WIBU

1007 Kata
Archer. Kalau boleh jujur gue nggak begitu ingat atau tau siapa nama lengkap anak itu Dan nggak peduli juga sih aslinya. Kita beda kelas, tapi cukup sering ketemu di ekskul rohis. Jelek jelek begini gue salah satu seksi di rohis. Harus gue akuin. Archer nggak kayak anak lain. Dia memang tergabung dalam geng populer di sekolah. Tapi, dia nggak pernah ngeledekin, ngetawain, ngebully, maupun ngomongin gue. Yang gue sesalkan ya cuma satu. Karena dia nggak pernah bela gue. Padahal yang paling gue butuhkan dari seorang teman adalah rasa aman. Pembelaan. Kalian semua juga begitu, ‘kan? Berteman dan membentuk relasi apa pun selalu manusia asosiasikan sebagai usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan lahiriahnya. Padahal mereka hanya berusaha berlindung dari rasa takut. Rasa takut untuk bebas dari rasa sendiri serta terabaikan. Itulah dasar suatu hubungan untuk gue. Ucapannya nggak salah. Hanya aja gue nggak akan mau menerimanya begitu aja. Bayangkan, cuy! Ratusan pembully gue gotong royong dalam pembullyan. Satu diserang. Semua melawan. Lha gue apa kabar? Gue diserang. Ya gue diam aja. Nggak mau mati konyol juga, cuy. Karena itu siapa pun yang nggak membela gue bukanlah teman gue. Yang nggak membenci musuh gue bukanlah teman gue. Yang nggak selalu ada buat gue bukanlah teman gue. Itulah arti teman yang gue lihat dari pergaulan “mereka”. Biarkan gue menuntut sesuka gue. Karena gue udah biasa ditolak. ……. Hari ini merupakan pembagian hasil ulangan Kimia tempo hari. Begitu menerima lembar jawaban. Tanpa dilihat langsung ia masukkan tas. Tinggal dengar pengumuman siapa saja yang remed. “Remednya pulang sekolah nanti, ya. Yang mau dapet nilai datang. Yang enggak pulang aja. Gitu pesen Pak Brotho,” beritahu ketua kelas. Set, dah. Tuh guru skeptis amat, ya. Guru tugasnya mendidik siswa atau ngajarin siswa doang, sih. Datang waktu istirahat. Tanpa memperdulikan perut yang keroncongan. Ia tetap di kelas bertemankan buku-buku Kimia. Buku catatan. Buku cetak. Lembar Kerja Siswa atau LKS. Semua habis dilahap. Tetap tak mengerti. Ampas… ini pelajaran kayak ampas. Gue nggak ngerti sama sekali… Istirahat kedua. Ia memilih belajar di tempat persembunyiannya. Di kelas terlalu berisik. Anak-anak yang remedial bisa belajar bersama dan saat dirinya bergabung… “Eh, gue ikutan, ya.” “Bubar! Bubar! Bubar!” Atau bertanya pada anak yang pintar. “Ini caranya gimana? Tolong ajarin, dong.” “Ya pokoknya kayak gitu.” Kelas sangat berisik. Dirinya yang tipe pelajar kuburan hanya semakin tidak nyantol. “Eh, ada Pak Archer Teguh. Ada keperluan apa, Pak?” tanyanya melihat Archer duduk di lokasinya biasa duduk. “Lagi bengong,” jawab Archer. “Buanglah waktu Anda sebanyak mungkin, Pak Archer Teguh! Yang jelas di sini ada orang yang waktunya nggak bisa dibuang-buang. Jadi, saya mohon tolong jangan Anda ganggu saya!” pintanya. Menyender di dinding. “Belajar sambil berdiri bisa nggak konsen. Coba duduk di sini!” pinta Archer seraya memberi selembar kertas koran. “Terima kasih banyak ya atas perhatian Anda,” jawab Raki sambil menggelar koran itu sejauh mungkin dari Archer. “Pasti lu remed lagi, ya,” tebak Archer tanpa menatapnya. “Kalo Anda nggak pernah remed tolong diem aja, deh!” balasnya kesal. “Gue kadang remed pelajaran kesenian. Main suling remed. Main pianika remed. Nyanyi remed. Gambar remed. Bikin prakarya remed. Untung remednya disuruh bikin makalah doang. Gue gak gitu suka sesuatu yang gak bisa dihitung, sih,” beritahu Archer. “Nggak usah didemoin juga! Nggak pengen tau gua!” balas Raki lagi. Lebih kesal. “Tapi, gue bangga. Masa nggak boleh didemoin,” jawab Archer. Sok cengengesan. Merendah untuk melanTAIii. “Lu ganggu banget tau gak?” omel Raki. Makin, makin, dan makin merasa kesal. “Ya udah kalau gitu gue pergi aja, deh. Sini balikin koran gue!” pinta pemuda itu sok ketus. “Makan tuh gue nggak butuh,” TUING, lempar Raki setelah korannya diremas dan dijadikan gumpalan. “Bilangnya nggak butuh, tapi akhirnya dipake juga. Huu,” balas Archer sambil merapikan kembali korannya agar bisa diberikan pada pengumpul barang bekas. ……. Teett teett teett. Bel pulang berbunyi indah tiga kali membawa keriangan bagi semua siswa. Kecuali yang harus menjalani remedial ulangan kimia. Beberapa siswa dari kelas berbeda disatukan di kelas 9-3. “Mulai!” intruksi guru. Rakin mengerjapkan mata kala melihat soal-soal yang tengah disuguhkan di hadapannya. Derajat kesulitan soal-soal itu sama sekali tak berkurang timbang ujian yang diberikan beberapa hari lalu. Bismillahirahmanirahim. ……. Karena pulang tidak bersama dengan anak-anak lain yang tidak menjalani remedial. Jalan dari sekolah menuju jalan raya yang melewati rimbun pepohonan tua dan tinggi terasa cukup sepi. Di sana hanya ada beberapa orang pedagang jajan entaha makanan maupun minuman yang setia menanti rejeki. “Gimana remednya? Sukses apa nggak?” tanya Archer meninggalkan warung yang terletak di puskesmas samping sekolah. “Gue heran anak sepinter lo kok masuk sekolah kayak gini. Harusnya lo masuk SMP Negeri A1 atau SMP Negeri B2. Kalo emang sepinter itu, sih,” ucap Raki. Entah maksudnya memuji, menyindir, atau yang lain. “Jangan coba ngalihin topik, deh!” balas Archer, “Orang lagi ngomong apa malah ngelantur ke mana, sih.” “Gue nggak tau, Archer. Bisa ngerjain satu soal aja rasanya gue pengen sujud syukur,” jawab Raki jujur. “Seandainya lo punya temen pinter. Bisa minta bantuin belajar. Kalo punya temen kaya. Semoga aja bisa kecipratan hokinya. Kenapa lu nggak mau temenan sama gue?” tanya Archer memasang raut wajah bingung. Sangat tidak mengerti. “Gue nggak peduli sama hal semacam itu, Cher,” jawab Raki aphatis. “Poor girl,” balas Archer berintonasi datar. “Gue mau naik angkot dulu. Helikopter lo parkir di mana?” tanya Raki. Sok melihat sekeliling dengan menaruh satu telapak tangan di atas kedua mata. “Jangan aneh, deh!” balas Archer bad mood. Raki berhenti melangkah. Melihat Archer. “Gue mau nekanin ya, Archer Teguh. Kita itu beda kelas. Boku no kurasu terlalu rendah untuk dipermainkan sama hoshii no kanata kayak anata. Sayonara,” ucapnya seraya melambaikan tangan. Archer melihat datar punggung Raki yang menjauh. Berpikir dalam hati, cih, dasar wibu kelas akut. Huuu!!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN