Ferril berdeham. Ia berhasil membuat Echa tak tega hati padanya. Hahaha. Biasanya gadis itu ratunya tega. Tapi dalam kondisi-kondisi tertentu, ia bisa kalah juga. Apalagi kalau Ferril sudah keterlaluan baiknya. Ia juga punya sisi humanis namun cenderung menutupinya. Ia hanya ingin membuat Ferril berhenti mengejarnya. Namun sialnya, ia benar-benar salah. Ferril bahkan tak pernah berpikir untuk berhenti.
"Kalo ada masalah, aku gak keberatan untuk jadi pendengar yang baik, Beyb. Gini-gini kan aku bisa diajak ngomong serius juga."
Kalau sedang tidak berada di dalam kondisi yang sulit, mungkin Echa akan terbahak mengenang obrolan ini. Kadang mereka sering berjalan berdampingan kalau Echa sudah lelah menghadapi Ferril yang keras kepala. Tetap mengotot terus mengejarnya. Karena menurut Ferril, Echa itu pantas untuk diperjuangkan. Iya kan?
"Lagi pula gak semua beban bisa ditanggung sendiri, Beyb. Makanya Allah itu ngasih keluarga, ngasih pasangan, ngasih orangtua, itu tuh biar bisa bantu. Bukan hanya bantu-bantu dalam persoalan yang menurut kita sesuatu yang lumrah memang butuh bantuan. Tapi untuk urusan kebatinan juga perlu. Makanya ada banyak profesi kayak psikiater atau orang yang ahli agama untuk membantu hal-hal kayak gini."
Tumben omongannya serius dan lurus. Hahaha. Hal yang justru membuat kening Echa mengerut. Ia melirik ke arah Ferril yang tampak serius menatap ke depan. Keduanya kan duduk berdampingan di sofa yang sama yang ada di lobi apartemen.
"Aku tuh pengen loh sekali-kali dengar kamu nyari aku saat ada masalah."
Echa terdiam. Ia mengalihkan tatapannya. Ia tahu makna terdalam dari kalimat itu. Echa menghela nafas dalam. Jelas ini berat baginya.
"Pengen jadi orang yang bisa nolong kamu pertama kali disaat gak ada satu tangan pun yang bersedia jadi malaikat kamu."
Echa semakin diam. Sejujurnya, sebelum Ferril, sudah pernah ada dua lelaki yang berani mengatakan hal itu kepadanya. Ferril adalah lelaki ketiga dan itu justru membuat Echa tersadar. Karena sepertinya para lelaki ini mempunyai penilaian yang sama tentangnya. Lantas kalau sudah begini, berarti ia memang sosok yang seolah-olah tak membutuhkan pertolongan orang lain padahal rapuh? Atau hanya terlalu gengsi saja untuk mengakuinya?
Ferril berdeham. "Gak ada manusia yang bisa hidup sendirian, Beyb. Meski ada Allah. Tapi kalau gak berusaha mencari pertolongan dari manusia sebagai perantaranya, bagaimana bisa membantu?"
Echa berdeham. Keningnya makan makin mengerut. Anak ini tidak kerasukan kan? Tumben omongannya benar. Hahaha.
Ia mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. "Ini kan aku kasih untuk dipakek. Bukan untuk dikembaliin."
Ia tahu kalau Echa mengembalikan kartunya dengan mengirim paket ke kantornya. Itu sungguh cara yang cerdik sehingga gadis itu tak perlu bertemu dengannya.
"Gue gak bisa."
Ia menolaknya.
"Gak bisa atau gak mau? Dari sekian banyak pertolongan yang aku tawarkan, kamu pasti menolak kecuali kalo udah kepepet banget. Kalo mau minta tolong kan gak harus ada istilah kepepet. Aku tahu kalo kamu masih bisa makan. Tapi ini cuma bantuan dariku. Dari kartu ini, aku cuma mau bilang kalo aku ada untuk kamu, Beyb."
Yeah, terdengar manis memang. Apalagi dikatakan bersamaan dengan penyerahan kartu kredit. Perempuan lain mungkin sudah girang setengah mati. Berbeda dengan Echa. Hahaha. Justru ingin mendengus.
Tak lama, Ferril pamit. Alasannya?
"Takut Bunda nyariin."
Sejak kapan playboy dicariin Bundanya? Di mana-mana playboy itu liar. Hahaha. Tapi Ferril memang lelaki yang berbeda. Yaa maksudnya, meski sebagian sifatnya sama seperti lelaki-lelaki lain yang ada di luar sana namun Ferril masih memiliki sisi-sisi lain yang mengejutkan. Yaa seperti kalau tidur masih sering bersama Bundanya. Hahaha. Itu kan sesuatu yang sangat ganjil bagi anak lelaki berusia 27 tahun dengan kepribadian seperti Ferril yang tampak tengil dan playboy. Tapi mungkin itu lah yang membuatnya seakan termaafkan. Walau mungkin ia bisa saja berbuat kejahatan suatu saat nanti tapi orang-orang tak akan sulit memaafkannya. Kenapa? Entah lah. Mungkin kepribadiannya sudah tergambar seperti itu. Kepribadian yang disenangi. Bahkan ia memang salah satu CEO favorit para karyawannya selain karena wajah gantengnya.
Jika Farrel tampak berwibawa dan disegani, maka pada karyawannya mengagumi namun diam-diam di belakangnya. Kalau Ferril? Berhubung ramah, karyawannya juga suka modus. Apalagi Ferril juga suka membalas modusannya. Hahahha. Itu lah perbedaan nyata dua orang dengan karakter fisik yang serupa. Memang tak ada perbedaan. Auranya saja yang berbeda. Dan sejak awal mskiaht keduanya, orang-orang pasti sdah bisa membedakannya. Karena gerak tubuh Farrel berbanding terbalik dengan Ferril.
Echa kembali ke apartemen Nabila. Biasanya gadis itu akan mengomel kalau sudah ditipu seperti ini. Tapi ia malah tak bersuara. Kemudian menaruh makanan itu di atas meja dengan lesu. Nabila menatapnya dengan tatapan menyelidik. Takutnya sudah terjadi sesuatu.
"Lo gak marahin si Ferril kan? Kasihan tahu. Dia dari kemarin, udah khawatir banget sama lo. Nanyain lo mulu."
Echa hanya berdeham. Ia tak sedang memikirkan hal itu. Itu bukan sesuatu yang aneh juga. Ferril kan memang selalu begitu. Pasti mencarinya. Jadi Echa tak perlu merasa terkejut untuk hal semacam itu.
"Bil," panggilnya. Nabila hanya berdeham. Ia sibuk menyiapkan piring dan juga gelas untuk acara makan gratis sore ini. Kan lumayan! Hahaha. "Menurut lo, orang yang menikah itu lebih bahagia daripada yang single?"
Nabila tergelak. Kalau bertanya tentang hal semacam ini, ia juga sensitif dan punya pengalaman buruk.
"Masa iya menikah bisa membuat orang lebih bahagia? Kalau bahagia, kok, kasus perceraian di Indonesia meningkat terus setiap tahunnya?" ia berdeham. "Ya emang sih ada yang bilang kalo menikah bisa bikin mereka lebih bahagia dibandingkan saat mereka masih jomblo. Pernikahan juga disebut-sebut mengurangi risiko terkena demensia hingga 42% dibanding dengan mereka yang single. Katanya yaaa begitu. Tapi kan perasaan bahagia itu dinamis, Cha. Ada yang menikah terus dia emang puas dan suka dengan pernikahannya. Dia menikmati kebahagiaan itu sendiri. Tapi ada juga kan yang sebaliknya, yang nikah eeh gak lama malah cerai. Kalo yang cerai itu merasa lebih bahagia setelah menikah, masa iya malah cerai?"
Itu memang masuk akal.
"Gue sendiri lebih percaya bahwa bahagia dan merasa cukup itu harus datang dari diri sendiri dan tidak menggantungkannya pada orang lain termasuk pasangan. Dan sesuatu yang wajar juga manusiawi kalau kita nggak setiap saat merasa bahagia, karena hidup ini sendiri penuh kejutan yang nggak selamanya menyenangkan. Iya gak?"
Echa mengangguk-angguk. Memang benar. Tapi rasanya Echa tak pernah merasakan kebahagiaan kalau menyangkut persoalan keluarga. Ia hanya bahagia ketika akhirnya diterima di UI dan lulus dari sana langsung mendapat pekerjaan. Hanya itu saja rasa-rasanya. Apa ia yang terlalu dangkal mengukur kebahagiaan itu sendiri?
"Cara ngebahagiain diri sendiri kan gak harus menikah. Dan lagi, untuk apa menikah kalo kita sendiri gak bahagia dengan kesendirian kita?"
Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Nabila. Ucapan Nabila lebih bermakna pada posisi keluarganya. Keluarganya juga amburadul hanya mungkin masih lebih beruntung secara ekonomi dibandingkan dengan Echa. Echa terpekur mendengar kata-katanya. Selama ini ia bahkan tak memikirkan hal semacam itu. Di dalam kepalanya ya hidup harus seperti ini dan itu. Semuanya serba dalam bentuk tuntutan. Bukan untuk menyenangkan diri sendiri. Lantas bagaiaman sesungguhnya membahagiakan diri sendiri itu? Echa bahkan tak pernah tahu caranya.
@@@
"Bukan persoalan besar."
Ferril mengangguk-angguk. Tentu saja ia tahu.
"Rain aja ya, Om?"
Ia dijitak langsung okeh ayahnya si Rain. Ferril terkekeh.
"Dijaga. Jangan sampai kacau."
Ferril mengacungkan jempolnya. Ia segera keluar begitu urusannya selesai. Regan yang memerhatikan interaksi keduanya, hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Gue bertanya-tanya, dia itu beneran anak Fadlan apa bukan. Dari segi manapun, entah kenapa...."
Ia tak melanjutkannya. Fadli justru terbahak. Ya siapapun tahu. Sulit percaya dengan si tengil satu itu. Semua pengusaha yang mengenal Ferril pasti berkali-kali mengkonfirmasi untuk sekedar memastikan, apakah si anak tengil itu benar-benar anak Fadlan dan bukan anaknya Fadli? Tapi berhubung ia memiliki saudara kembar yang sama persis fisiknya, orang-orang tak berkomentar lagi. Ya mungkin dulu Ferril salah masuk rahim, itu kesimpulan yang ada di kepala Regan. Hahaha.
Ferril bersiul-siul. Ia hanya mengangguk-angguk tiap disapa para karyawannya. Mood-nya memang sedang oke hari ini. Ia hendak pergi ke kantornya Adit. Adit kan masih berkantor di ruko. Bertahan di sana sampai cukup membangun gedung atau membeli gedung baru. Meski ayah mertuanya sudah menawarkan. Tapi yang namanya Adit memang begitu. Lebih suka usaha sendiri. Yaa ayah mertuanya tentu tak masalah. Malah lebih senang karena menantunya mandiri.
"Rain udah datang?" tanyanya begitu tiba di lantai tiga itu.
"Belum, Bang!"
Arinda menyahut. Ia bukannya bermaksud untuk bergabung tapi karena pekerjaan memaksanya untuk hadir di sini juga.
"Ada kasus perselingkuhan lagi, Rin. Biasaa..."
Arinda mengangguk-angguk. Ia sudah mendengarnya. Meski belum tahu siapa.
"Lah? Lo cuma begini doang?"
Ferril malah membalik badan padahal baru saja sampai.
"Pulang, Bang. Mau siap-siap. Ada tugas malam ini."
Farrel mengangguk-angguk. Berarti ia membahas bersama yang lain karena aktor utamanya mau kabur. Ferril tidak mampir ke apartemen Nabila hari ini. Ia langsung kembali ke rumah Bunda untuk tidur. Lalu bangun sore hari dan melihat Bundanya sibuk menyiram tanaman.
"Sore, Buun," sapanya yang membuat si Bunda terkekeh. Ia memeluk Bundanya dari belakang sembari mencium pipinya tiada henti. Untung saja Papanya belum pulang. Biasanya pasti diomeli. Disuruh cari istri. Hahaha!
"Mandi sana, Deek. Makan dulu tapi. Tadi pasti gak makan kan?"
Ia nyengir. Kesibukan memang membuatnya lupa. Akhirnya ia berjalan ke ruang makan. Lalu duduk di sana sembari menunggu Bundanya menghangatkan makanan. Tak lama, Farrel muncul dengan tergesa-gesa. Ia bahkan lupa mengucap salam dan menyelonong ke kamar begitu saja. Sebelah alis Ferril terangkat sementara Bunda malah memanggil. Heran saja. Seperti ada sesuatu yang sangat genting.
"Ngapain, Bang?"
Tak ada jawaban. Farrel entah mencari apa di dalam kamar.
"Malam ini gak ke kantor kan, Deek?"
Bunda sepertinya sudah bapak dengan gayanya kalau ia pulang siang hari dan tidur di rumah. Itu pertanda kalau ia akan segera ke kantor lagi malam nanti.
"Biasa lah, Bun. Namanya juga kerjaan."
"Ya kerjaan sih kerjaan. Tapi waktu istirahatnya jangan dibalik gitu. Organ tubuh juga butuh waktu istirahat."
Ia mengiyakan meski akhirnya tetap saja berangkat. Bunda geleng-geleng kepala. Sepertinya ia akan memarahi suaminya karena anak jadi korban begini. Ferril justru kembali mengendarai mobil.
"Ganti mobil lo!"
Ia terkaget. Tahu-tahu terdengar suara Farrel. Mana terdengar galak pula. Ia lupa kalau mobil ini sangat mudah dibobol Farrel. Lelaki itu mengambil alih radionya dari kejauhan sana. Ferril menghela nafas.
"Entar gue taruh di kantor, Bang."
Farrel berdeham.
"Jalan ke mana gue malam ini?"
"Nanti gue kasih tahu."
Ia geleng-geleng kepala. "Pakek surprise segala. Kayak cewek lu, Bang," ledeknya. Farrel tak ambil pusing dengan kata-katanya. Cowok itu justru masih standby di kantor. Sembari memeriksa hal lain yang lebih penting dan membuatnya benar-benar tak bisa berkonsentrasi.
Ferril menekan pedal gasnya lebih kencang. Tujuannya memang kantor. Tapi bukan kantornya melainkan kantor Regan. Ia memarkirkan mobilnya di parkiran khusus yang tak terlihat namun sangat aman. Kemudian bergerak ke sebuah lantai keramat di mana hanya beberapa orang yang tahu kalau lantai itu ada. Lantai apa?
Lantai basemen di bawah parkiran mobil dan juga lantai tertinggi gedung ini. Di balik ruangan direktur uang tak pernah tersentuh itu, terdapat ruangan rahasia di mana banyak sekali para ahli berkumpul di depan komputer masing-masing. Mereka semua memegang kendali tugasnya masing-masing.
"Ada kasus baru hari ini?"
"Masih yang waktu itu. Bobol rekening Bokapnya Arya. Dari pergerakannya yang lincah, bisa dipastikan kalau--"
"Organisasi hitam?"
Farrel mengiyakan di seberang sana. Namun mereka belum berani menebak. Musuh mereka itu tak banyak. Ada satu keluarga kaya juga yang selama ini selalu mencari celah untuk menghantam bisnis keluarga mereka, ya....keluarga Hartoyo. Namun sampai saat ini masih aman terkendali. Bahkan Opa sudah pernah melakukan perjanjian dengan pemilik nama Hartoyo itu. Tapi sepertinya, anaknha justeu sering membuat ulah akhir-akhir ini. Meski Opa tidak menitahkan apa-apa. Katanya....
"Selama tidak merugikan karyawan. Biar kan saja."
Begitu cara Opanya berpikir. Alih-alih memikirkan asetnya sendiri, ia justru berpikir tentang para karyawan yang ada di bawah naungan perusahaan ini. Karena Opa sadar kalau karyawan itu bukan babu. Mereka adalah mitra kerja sama. Kedudukannya sama. Karena mereka saling bekerja untuk saling mendapatkan keuntungan. Bukan memeras tenaga mereka sekehendak hati karena mereka itu manusia juga.
"Target lama. Mungkin penerusnya. Sudah lama Opa mengejar ini."
Ferril mengangguk-angguk. "Menurut rencana lo bagaimana?"
Meski Ferril yang bertindak sebagai kepala intelijen di dalam kantor ini namun sesungguhnya Farrel berperan dalam banyak strategi dan keputusan yang hendak mereka ambil. Lelaki itu hanya enggan mengambil posisi itu. Ia lebih suka melakukan sesuatu dengan caranya. Jadi Ferril yang mengambil tanggung jawab tapi sesungguhnya Farrel lebih terbebani lagi.
"Biar kan dulu. Kita hanya perlu selesaikan urusan klien. Tapi lo tetap selidiki. Suruh yang lain ke lapangan malam ini."
Ferril mengiyakan.
"Lo lihat sekitar. Seperti biasa."
Ferril mengiyakan. Lantas kenapa Ferril sering turun lapangan padahal ia kepalanya? Itu karena tim lapangan mereka tidak banyak. Mereka terbagi pada banyak posisi. Satu orang satu posisi dan tidak ada yang double atau multiple pekerjaan untuk menghindari overdosis pekerjaan. Sekaligus memastikan kalau terjadi sesuatu, mereka bisa langsung bergerak dan tidak terbebani dengan urusan lain. Dan lagi, sistem ini memang sudah lama diterapkan oleh Opa. Ia sudah punya banyak pengalaman. Memperkerjakan banyak orang yang bukan aliansinya atau keluarganya hanya membaut kerahasiaan ini terancam.
Suara pintu terbuka dan semua mata menoleh. Para sepupunya juga sudah hadir di sana. Ferril langsung berdiri di tengah-tengah mereka. Memaparkan rencana malam ini. Para tetua memantau dari layar ponsel atau headset masing-masing untuk mendengar strateginya. Selama ini, mereka tak pernah komplain karena berbagai strategi aneh yang dikerjakan selaku berhasil.
"Lo berdua tim depan."
Kedua orang itu mengangguk. Ia juga menugaskan beberapa orang lagi untuk berjaga. Kemudian ia menoleh ke arah Ardan yang sudah punya perasaan tidak enak tentang posisinya malam ini.
"Biasa sama Bang Adit!"
"Ngapain lagi gue? Jangan suruh gue jadi cleaning service lagi."
"Itu masih mending dibanding gue suruh jadi banci kan?"
Adit menyemburkan tawa. Ardan justru menghela nafas. Ya ia tak pernah bisa menolak apapun posisinya malam ini.
"Karena posisinya malam ini deket sama pantai, kita pantau dari sana. Dan tugas lo.....," ia berjalan mendekat lantas merangkul Ardan sambil berjalan menuju lift. "Jadi ceweknya Adit malam ini," tambahnya yang membuat siapapun mendengarnya langsung terbahak. Yaa kalau Adit yang jadi cewek, otot-otot lengannya akan mencurigakan. Hahaha. Mau tak mau, yang kurus dan tak berotot yang menjadi korban.
"Pastiin gak ada media ya," Adit bercanda. "Bahaya kalo sampe salah paham. Bini gue bisa trauma."
Ferril terbahak sampai memegangi perutnya.
@@@
Mobil melaju. Adit yang menyetir dengan meminjam salah satu mobil kosong yang selalu tersedia. Platnya selalu diganti dan begitu juga dengan berbagai surat izin dan identitas lainnya. Ia juga memiliki nama samaran. Apa namanya?
"Reimon. Keren juga!" pujinya. Ferril yang berbaring di kursi belakang terbahak. Adit memang selalu memuji karakternya sendiri saat mereka berbagi tugas semacam ini. Ferril kan hanya berbaring di bangku belakang dan memantau pergerakan dari sana. Dua orang di depan ini, memang sengaja dibuat menyamar untuk mengelabui. Agar kalau target curiga dan mendatangi mereka, harapannya yaaa tak curiga.
Ardan justru mendengus. Kenapa nama samarannya harus Marina? Hah? Apa? MARINA!
Hahaha. Pemeran yang ia mainkan memang tak pernah ada yang bagus. Tapi bagi Ferril justru itu yang cocok. Karena Ardan itu biang kekacauan. Operasi mereka sering gagal karenanya.
Keduanya terpingkal saat melihat Ardan selesai berganti baju. Adit jadi agak ngeri. Takutnya kan Marina di depannya ini agresif. Wajah Ferril sampai memerah. Saking puasnya tertawa.
Beberapa menit kemudian mobil melaju lagi dan berhenti tepat di pinggiran jalan pantai. Ferril keluar dan keduanya hanya memantau sekaligus berjaga dari sana. Ferril sudah mengganti pakaiannya dengan warna hitam. Ia masuk ke dalam sebuah komplek perumahan yang merupakan perumahan elit. Untuk menerobosnya tentu saja tak mudah. Ia menunggu di dekat pagar. Sementara mobil Adit bergerak. Ia sudah menerima.identitas palsu yang ia gunakan ini adalah salah satu penghuni rumah. Mereka bisa masuk ke dalamnya dan bertepatan dnehan gerbang dibuka, Ferril langsung naik ke atas pagar. Ia harus segera melompat turun sebelum gerbang tertutup. Karena saat gerbang terbuka itu lah semua alarm di pagar tidak akan berdenging. Ferril sukses. Ia berguling dengan mulus. Baju anti peluru sudah dikenakan. Yang jadi persoalan mungkin hanya kepalanya. Disaat bagian yang lain memang sudah terlindungi. Ia berlari menyelinap, berguling-guling dan harus mendengar betul perintah dari Farrel. Farrel yang memberikan arahannya. Ikadang bergerak ke kiri. Kadang ke kanan. Kalau Farrel menyuruh untuk merayap yaa harus merayap. Ia juga tak Bokeh meninggalkan satu jejak pun. Bau badan sudah diganti dengan bau tanaman. Berharap bisa mengelabui penciuman anjing.
Tiba di dekat rumah target, ia berhenti. Tugasnya hanya menaruh sesuatu di sana untuk memata-matai. Begitu selesai dipasang, ia segera kembali bukan ke cara yang sama. Kali ini menyelinap masuk ke dalam bagasi mobil salah satu pemilik di sana. Dalam waktu lima menit, mobil itu sudah berjalan hingga melewati gerbang. Sementara mobil Adit memang sudah keluar sejak tadi. Mereka berpura-pura ada urusan lain jadi kembali memutar. Saat melihat mobil yang membawa Ferril keluar, Adit melanjutkan aksi dengan sengaja menabraknya. Sang pemilik mobil itu tentu saja marah. Ia segera keluar dan itu dimanfaatkan Ferril untuk keluar dari bagasinya tanpa suara.
"Woooi! Keluar loo!"
Adit yang terancam. Ia sudah gugup sebetulnya. Tapi harus berakting sebaik mungkin dengan Ardan. Ardan sudah mengeluarkan jurusnya. Jurus bertengkar ala cewek j****y. Hahaha. Ia berteriak-teriak dengan nada perempuan tapi terdengar sangar sembari berupaya menjambak rambut Adit. Adit juga ikut berteriak dan berpura-pura tak sengaja memencet jendela hingga suara pertengkaran mereka terdengar oleh si pengetuk mobil yang hendak marah karena telah menabrak mobilnya. Namun melihat ada seorang lelaki bertengkar dengan perempuan jadi-jadian...
"Kamu jahat, Reimoooon! Jaahaaaaat! Jahaaaat! Aaaaww!"
"Maaf, Mas, maaf," tukasnya. Badan kekarnya mendadak kecil. Lebih ngeri menghadapi banci dan gay menurutnya. Jadi ia memilih untuk berpamitan dan mengikhlaskan apa yang terjadi kemudian segera mengendarai mobilnya. Adit terbahak melihat mobil itu langsung pergi. Ferril yang akhirnya bisa menyelinap masuk ke dalam mobil juga terbahak. Ardan mengipas-ipas tubuhnya. Jelas lelah karena ia harus berteriak ala perempuan dan mengeluarkan berbagai jurus.
"Ke mana lagi?"
Ferril mengkonrfimasi Farrel. Operasi ini kan belum selesai. Bahkan baru awal. Tim depan masih memantau pergerakan. Mereka akan segera bergerak begitu siap. Tapi semuanya benar-benar harus dimatangkan.
"Nol derajat enam belas."
Ferril mengiyakan. Ia menitahkan Adit untuk melanjutkan operasi. Mereka dititahkan untuk bersembunyi di suatu tempat. Adit mengemudikan mobilnya menuju arah yang dimaksud. Posisinya justru berlawanan dari keberadaan target. Biar tak ada kecurigaan. Hal yang kadang lazim untuk dilakukan. Tim inti sudah mulai bersiap-siap. Sepertinya hanya hitungan menit.
"Bisa gue hitung, banyak badan kekar langsung ciut karena kejadian kagak tadi."
"Iya lah, Bang. Kalo si cowok setengah ceweknya jadi naksir dia gimana?"
Adit kembali tertawa. Ardan justru mendengus. Bukan kah ia yang sedang dibicarakan? Hahaha. Asem sekali!
@@@