itu.
Njir, bukannya kenyang nasi soto. Malah kenyang denger omongan ni orang belagu. “Ya sudah, selamat yah kalau begityuu,” katanya dengan intonasi ala Syahrini.
“Mangkoknya taroh di sini aja. Entar juga diambil sama yang punya toko,” beritahu siswa itu sambil menarik pakaian gadis itu agar kembali ke sisinya.
“Lo pikir yang punya toko punya radar gitu? Bisa melacak di mana aja mangkoknya di sekolah seluas ini,” tanya di gadis dengan nada suara sewot tingkat tinggi.
“Kenyataannya emang gitu. Yang punya toko tau berapa piring dan mangkok yang dipakai siswa karena dinomorin dengan warna berbeda. Habis istirahat mereka bakal ngitung lagi barang-barangnya buat meriksa ada yang kurang apa enggak. Habis istirahat mereka mencar ngelilingin sekolah,” terang siswa itu.
“Jangan-jangan salah satu dari pedagang sekolah emak lo lagi,” tuding si gadis sensi.
“Aha ha ha ha, enggak, lah. Orang tua gue kan dosen di perguruan tinggi. Ya masa jadi pedagang kantin. Ha ha ha,” responnya santai. Namun, di saat yang sama juga terasa minta dibantai.
Cih, tawanya merendahkan sekali. Muak banget gue sama ini orang. “Ya sudah, Tuan Muda yang pinter dan kaya. Saya memilih meringankan beban yang punya toko aja.”
“Meringankan beban? Emang lo Tuhan? Udahlah, di sini aja. Temenin gue,” pinta siswa yang wajahnya cukup rupawan itu.
Sangat rupawan sebenarnya.
“Mending lo balik sama temen-temen lo timbang gangguin anak terkucilkan kayak gue!” pinta si gadis tidak terima pada kehadiran si siswa luar biasa.
“Lo nggak mau punya temen apa? Gue ini karakter teman super idaman, lho. Good looking… pastinya. Keren… badai. Pinter… nggak usah ditanya. Kaya… nggak usah bahas itu, ya,” tanya siswa itu.
Ya Gusti, timbang punya temen kayak lo mending gue sendirian seumur hidup. “Gue nggak punya karakteristik seterperinci itu buat nyari temen. Harus pinter, populer, keren, nonsense. Kebanyakan nonton FTV lo.”
“Gue kasian aja sama lo. Terkucilkan. Nggak punya temen. Nyari kelompok susah. Di kantin diketawain. Di lorong diomongin. Di kelas diledekin. Mau sampai kapan hidup kayak gitu?” tanyanya.
Ngeladenin orang sinting ikutan sinting gue. Cap go aja, dah. “Super sekali, Archer Teguh. Mending lo motivasiin tuh temen-temen lo biar nggak suka bully orang.”
“Bully urusan mereka sama Allah. Yang penting jangan lo bales. Itu aja. Entar lo ikutan masuk neraka kan double kill penderitaannya,” balas siswa Bernama asli Archer itu.
Ya Gusti, masih dilanjutin motivasinya. “Kalo lo nggak pernah belain gue. Bukannya berarti lo ikut bully gue juga, ya?” tanya gadis bernama Raki itu.
“Kok ngomong gitu? Ini gue ajak bertemen nggak mau,” balas Archer.
“Tapi, lo nggak pernah belain gue! Mana ada orang percaya ada anak dari golongan musuhnya pengen jadi temennya kalau dia nggak pernah belain dia?” tanya Raki lagi.
“Lo pikir belain harus kayak di sinetron gitu? Gue teriak dan marah-marah sama mereka seolah gue penguasa. Gue juga bukan siapa-siapa asal lo tau. Yang gue lakukan itu sesuatu buat lo. Bukan buat mereka,” jawab Archer. Bijak sekali.
“Ya sudah, terima kasih, ya. Sekarang gue mau balikin mangkok dulu biar nggak dimusuhin juga ama yang punya toko. Bye bye!”
“Pala lo tuh kayak batu!” teriak Archer, “SUSAH BANGET DIKASIH TAU!!!”
Heh, talk to my hand kalau kata Arnold Alois Schwarzenegger, batin Raki tanpa menolehkan kepala.