Hari senin penuh drama untuk gadis manis anak Papa Ihsan. Dia telat berangkat ke kantor karena jalanan yang dilaluinya macet total saat ada kecelakaan beruntun. Titan sudah merengek pada sang Papa untuk naik ojol agar tidak terlambat berangkat kerja.
Ihsan tetap tidak memberikan izin karena sangat beresiko jika Titan naik ojek online. Gadis kecilnya pernah hampir menjadi korban penculikan saat masih duduk di bangku SMP. Waktu itu, Titan dengan nekatnya memesan Ojol saat pulang sekolah. Dia menyuruh supirnya untuk pulang lebih dulu dengan alasan dia akan main ke rumah Namira.
Untung saja dia berhasil menyelamatkan diri dengan cara melompat dari motor ketika sadar Ojol yang dia pesan tidak mengarah ke rumahnya. Warga di perkampungan itu menolong Titan saat melakukan aksi nekatnya. Mereka juga berhasil menangkap Ojol yang berniat jahat pada gadis SMP itu.
“Mau Papa anterin masuk ke dalam buat minta maaf sama atasan kamu karena sudah telat?”
“Gak perlu lah, Pa. Kayak anak TK saja!”
“Terus kenapa nggak turun juga?”
“Bentar dong, Pa. Itu masih ada Manager Titan di luar,” tunjuknya ke arah depan lobby.
“Kenapa memangnya? Justru bagus, kalau kamu dimarahi Papa bisa sekalian bantu jelaskan.”
“Ih, nggak mau! Nanti pada tahu asal usul Titan dong. Percuma saja sudah membangun image mahasiswa sederhana.”
Ihsan terkekeh melihat putrinya mencebikkan bibir. Di saat gadis seusia Titan berlomba memamerkan harta orang tua, dia justru menutupinya dengan sekuat tenaganya.
“Sudah aman. Titan masuk dulu ya, Papa Love.”
“Iya, Sayang. Kalau jadi ke kampus nanti siang telpon Papa ya.”
“Siap!”
Titan masuk ke dalam ruangannya di saat semua karyawan divisi keuangan sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya. Marsha memberi isyarat padanya agar segera duduk. Dia sudah diberi pesan oleh Titan saat anak magang bimbingannya terjebak dalam kemacetan.
“Langsung kerjakan.”
“Iya, Kak.”
Tanpa membenarkan penampilannya yang awut-awutan karena berlari cukup jauh. Titan langsung mengerjakan pekerjaan yang baru saja diberikan oleh Marsha. Untung saja Manajernya sedang ada meeting di luar. Jadi, dia aman dari omelan pedas karena terlambat datang.
Khaira melihat pekerjaan Titan masih banyak sedangkan sebentar lagi sudah waktunya istirahat. Dia mengambil sebagian pekerjaan yang belum selesai untuk dikerjakannya. Awalnya, Titan menolak. Namun, saat Khaira menjelaskan jika laporan itu harus selesai sebelum jam makan siang Titan akhirnya menerima bantuan dari sahabat barunya.
“Ah ... pegal banget badan aku, Ra,” keluh Titan dengan menaruh kepalanya pada meja kerja.
“Kecelakan parah banget ya, Tan? Sampai membuat macet parah.”
Titan menganggukkan kepalanya. “Banget, Ra. Katanya kesulitan mengevakuasi korban.”
“Kamu nggak bawa bekal?”
“Nggak sempat masak. Semalam aku lembur buat revisi judul skripsi.”
“Sama kalau begitu. Aku juga nggak bawa bekal soalnya Ibu sedang menginap di rumah Nenek.”
“Makan di cafe depan kantor yuk,” ajak Titan.
“Di sana pasti mahal, Tan.”
“Gapapa, aku yang traktir. Itung-itung ucapan terima kasih karena sudah membantuku tadi.”
Khaira masih berpikir tapi Titan sudah tidak sabaran. Dia langsung saja menarik tangan sahabatnya agar mau di ajak makan siang di cafe. Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja karena terlambat ke kantor tadi. Dia harus mengisi semangatnya agar full kembali.
Kedua gadis manis itu berjalan ke luar kantor menuju ke cafe yang dimaksud oleh Titan. Karena jalanan sangat ramai Khaira mengajak Titan lewat jembatan penyebrangan orang yang ada di depan kantor.
“Agak deg-degan ya lewat jalan ini,” ucap Titan.
“Kenapa? Kalau lewat jembatan penyebrangan itu lebih aman.”
“Sepi padahal siang hari.”
“Iya, juga sih. Tapi aman kok, ada CCTV yang terpasang di sini.”
Titan mengangguk, dia mengajak Khaira berjalan agak cepat dengan alasan sudah lapar. Padahal, dia merasa takut saat lewat di JPO itu.
Sesampainya di cafe, Titan langsung memesan makan siang untuknya dan juga Khaira. Keduanya kini sedang berbincang soal judul skripsi yang sebentar lagi akan mereka ajukan.
“Lumayan berat juga tema yang kamu ambil, Tan.”
“Hehe, teman-temanku juga bilang begitu, Ra. Ya gimana? Aku sudah kadung cinta sama judul itu.”
“Enggak apa-apa di jalani saja dulu. Menurut aku sih kamu bakal selesai sesuai target yang kamu buat.”
“Amin, doakan terus ya, Ra.”
“Iya.” Khaira tersenyum pada Titan. “Oh, Iya. Dosbing kamu bagaimana? Terkenal enakan atau agak susah?”
“Belum tahu, Ra.”
“Kok bisa sih, Tan? Biasanya ada desas-desus soal dosen pembimbing dari kakak tingkat.”
“Dia tuh newbie dosbing. Jadi belum ada track record.”
“Owalah, semoga saja termasuk dosbing teliti dan tidak menyusahkan mahasiswanya.”
“Amin,” jawab Titan.
Keduanya memulai makan siangnya ketika pesanan mereka sudah datang. Para pelanggan cafe rata-rata adalah para karyawan senior Zufar. Mereka pasti malas mengantri makanan di kantin.
Sepertinya, hanya Titan dan Khaira anak magang tapi berani makan siang di cafe yang tergolong mahal di setiap menu yang disajikan.
“Kenapa mereka pada berdiri?” gumam Khaira namun Titan dapat mendengarnya.
“Siapa?”
“Itu,” tunjuk Khaira pada karyawan yang sedang menyapa seseorang yang baru saja datang.
“Eh, berdiri, Ra!” seru Titan. “Ra, Ayok berdiri.”
Dengan wajah bingung Khaira mengikuti apa yang dilakukan oleh sahabatnya. Keduanya menyapa seorang Pria tampan yang duduk di sebelah mejanya.
Dengan bahasa isyarat Khaira bertanya siapa orang yang baru saja datang. Titan menjawab lewat pesan singkat.
Titania Zufar
“Yang punya perusahaan.”
Mata bulat Khaira membola. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan bosnya secepat ini. Menurut kabar yang beredar karyawan tempat dia magang jarang bisa bertemu dengan Direktur Utama Zufar Group.
Karena waktu makan siang sudah hampir habis. Titan mengajak Khaira bergegas kembali ke kantor. Dia tidak mau jika terlambat lagi, bisa-bisa langsung kena semburan lahar panas dari Managernya.
“Kamu yakin yang itu tadi Direktur kita?”
“Iya, Khaira imutssss. Aku sudah beberapa kali bertemu tidak mungkin salah mengenali orang.”
“Masih muda ya? Aku kira sudah ubanan.”
Titan terkekeh, Khaira memang lugu sekali. “Sebenarnya sudah berumur, Ra. Mungkin karena banyak uang vibes nya seperti anak muda. Semacam, kekuatan dari tumpukan uang membuat kerutan di wajah menghilang.”
***
Sudah pukul 5 sore lebih sedikit, Titan belum juga keluar dari ruangan Manajer Keuangan. Gadis manis itu masuk saat menyerahkan laporan yang dia kerjakan tadi pagi. Biasanya Marsha yang bertugas memberikan laporan itu namun Managernya meminta Titan untuk menyerahkan sendiri.
Sudah hampir semua karyawan telah pulang. Hanya tersisa beberapa saja, termasuk Khaira dan juga Marsha. Kedua gadis itu terus saja memandang ke arah pintu yang bertuliskan ‘Manager Keuangan’ yang masih tertutup dengan rapat.
“Duh, diapain itu si Titan?! Aku kok jadi khawatir begini, Ra!”
“Sama, Kak. Jantungku rasanya mau copot, paru-paru aku kayak nggak bisa menyedot udara lagi.”
“Jangan bikin aku makin takut dong, Ra!”
“Kak ...”
“Apa?” Marsha menutup matanya ketika pintu ruangan terbuka. Meskipun dia sudah termasuk senior tetap saja dia takut jika berhadapan dengan Manajer Keuangan yang galaknya sama dengan Mak Lampir.
“Lihat itu!” Khaira menggoyangkan lengan Marsha. “Kakak harus lihat itu! Ada Pak Direktur datang.”
“Hah?”
Marsha menatap ke arah ruangan Managernya. Di sana sudah berdiri Direktur Utama yang sedang memberikan teguran pada Fony si Nenek Lampir.
Setelah itu, keluarlah Titan dari dalam dengan senyum mengembang. Gadis itu, bukannya menangis justru cengengesan seperti tidak terjadi apa-apa. Membuat heran sahabatnya yang sejak tadi mengkhawatirkannya.
“Titan, kamu diapakan saja sama Bu Fony?” tanya Marsha.
“Di kasih tugas yang bejibun, Kak. Sampai kram tangan aku!” Titan mengadu seperti anak kecil.
Khaira mengambil telapak tangan kanan Titan, memijatnya dengan perlahan. “Sebelah sini yang sakit?”
“Iya, duh enak sekali, Ra.”
“Memangnya disuruh mengerjakan apa?”
“Semua laporan yang salah, Kak.”
“Pantas saja semua karyawan hari ini bisa pulang tepat waktu. Sudah ada tumbal yang mengerjakan kesalahan mereka.”
Titan mengangguk. Dia masih menikmati pijatan dari Khaira yang membuat tangannya tidak sekaku tadi. Sementara Marsha membantu membereskan barang-barang Titan, memasukkan ke dalam tas ransel super besarnya.
“Kenapa bisa Pak Direktur datang ke sini, Tan?” tanya Khaira.
“Enggak tahu juga pastinya. Tadi tuh, Bu Fony dapat telepon. Dia berdebat dengan seseorang yang bekerja di kantor ini. Beberapa saat kemudian, Pak Direktur datang menegur Bu Fony karena mengirimkan laporan yang tidak sesuai untuk rapat besok.”
Marsha mengernyitkan keningnya. Dia heran kenapa bisa Ammar turun langsung ke bagian manager? Biasanya tidak pernah kejadian seperti itu!
“Ada baiknya juga Pak Ammar datang ke sini, Tan. Kamu bisa kabur dari hukuman Nenek Lampir itu.”
“Iya, Kak. Lega sekali rasanya. Padahal aku sudah mau pingsan saking lelahnya.”
“Masih sakit apa enggak tangannya?” tanya Khaira.
“Sudah lumayan berkurang. Terima kasih, Ra.”
Khaira tersenyum. “Sama-sama.”
Marsha mengajak kedua anak asuhnya untuk segera pulang karena hari sudah mulai petang. Hari ini Khaira tidak membawa motor karena motornya dibawa Ayahnya. Dia memesan Ojol yang kini sudah menunggu di depan lobby.
“Duluan ya, Tan, Kak.”
“Iya, hari-hati di jalan,” jawab Marsha.
“Kalau sudah sampai rumah jangan lupa kabari aku.” Teriak Titan.
Titan meminta Marsha agar pulang lebih dulu. Dia berkata sedang menunggu jemputan dari Papanya yang sudah berada di perjalanan.
Namun, saat dia menelpon supirnya ponselnya tidak aktif. Dia baru ingat jika Pak Mamang sedang cuti pulang kampung.
“Astaga!” Titan terkejut saat ada mobil berhenti tepat di depannya dengan menyalakan klakson. “Belagu banget mentang-mentang punya mobil!”
“Tin ... Tin ... Tin ...”
“Ya ampun!” Titan terlonjak lagi. Dia melihat di sekelilingnya. “Nggak ada orang. Apa aku yang di panggil ya?” gumamnya pelan.
Kaca mobil terbuka sedikit. “Masuk!”
Titan menunjuk dirinya sendiri, memastikan jika dia yang sedang diajak bicara oleh orang yang ada di dalam mobil. “Aku?”
“Masuk!” teriaknya lagi.
Titan menghampiri mobil Xpander berwarna putih. Dia ingin melihat siapa yang ada di dalamnya. Kedua matanya mengintip ke kaca jendela yang berwarna hitam. Samar-samar dia melihat orang dia kenal berada di balik kemudi.
“Om Duda?”